24 November 2020

Manajemen Leha-Leha: Hubungan Cuti dan Komoditisasi

manajemen leha-leha
Edited by me

Koloni semut sedang jalan berbaris menuju makanan yang kami pesan, saat aku dan seorang teman sedang akan menyantapnya. Kami coba untuk menyisihkan para semut itu dari makanan kami. Namun, setelah beberapa saat berlalu, mereka kembali lagi dan kami memutuskan untuk membiarkannya. Baris koloni pekerja itu itu semakin ramai. Beberapa sudah ada yang kembali dari piring makanan dengan membawa remahan berwarna terang. Amat kontras dengan badan mereka yang hitam. Mungkin setelah menaruh remahan makanan yang akan menjadi pasokan makanan sang ratu dan koloni, mereka akan kembali lagi ke piring makanan tadi atau mencari makanan lain. Hidup semut hitam pekerja memang begitu terutama untuk kasta pekerja. Mereka akan terus dan terus bekerja tanpa istirahat. Tidak ada yang namanya istirahat apalagi liburan bagi mereka.

Manusia bukanlah semut. Bila semut bisa terus-terusan bekerja selama masa hidupnya, manusia butuh istirahat di sela-selanya. Begini, bila kamu sudah setahun bekerja di sebuah perusahaan tanpa sempat ambil cuti, segera lakukan. Kamu mungkin akan berkilah, “Tapi, ada akhir pekan untuk digunakan untuk istirahat.” Lalu, kamu akan menambahkan, “Bukankah lebih baik jika jumlah hari cutinya diuangkan saja?” Perlu diketahui bahwa (1) mengambil cuti untuk istirahat pada hari kerja punya sensasi berbeda dengan istirahat pada akhir pekan biasa dan (2) tidak semua kantor bisa mencairkan jumlah cuti tahunan menjadi uang. Lalu, kamu akan datang dengan alasan pemungkas, “Tapi, bagaimana kalau cuti malah bikin tidak tenang dan merasa bersalah karena meninggalkan pekerjaan?”

25 Oktober 2020

Yang Tidak Betul dalam Romansa Minoel

Edited by Me

Lebih dari sebulan aku di kampung halaman. Rasanya aneh karena kembali pulang tidak ada dalam to-do list tahun ini. Di sisi lain, kelegaan muncul karena selain bisa berhemat (aku tidak perlu lagi membayar sewa indekos di Jakarta), aku bisa mencairkan hubunganku dengan orang rumah. Tidak sedikit aku mengobrol dengan ibu dan nenek seputar kehidupan kami dan orang-orang di desa kami. Salah satunya adalah guru SD kelas 6-ku yang sempat menjadi kepala desa. Baru beberapa bulan jadi kades, ia dilengserkan karena suatu alasan. Ibu dan nenek kemudian menjelaskan berbagai asumsi yang datang dari orang lain. Aku hanya angguk-angguk sambil menyayangkan kejadian tersebut.

Kabar penuh asumsi memang kerap hadir dan tidak dapat terhindarkan. Itu bisa datang dari mana saja termasuk kerabat dan tetangga yang sesekali datang ke rumah. Di desa, penyebaran kabar dari mulut ke mulut sepertinya lebih berhasil ketimbang via aplikasi perpesanan atau media sosial. Hal ini ternyata tidak hanya berlaku di desaku. Desa tempat karakter utama Minoel tinggal di daerah Gunungkidul, Yogyakarta pun ternyata berlaku hal yang sama. Kabar yang tak bisa dipertanggungjawabkan seperti seorang pria menghamili seorang wanita di luar nikah juga menyebar di lingkungan tempat tinggal Minoel.

18 September 2020

Reading Challenge dan Pertimbangan yang Perlu Disiapkan

reading challenge adalah
Edited by Me

Beberapa waktu lalu, aku dan dua kenalan di Twitter sepakat melakukan baca bersama sebuah buku. Sayangnya, pada saat teman yang lain sudah menyelesaikannya, sekitar seminggu setelah hari dimulai, aku masih berada di halaman 30-an. Aku merasa terseok-seok dalam melanjutkannya. Pilihan bukunya memang bukan genre yang biasa kubaca; nonfiksi, lumayan serius, dan berbahasa inggris. Aku akhirnya memberanikan diri untuk bilang kepada keduanya bahwa aku tidak bisa menuntaskan buku tersebut. Walaupun dimaklumi oleh teman tersebut, ada rasa malu karena kupikir aku bisa menyelesaikannya dengan mudah. Belum lagi soal komitmen yang sama-sama dibuat di awal. Ini membuatku memikirkan apa saja yang perlu dipertimbangkan sebelum menentukan ikut/tidaknya sebuah baca bersama yang termasuk reading challenge ini.

Apa itu reading challenge? Tidak ada definisi terselubung, reading challenge adalah kegiatan menantang diri sendiri untuk membaca sebuah bacaan. Konteks bacaan di sini adalah buku. Kegiatan ini kerap dilakukan secara kolektif dan digagas oleh satu atau beberapa orang yang memilih sebuah buku untuk dibaca bersama. Penggagas kemudian akan mengajak pembaca lain untuk bergabung. Selain pilihan buku, jumlah bacaan dan bentuk tema/genre tertentu kerap menjadi objek dalam tantangan. Salah satu reading challenge yang masyhur di kalangan pembaca buku adalah Goodreads Reading Challenge yang digagas oleh platform basis data buku daring Goodreads. Dalam reading challenge tersebut, pengguna Goodreads ditantang untuk menentukan jumlah buku yang akan dibaca selama setahun. Pada akhir tahun, Goodreads akan menampilkan rekapilutasi keberhasilan reading challenge-nya di akun masing-masing pengguna yang turut serta.

13 Juli 2020

3 Kutipan Menarik dan Penjelasannya dari Normal People

Judul : Normal People
Pengarang : Sally Rooney
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun : 2020
Dibaca : 13 Mei 2020

Saat remaja, pernahkah kamu mengalami cinta monyet? Itu istilah untuk rasa suka pertama kali yang tertuju pada orang lain, biasanya teman sebaya yang sekelas atau beda kelas, walaupun bisa juga kakak atau adik kelas. Bagi anak baru gede, cinta monyet begitu menggairahkan. Janji bertemu di kantin belakang sekolah saja sudah bikin berdebar-debar. Belum lagi jika teman-teman yang lain mengetahui bahwa kamu sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Mereka akan men-“cie-cie”-kan saat kamu pulang bareng dengan si doi. Secara tak sadar, cinta monyet terasa sebentar, main-main, dan terlalu membingungkan, apalagi ketika kamu harus berpisah dengan si doi setelah lulus sekolah. Hal-hal yang terjadi saat cinta monyet juga kerap terpatri dalam memori dan dijadikan bahan pembicaraan di kemudian hari. Walaupun begitu, bagaimana jika si cinta monyetmu kala sekolah terus berkutat di hidupmu sampai beberapa tahun kemudian?

***

Marianne berderap ke pintu depan dan membuka pintu ketika mendengar bel rumahnya berbunyi. Connell berada di sana dan Marianne mempersilakannya masuk. Ibu Connell, Lorraine, bekerja untuk keluarga Marianne. Lorraine kerap datang beberapa kali dalam seminggu untuk membersihkan rumah yang lumayan besar itu. Connell yang tidak sabaran meminta ibunya segera menyelesaikan pekerjaannya lalu pulang. Hanya saja, ada beberapa hal yang Lorraine masih harus bereskan. Rentang waktu itu menjadikan Marianne bisa mengobrol canggung dengan Connell, si cowok populer di sekolah yang sama-sama mereka pergi untuk belajar. Setelah beberapa percakapan, Marianne bilang kepada Connell, “Kau mungkin membenciku, tapi kau satu-satunya teman bicaraku.” Connell membalas, ”Aku tidak pernah bilang aku membencimu.” Beberapa jenak kemudian, Marianne tiba-tiba berkata, “Well, aku menyukaimu.”

Mendengar itu, Connell diam. Untungnya, Lorraine memecah kebuntuan karena sudah menyelesaikan pekerjaannya. Connell tidak merespons apa pun pada Marianne setelahnya hari itu. Yang Connell tahu, ia akan berkunjung lagi ke rumah Marianne untuk menjemput ibunya tapi dengan sedikit lebih awal. Dan itulah yang benar-benar dilakukan Connell. Keduanya mulai menjalin hubungan. Hanya saja, Connell memilih bahwa hubungan mereka berdua harus dirahasiakan karena Connell tidak ingin teman-temannya tahu. Marianne tidak mempermasalahkan hal itu. Hubungan sembunyi-sembunyi keduanya berjalan baik sampai tiba saat mereka harus kuliah dan pindah ke luar kota. Walaupun kuliah di tempat yang sama, Connell merasa dirinya terabaikan sedangkan Marianne berubah jadi begitu populer sampai-sampai ia selalu ada di setiap pesta dan perkumpulan elite.

23 Juni 2020

Tawar Buku: Kerja Volunter, Kamar Kos, dan Hubungan Keduanya

donasi untuk sokola institute
Edited by Me

Bekerja memang identik dengan mendapatkan timbal balik. Dengan menghabiskan waktu dan tenaga untuk bekerja, kebanyakan orang merasa harus mendapat imbalan berbentuk uang, barang, atau pujian. Kita selalu diiming-imingi imbalan setelah membantu pekerjaan orangtua saat masih kecil. Semakin dewasa, kita semakin berpandangan bahwa timbal balik yang tepat dari sebuah pekerjaan adalah ketiga jenis di atas. Namun, ada bentuk imbalan lain yang bisa kita dapatkan dari bekerja, seperti kawan baru. Bentuk kerja dengan imbalan semacam itu disebut kerja volunter.

Kerja Volunter

Selain menimba ilmu, pilar lain dalam program yang membuatku terbang ke negeri Paman Sam adalah kerja volunter atau disebut juga community service. Setelah melakukan kerja volunter di sana dalam jumlah jam yang ditentukan, aku mendapat pandangan baru. Bagaimanapun, bekerja tentu membuat kita mengharapkan timbal balik. Jika kerja sesuai profesi atau keahlian akan berbalas uang, kerja volunter atau kerja secara sukarela akan berbalas imbalan yang sedikit berbeda: kepuasan batin, wawasan, dan kawan baru. Seperti salah satu kerja volunter yang kulakukan di sebuah festival di kota Phoenix. Tugasku di senjaga area tong sampah dan mengedukasi pengunjung yang membuang sampah tentang beberapa jenis sampah. Beberapa saat sebelumnya, aku diberi brief tentang jenis sampah yaitu organik dan anorganik, juga perbedaannya. Itu membuatku paham tentang sampah; membuatku menerima wawasan baru. Saat kerja volunter itu, aku juga mengobrol dengan volunter lain yang mengaku bahwa kerja volunter sudah jadi kebiasaan dan merupakan bagian dari hidupnya.

22 Mei 2020

Ulasan Buku: Efek Jera

Judul : Efek Jera
Penulis: Tsugaeda
Penerbit: One Peach Media (indie)
Tahun : 2020
Dibaca : 20 Mei 2020
Rating : ★

“Yayasan (sosial) seperti itu sudah banyak. Kita pakai pendekatan baru. Kita tidak langsung menolong orang susah. Tapi kita mengganggu orang yang bikin susah.” (hlm. 44)

Pernahkah membayangkan hidupmu sebelumnya biasa-biasa saja akan berubah pada keesokan hari? Mungkin itu yang ada dalam pikiran remaja 19 tahun bernama Dio. Sehari-hari, ia yang sebatang kara (setidaknya begitu menurut narasi yang kutangkap) tinggal di bedeng di pinggiran rel stasiun Pondok Cina. Tidak hanya untuk ditinggali, bedeng itu juga digunakan Dio untuk mencari rezeki sebagai penjual DVD bajakan. Di sela-sela waktunya, ia suka membaca buku yang membuatnya kritis terhadap lingkungan sosialnya. Di salah satu dinding bedengnya, terpampang poster tak bergambar bertuliskan “Dinodai Kapitalisme”. Bagi orang awam, mungkin tanda itu tidak berarti apa pun. Namun bagi Dio, kata-kata itu mengucurkan semangat. Begitupun bagi seseorang yang tiba-tiba datang ke bedengnya dan menawarinya pekerjaan.

Orang itu meminta untuk dipanggil Om Jon. Setelah dijelaskan kenangan yang memantik memorinya, Dio akhirnya ingat siapa orang itu. Om Jon adalah guru mengaji dan silatnya dulu saat masih kecil. Dio begitu menyegani pria yang berdinas di Kodam Jaya itu. Bernama asli Sarjono, Om Jon menawarkan Dio sebuah pekerjaan. Dio menolak karena dia merasa tidak bisa bekerja di perusahaan dengan alasan, “Bukannya bikin perusahaan berkembang, malah nanti hancur lebur.” Anehnya, Om Jon tersenyum lebar sembari berkata, “Kebetulan sekali, Dio. Yang dicari memang orang yang suka menghancurkan perusahaan.” Dio dibuat bingung karenanya. Apakah Dio menerima pekerjaan itu? Apa pula yang dimaksud Om Jon dengan pekerjaan menghancurkan perusahaan?

16 April 2020

Mencari Makna Hidup Melalui Logoterapi dan Ikigai

mencari makna hidup melalui konsep logoterapi dan ikigai
Edited by Me

Kondisi beberapa bulan terakhir sungguh tidak diekspektasi oleh siapa pun (kecuali mungkin oleh beberapa orang yang bisa menerawang). Alih-alih bermacet-macetan di jalan dan berdesak-desakan di dalam transportasi umum, kamu harus tetap berada di rumahmu untuk bekerja. Alih-alih bersiap untuk vakansi pada tanggal yang sudah ditandai bahkan dengan bersusah-payah meminta izin cuti dari atasan, kamu masih harus tetap berada di rumah dan terpaksa membatalkannya. Segala rutinitas dan rencana yang kamu anggap berjalan mulus terhalang oleh apa yang World Health Organization (WHO) sebut dengan pandemi. Amarah dan kekesalan meluap yang kemudian merembet ke pertanyaan-pertanyaan frustratif. Apa kamu akan berada dalam kondisi ini terus-menerus? Bagaimana dengan hal-hal yang kamu impikan akan terjadi sepanjang tahun ini? Kapan semua ini akan berakhir?

Tidak terkecuali denganku. Sejak wabah (sebelum ditetapkan sebagai pandemi) ini riuh di Indonesia, kantorku sudah memberi kebijakan agar karyawannya bekerja dari rumah (istilah kerennya work from home). Sialnya, aku terjebak di dalam indekos sejak awal pandemi yang mengharuskanku putar otak agar tetap waras sekaligus tetap produktif. Rasa rindu bertemu dan bercakap dengan orang lain melambung. Penyakit mati bosan pun sudah menjangkiti berkali-kali. Hal-hal di luar kendali yang tak diantisipasi tersebut membuatku merasa menderita.

Menderita. Sebuah kata yang amat dekat dengan “Man’s Search for Meaning” karya Viktor E. Frankl. Buku yang kubaca seminggu sebelum work from home itu menjelaskan tentang pencarian makna yang berhubungan dengan penderitaan sebagai salah satu cara yang ditempuh untuk menemukannya dalam konsep yang disebut logoterapi. Setengah pertama buku itu menceritakan tentang Frankl serta penderitaan di kamp konsentrasi Nazi. Dua minggu berikutnya, ketika aku membagikan postingan blog sebelum ini di Twitter, seorang kawan merespons agar aku menerapkan ikigai, sebuah konsep makna kehidupan dari Jepang yang tidak kuketahui. Atas dasar itu, aku membaca dua buku populer tentang ikigai: (1) “Ikigai: The Japanese Secret to a Long and Happy Life” karya Héctor García & Francesc Miralles, dan (2) “The Book of Ikigai” karya Ken Mogi. Menariknya, logoterapi dan ikigai memiliki keterikatan satu sama lain.

28 Maret 2020

Babak Baru: Jargon "Follow Your Passion" yang Salah Paham

Edited by Me

“Kok aku juga ikutan sedih. Gramedia x Abduraafi itu sebuah perpaduan yang klop sekali kelihatannya. Semoga karier barunya bisa membawa Aki ke mimpi-mimpinya ya. 😊”

Seorang teman mengirimkan pesan privat tersebut setelah aku mengepos foto nametag kantor lamaku sebagai tanda pengunduran diri di Instagram Story pada awal Maret lalu. Rintangan-rintangan kecil yang berubah jadi pilihan-pilihan sulit buatku memutuskan untuk pindah dari sebuah perusahaan di bawah naungan grup Kompas Gramedia. Sesungguhnya, pengunduran diri ini sudah kupikirkan sejak pertengahan 2019 lalu. Setelah Ruang pupus, aku seperti anak ayam yang kehilangan induk. Aku tanpa sadar angguk-angguk saja untuk pindah ke divisi lain. Walaupun kerjaannya tidak jauh-jauh dari menulis seputar buku bacaan dan mewawancarai penulis, tetap saja aku masih merasa Ruang-lah satu-satunya tempat pulang saat itu.

Tulisan ini kubuat untuk menjelaskan alasan utamaku pindah dari kerjaan yang “gue banget” ke perusahaan yang, bisa dibilang, “bukan gue banget”. Alasannya tidak jauh-jauh dari jargon “follow your passion” yang begitu riuh dielu-elukan dan diinginkan banyak orang. Hanya saja, jargon itu bagai pisau bermata dua; ia juga penuh tipu daya.

23 Februari 2020

Ganjil-Genap: 3 Pelajaran Penting dari Belum Menikah di Usia 30

Edited by Me

Menikah itu rumit. Aku samar-samar ingat pernah melihat sebuah utas tentang pasangan akan menikah yang harus menghadapi berbagai rintangan tak terduga dan “ada-ada saja”. Utas itu direspons dengan orang-orang yang juga menghadapi kesulitan saat akan menikah. Beberapa komentar bernada positif, bahwa cobaan yang menghadang para calon pengantin ada untuk mengetes kukuh tidaknya hubungan mereka. Bahwa cobaan itu belum seberapa ketimbang nanti setelah mereka resmi menjadi pasangan yang sah. Namun, sebagian orang berpikir sebaliknya. Kalau suami-istri lebih banyak cobaan, buat apa menikah? Sebagian orang itu malah semakin enggan untuk melakukannya. Termasuk aku yang berpikir bahwa menikah adalah angan-angan utopis yang tidak yakin bisa kuraih atau tidak. Pola pikir tersebut yang sedang bersemayam dalam diriku saat ini—diri seorang laki-laki menuju 30 tahun yang selalu ditanyai “mana pasanganmu?” atau “kapan nikah?”

Beberapa waktu lalu saat aku pulang ke kampung halaman, Ummi tiba-tiba mengajak bicara serius. Beliau bilang bahwa adik laki-lakiku akan menikah tahun 2020 ini dan aku bertanya, “Wah, serius?! Dia sudah punya cukup uang untuk melakukannya?” Beliau merespons bahwa uang bukan perkara, bahwa yang penting adalah keyakinan untuk menikahi seseorang. Mau tak mau aku angguk-angguk setuju. Namun setelah itu, beliau bertanya lagi, “Kamu kapan? Apa tidak ada gandengan?” Pada saat itu, aku berandai-andai bisa menjawab pertanyaan beliau semudah mencari ide topik artikel blog harian. Di lain kesempatan, beliau menawariku untuk mencarikan saja perempuan yang mungkin cocok untukku (alias aku dijodohkan). Di lain lagi kesempatan, beliau mewanti-wanti, “Tidak apa-apa kamu tidak punya pacar sekarang. Toh belum usia 30.”

13 Februari 2020

Abridged Books: Kenapa Ada Buku versi Ringkas?

Edited by Me

Baru-baru ini, aku menyelesaikan karya klasik "Little Women" karya Louisa May Alcott. Versi yang kubaca hanya setebal 60-an halaman dan ada sisipan ilustrasi di setiap halaman. Versi itu diterbitkan oleh penerbit Indonesia namun berbahasa Inggris dengan kosakata yang mudah dipahami. Pada bagian akhir buku, terdapat glosarium daftar kata bahasa Inggris yang—kemungkinan—sulit dipahami lalu dijajari dengan terjemahan bahasa Indonesia-nya. Versi itu dicetak dengan sampul keras dan berukuran kecil. Pada bagian sampul, gambar empat bersaudara March dibuat semenarik dan seberwarna mungkin agar lebih memikat. Di bawah judul terdapat tulisan "retold from the story by Louisa May Alcott". Bila ditelusuri lebih lanjut, di halaman awal terdapat nama penulisnya yaitu Samantha Noonan.

Aku sengaja membeli dan membaca "Little Women" versi itu karena buru-buru ingin membaca. Sebagai persona yang menganut aliran baca-dulu-tonton-kemudian, aku tidak mau kecolongan menonton film "Little Women" gubahan Greta Gerwig yang tayang sejak awal Februari di Indonesia. Dan aku amat ingin menonton filmnya karena pemainnya yang begitu menggoda: Timothée Chalamet (yang aku suka dari "Call Me by Your Name"), Saoirse Ronan (kusuka sejak "Lady Bird"), Florence Pugh (dari "Midsommar"), dan tentu saja Emma Watson (yang selalu kuagung-agungkan karena kecantikan dan keintelekannya). Aku juga kaget ternyata ada Bob Odenkirk (yang sudah tak asing sejak dia main di "Breaking Bad"). Alasan-alasan itulah yang membuatku harus lekas mencari bukunya dan membacanya. Untung saja ada versi ringkas "Little Women" yang diterbitkan Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) ini.

11 Januari 2020

Buku Paling Berkesan 2019 dan Kenangan-Kenangan

Edited by me

“Apa rekomendasi di sini?” Pertanyaan itu selalu kuajukan tiap kali ke sebuah restoran atau kafe yang baru kudatangi. Beberapa penjaga kafe memberikan satu pilihan menu signature atau specialty kafe itu. Sebagian yang lain merekomendasikan menu favorit yang banyak dipesan. Aku mendapati respons yang kedua saat mengunjungi sebuah kafe di bilangan Wahid Hasyim, Jakarta. Sang penjaga kafe merekomendasikan minuman bernama Durian Leaf yang langsung kupesan. Setelah duduk, aku membuka laptop dan menilik draf tulisan tentang kaleidoskop 2019 yang sudah kumulai tulis sejak malam pergantian tahun baru. Aku bimbang apakah perlu lanjut menulisnya atau tidak mengingat sekarang sudah hampir pertengahan bulan di tahun baru. Padahal, aku berencana menayangkannya di sini sebelum tanggal 10. Sayangnya, rutinitas dan hal lain yang tiba-tiba muncul menghancurkannya.

Saat sudah memutuskan untuk lanjut menulis dan pemanasan fokus, minuman itu datang. Warnanya hijau muda, sedikit pucat. Aku pikir ukuran gelasnya tidak begitu besar karena harganya cukup murah. Ternyata lumayan banyak. Rasanya enak, perpaduan buah durian yang tidak begitu menyengat dan daun teh. (Atau itu betulan daun pohon durian?) Fokus lanjut menulisku buyar, berpindah ke minuman yang ada di hadapanku. Aku sedikit dongkol. Distraksi-distraksi kecil seperti ini sering terjadi dan menghabisi apa pun yang sedang jadi fokus utamaku tanpa tedeng aling-aling. Aku malah bertanya-tanya berapa banyak distraksi yang menghadangku untuk menuntaskan tulisan ini. Rebahan, tontonan Netflix, buku bacaan, media sosial yang perlu digulir lini masanya, pekerjaan lain, rebahan lagi, tontonan Netflix yang lain lagi. Mungkin ini salah satu resolusiku pada tahun baru 2020: mereduksi distraksi. Karena, sungguh, kamu akan begitu jengkel saat membuang waktu berhargamu alih-alih melakukan apa yang seharusnya kamu kerjakan.

04 Januari 2020

Ulasan Buku: Poem PM

Edited by Me

Hari Sabtu aku pergi ke sebuah mal di bilangan BSD City untuk bertemu dengan rekan kantor lama. Kami makan di sebuah restoran lalu mengobrol selama lebih dari dua jam. Setelah berfoto bersama dan meminta tagihan makanan, kami berdiskusi akan melakukan apa. Aku memberi ide untuk berkunjung ke toko buku dan yang lain setuju. Setiap ke pusat perbelanjaan, aku menyempatkan diri untuk ke toko buku. Bisa dibilang, aku paham buku apa saja yang baru rilis dan yang paling laris, juga terbitan yang sedang tren. Beberapa tahun lalu ada novel-novel adaptasi dari aplikasi menulis Wattpad. Dua tahun belakangan ada buku-buku puisi bersampul keras.

Hari Kamis buku puisi karya Putri Marino terbit. Hal itu ditandai dengan dirinya yang membagikan foto salah satu halaman bukunya melalui akun Instagram-nya. Putri kemudian menyematkan takarir dengan tagar #bukupoempm. Hal yang amat wajar karena setiap penulis yang baru merilis buku pasti melakukannya. Tak dinyana, postingan tersebut menuai respons masif nan kontroversial terutama di jagat Twitter. Seorang netizen mengatakan bahwa ia tidak memaafkan puisi-puisi Putri Marino (maksudnya, bahwa karya-karyanya itu tidak baik untuk si netizen). Seorang yang lain membandingkan puisi Putri Marino dengan puisi Sutardji Calzoum Bachri (yang jujur aku baru tahu nama itu). Tapi, apakah mereka sudah membaca bukunya?