08 April 2019

Ocotillo Dreams: Fiksi Sejarah dari Barat Daya Amerika

Edited by Me

“The simple reason is that I want to know more about the literary creations of this region — the region that is also my residence while in the United States.”

Alasan di atas aku tulis ketika koordinator program memintaku untuk membuat pernyataan tertulis kenapa memilih kelas Literature of the Southwest yang mana, katanya, belum pernah ada satu pun partisipan program sebelumnya yang mengambil kelas bidang itu. Terkesan rada berlebihan tetapi aku memang ingin tahu bahan bacaan macam apa yang ada di kawasan barat daya Amerika terutama Arizona. Selain itu, aku juga ingin tahu bagaimana nuansa dan rasa sebuah kelas literatur berjalan—yang jadi salah satu keinginanku sejak lama dan akhirnya terkabul. Di kelas ini, tugas membaca buku “wajib” dan diskusi kelas jadi dua rintangan yang nyata. Aku bahkan sempat bertemu dengan pengajar kelas ini karena rasa gelisah muncul saat tiba waktu diskusi kelas. Hal itu kebanyakan karena aku tidak membaca buku yang didiskusikan sampai habis. Yah, bagaimana bisa menyelesaikan bacaannya kalau isu yang diangkat berat dan penggunaan bahasa Spanyol yang kental sekali? Setidaknya, aku mencoba—karena pedomanku adalah baca 50 halaman pertama; bila suka, lanjutkan—bila tidak, tinggalkan.

Tiga buku “wajib” sudah dibahas di kelas Literature of the Southwest. Satu buku kuhabiskan dengan terseok-seok; dua lainnya aku tinggalkan karena, yah, susah. “Ocotillo Dreams” adalah buku “wajib” keempat dan buku “wajib” kedua yang kuselesaikan. Sejauh ini, buku inilah yang bisa kunikmati betul-betul dan, bisa dibilang, jadi salah satu bacaan favorit tahun ini. Berlatar kota Chandler di Arizona circa tahun 90-an, buku ini menceritakan seorang wanita muda bernama Isola yang terpaksa meninggalkan San Francisco sementara waktu untuk mengurus rumah milik mendiang ibunya di Chandler. Awalnya, dia tidak suka dengan kota sepi nan tiada kehidupan itu. Namun, hadirnya Cruz, pria dewasa yang juga memiliki kunci rumah dan tidur di dalamnya, membuat Isola sedikit tertarik dengan kota itu. Sebetulnya, Isola tertarik pada Cruz.

07 April 2019

Lawan Reverse Culture Shock dengan Daftar Buku-Buku Keinginan

Edited by Me

Tersisa kurang dari 40 hari lagi sebelum kembali ke Jakarta dan bersua lagi dengan keluarga, teman-teman, dan kolega. Bahagia bercampur haru dan khawatir adalah perasaan yang tak bisa ditangkis. Kekhawatiran itu muncul karena apa yang dinamakan dengan reverse culture shock—sebuah keadaan ketika aku harus mengalami perubahan kembali setelah pulang ke kampung halaman. Di sini, aku sudah terbiasa dengan berjalan di lajur sebelah kanan, menghitung uang menggunakan dolar, menggunakan microwave, sampai minum air langsung dari keran. Saat pulang nanti, tentu saja sebagian besar kebiasaan itu sudah tidak bisa diaplikasikan. Setidaknya, aku sedang berpikir untuk membeli microwave atau rice cooker di tempat tinggal baru nanti. Itu baru hal-hal kecil yang terlihat remeh. Ada yang lain lagi seperti khawatir tidak menemukan perpustakaan yang selengkap di sini dari buku-buku fiksi klasik, fiksi remaja, buku bergambar anak-anak, sampai kaset DVD film dari tahun 80-an sampai sekarang. Dari semua kekhawatiran yang kusebutkan itu, satu kekhawatiran terbesarku adalah melakukan rutinitas yang monoton setiap harinya—bekerja Senin sampai Jumat dari jam 9 pagi sampai 5 sore dan tidak berdaya pada akhir pekan. Aku tahu ini terdengar dungu tetapi aku ingin melakukan hal lain selain mencari uang untuk hidup.

Bruce LaBrack, direktur Pacific Institute for Cross-Cultural Training di University of the Pacific’s School of International Studies, menjabarkan sepuluh tantangan yang akan dihadapi siswa/siswi ketika pulang ke negaranya setelah mengenyam studi di luar negeri. Salah satunya adalah reverse “homesickness” di mana seseorang akan merindukan tempat mereka tinggal saat studi sebagaimana ia merindukan kampung halamannya saat awal-awal berada di negara tempatnya menimba ilmu. Perasaan kehilangan yang ia alami adalah “bagian integral dari perjalanan internasional yang harus diantisipasi dan diterima sebagai hasil alami dari belajar di luar negeri.” Salah satu tip untuk mengatasi reverse culture shock dari LaBrack adalah mempersiapkan proses penyesuaian—berpikirlah apa yang akan terjadi saat pulang nanti. Mengetahui tip itu, aku bertanya-tanya apa yang bakal kulakukan di Indonesia nanti. Lalu aku memutuskan: Oh, tentu saja beli buku!