23 Februari 2020

Ganjil-Genap: 3 Pelajaran Penting dari Belum Menikah di Usia 30

Edited by Me

Menikah itu rumit. Aku samar-samar ingat pernah melihat sebuah utas tentang pasangan akan menikah yang harus menghadapi berbagai rintangan tak terduga dan “ada-ada saja”. Utas itu direspons dengan orang-orang yang juga menghadapi kesulitan saat akan menikah. Beberapa komentar bernada positif, bahwa cobaan yang menghadang para calon pengantin ada untuk mengetes kukuh tidaknya hubungan mereka. Bahwa cobaan itu belum seberapa ketimbang nanti setelah mereka resmi menjadi pasangan yang sah. Namun, sebagian orang berpikir sebaliknya. Kalau suami-istri lebih banyak cobaan, buat apa menikah? Sebagian orang itu malah semakin enggan untuk melakukannya. Termasuk aku yang berpikir bahwa menikah adalah angan-angan utopis yang tidak yakin bisa kuraih atau tidak. Pola pikir tersebut yang sedang bersemayam dalam diriku saat ini—diri seorang laki-laki menuju 30 tahun yang selalu ditanyai “mana pasanganmu?” atau “kapan nikah?”

Beberapa waktu lalu saat aku pulang ke kampung halaman, Ummi tiba-tiba mengajak bicara serius. Beliau bilang bahwa adik laki-lakiku akan menikah tahun 2020 ini dan aku bertanya, “Wah, serius?! Dia sudah punya cukup uang untuk melakukannya?” Beliau merespons bahwa uang bukan perkara, bahwa yang penting adalah keyakinan untuk menikahi seseorang. Mau tak mau aku angguk-angguk setuju. Namun setelah itu, beliau bertanya lagi, “Kamu kapan? Apa tidak ada gandengan?” Pada saat itu, aku berandai-andai bisa menjawab pertanyaan beliau semudah mencari ide topik artikel blog harian. Di lain kesempatan, beliau menawariku untuk mencarikan saja perempuan yang mungkin cocok untukku (alias aku dijodohkan). Di lain lagi kesempatan, beliau mewanti-wanti, “Tidak apa-apa kamu tidak punya pacar sekarang. Toh belum usia 30.”

13 Februari 2020

Abridged Books: Kenapa Ada Buku versi Ringkas?

Edited by Me

Baru-baru ini, aku menyelesaikan karya klasik "Little Women" karya Louisa May Alcott. Versi yang kubaca hanya setebal 60-an halaman dan ada sisipan ilustrasi di setiap halaman. Versi itu diterbitkan oleh penerbit Indonesia namun berbahasa Inggris dengan kosakata yang mudah dipahami. Pada bagian akhir buku, terdapat glosarium daftar kata bahasa Inggris yang—kemungkinan—sulit dipahami lalu dijajari dengan terjemahan bahasa Indonesia-nya. Versi itu dicetak dengan sampul keras dan berukuran kecil. Pada bagian sampul, gambar empat bersaudara March dibuat semenarik dan seberwarna mungkin agar lebih memikat. Di bawah judul terdapat tulisan "retold from the story by Louisa May Alcott". Bila ditelusuri lebih lanjut, di halaman awal terdapat nama penulisnya yaitu Samantha Noonan.

Aku sengaja membeli dan membaca "Little Women" versi itu karena buru-buru ingin membaca. Sebagai persona yang menganut aliran baca-dulu-tonton-kemudian, aku tidak mau kecolongan menonton film "Little Women" gubahan Greta Gerwig yang tayang sejak awal Februari di Indonesia. Dan aku amat ingin menonton filmnya karena pemainnya yang begitu menggoda: Timothée Chalamet (yang aku suka dari "Call Me by Your Name"), Saoirse Ronan (kusuka sejak "Lady Bird"), Florence Pugh (dari "Midsommar"), dan tentu saja Emma Watson (yang selalu kuagung-agungkan karena kecantikan dan keintelekannya). Aku juga kaget ternyata ada Bob Odenkirk (yang sudah tak asing sejak dia main di "Breaking Bad"). Alasan-alasan itulah yang membuatku harus lekas mencari bukunya dan membacanya. Untung saja ada versi ringkas "Little Women" yang diterbitkan Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) ini.