Edited by Me |
Baru-baru ini, aku menyelesaikan karya klasik "Little Women" karya Louisa May Alcott. Versi yang kubaca hanya setebal 60-an halaman dan ada sisipan ilustrasi di setiap halaman. Versi itu diterbitkan oleh penerbit Indonesia namun berbahasa Inggris dengan kosakata yang mudah dipahami. Pada bagian akhir buku, terdapat glosarium daftar kata bahasa Inggris yang—kemungkinan—sulit dipahami lalu dijajari dengan terjemahan bahasa Indonesia-nya. Versi itu dicetak dengan sampul keras dan berukuran kecil. Pada bagian sampul, gambar empat bersaudara March dibuat semenarik dan seberwarna mungkin agar lebih memikat. Di bawah judul terdapat tulisan "retold from the story by Louisa May Alcott". Bila ditelusuri lebih lanjut, di halaman awal terdapat nama penulisnya yaitu Samantha Noonan.
Aku sengaja membeli dan membaca "Little Women" versi itu karena buru-buru ingin membaca. Sebagai persona yang menganut aliran baca-dulu-tonton-kemudian, aku tidak mau kecolongan menonton film "Little Women" gubahan Greta Gerwig yang tayang sejak awal Februari di Indonesia. Dan aku amat ingin menonton filmnya karena pemainnya yang begitu menggoda: Timothée Chalamet (yang aku suka dari "Call Me by Your Name"), Saoirse Ronan (kusuka sejak "Lady Bird"), Florence Pugh (dari "Midsommar"), dan tentu saja Emma Watson (yang selalu kuagung-agungkan karena kecantikan dan keintelekannya). Aku juga kaget ternyata ada Bob Odenkirk (yang sudah tak asing sejak dia main di "Breaking Bad"). Alasan-alasan itulah yang membuatku harus lekas mencari bukunya dan membacanya. Untung saja ada versi ringkas "Little Women" yang diterbitkan Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) ini.
Membaca bukunya, aku dibuat paham tentang inti cerita yang diciptakan Louisa May Alcott ini. Tentang keluarga miskin terdiri atas seorang ibu dan empat anak perempuannya yang ditinggal sang ayah dan bagaimana mereka melanjutkan hidup. Sang anak sulung, Meg, harus menjaga adik-adiknya sekaligus menjadi panutan. Ia suka dengan barang-barang mewah karena ia masih ingat bahwa keluarganya pernah berada dulu. Ketiga adiknya punya kesukaan masing-masing. Jo pada tulis-menulis dan buku bacaan, Beth pada musik dan instrumen piano, dan Amy pada visual dan melukis. Namun, fokus utama cerita ada pada Jo yang berjuang membantu hidup keluarganya yang semuanya perempuan. Ia bahkan sempat memotong rambut indahnya untuk mendapat imbalan uang. Uang tersebut ia berikan kepada Marmee (panggilan keempat bersaudara itu kepada sang ibu) sebagai tambahan ongkos menjenguk sang ayah. Cerita yang kutangkap dari versi ringkas ini berkutat pada keluarga dan kasih sayang serta perihal emansipasi.
Buku versi Ringkas (Abridged Version)
Dari versi ringkas "Little Women" ini, aku dibuat penasaran dengan abridged version dari sebuah buku. Pertanyaan-pertanyaan merupa. Siapa yang memulai ide ini? Apa peringkasan ini perlu meminta izin dari sang pengarang asli? Bagaimana jika pengarang tersebut sudah wafat berpuluh-puluh tahun silam? Bagaimana dengan isi cerita bukunya? Seberapa ringkas cerita yang harus diambil? Dan pertanyaan-pertanyaan turunan lainnya. Namun, yang paling utama adalah: Kenapa ada versi ringkas dari sebuah buku (abridged version dalam bahasa Inggris)?
Bahasan ini harus dimulai dari jenis karya yang terdiri atas: unabridged dan abridged version—di sini aku ambil karya klasik karena karya klasik yang paling banyak diringkas. Unabridged version di mana karya tersebut adalah versi aslinya tanpa ada pengurangan atau peringkasan cerita. Unabridged version adalah karya yang benar-benar dibuat oleh sang pengarang. Kedua adalah abridged version yang merupakan versi ringkas dari karya tersebut. Ciri-ciri versi ringkas ini adalah adanya kata abridged, simplified, condensed, atau retold by yang hadir di bagian sampul atau informasi halaman awal buku tersebut. Biasanya, abridged version ini menghadirkan nama penulis lain yang bertugas meringkas dan menulis ulang karya. Seperti versi "Little Women" yang kubaca diceritakan ulang oleh Samantha Noonan. Penjelasan pada paragraf ini aku sarikan dari tulisan di blog Mbak Bzee berjudul “Ragam Terbitan Buku Klasik”.
Aku lalu menelusuri dari mana awal mula hadirnya abridged version sebuah karya tulis—yang jawabannya sulit ditemukan. Namun, Wikipedia menyebutkan bahwa contoh penting dari hadirnya abridged version adalah karya-karya dari Penguin Books yang diterbitkan dalam lini Signet Classics. Signet Classics diawali pada 25 Februari 1948 dengan nama Signet and Mentor Books. Mereka menerbitkan karya-karya—yang kini menjadi klasik—juga karya-karya versi ringkasnya. Salah satu karya versi ringkas yang penting dari Signet Classics adalah The Signet Classics Bible yang meringkas sekitar 40% dari Alkitab sepanjang 850.000 kata versi King James. Pada abad ke-19, peringkasan ini menjadi celah yang paling sering disalahgunakan dalam hukum hak cipta karena dianggap sebagai fair use (sebuah doktrin dalam hukum Amerika Serikat yang mengizinkan penggunaan terbatas materi hak cipta tanpa terlebih dahulu mendapatkan izin dari si pemegang hak cipta).
Menurutku, tindak peringkasan bukan tindakan melanggar hukum terutama tentang hak cipta. Penulis yang meringkas pasti punya kapasitas untuk memilah dan memilih intisari cerita untuk kemudian dituliskan kembali. Si penulis sendiri jugalah yang menulis ulang cerita dengan kata-kata sendiri berdasarkan alur, plot, dan karakter si buku utama. Lagi pula, penulis pasti menyertakan sumber kisah yang ia sadur tersebut. Ini mengingatkanku pada “Steal Like an Artist” karya Austin Kleon. Ia menyemburkan ide tentang mencuri yang sudah ada dan menciptakan yang baru. Aku yakin abridged version adalah hal baru dari apa yang sudah ada (unabridged version).
Terakhir, tentang manfaat hadirnya versi ringkas dari sebuah buku. Kris Bales dari blog Weird Unsocialized Homeschoolers memberi tiga alasan penting adanya abridged version dari sebuah buku klasik, terlebih pada anak-anak. Pertama, versi ringkas memberikan perkenalan secara komprehensif terhadap kisah dari sebuah bacaan yang biasanya berbunga-bunga dan memiliki kosakata tidak awam. Kedua, versi ringkas menjadi alternatif akses bacaan bagi para pembaca yang kesulitan. Ketiga, versi ringkas mengakomodasi jalan cerita utama yang padat dan penting sehingga dapat lebih mudah diingat.
Aku pribadi tentu merasa terbantu dengan kehadiran abridged version. Membaca versi ringkas adalah alternatif apalagi ketika aku merasa ingin sekali membacanya. Belum lagi tekanan banyaknya buku yang harus dibaca dan waktu yang semakin sedikit untuk melakukannya. Intinya ada pada efisiensi dan kemudahan. Bagaimana denganmu? Pernah membaca buku versi ringkas?
Kayaknya saya pernah baca versi abridged, tapi lupa judulnya. Hanya saja, rasanya tidak puas membaca versi abridged.
BalasHapusOhya, apakah ada batasan dalam membuat versi abridged ini? Misalnya jumlah halaman buku yang dapat dibuat versi abridged-nya, atau tahun terbitnya?
Halo Mbak Desti, terima kasih sudah memberi komentar. Untuk batasannya, aku sempat baca kalau misalnya versi ringkas itu bisa memangkas 30-75% dari isi buku asli. Asumsiku, kalau buku versi ringkas tebalnya 100 halaman, berarti buku versi asinya bisa mencapai di atas 500 halaman.
Hapus