Tahun : 2020
Dibaca : 13 Mei 2020
Saat remaja, pernahkah kamu mengalami cinta monyet? Itu istilah untuk rasa suka pertama kali yang tertuju pada orang lain, biasanya teman sebaya yang sekelas atau beda kelas, walaupun bisa juga kakak atau adik kelas. Bagi anak baru gede, cinta monyet begitu menggairahkan. Janji bertemu di kantin belakang sekolah saja sudah bikin berdebar-debar. Belum lagi jika teman-teman yang lain mengetahui bahwa kamu sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Mereka akan men-“cie-cie”-kan saat kamu pulang bareng dengan si doi. Secara tak sadar, cinta monyet terasa sebentar, main-main, dan terlalu membingungkan, apalagi ketika kamu harus berpisah dengan si doi setelah lulus sekolah. Hal-hal yang terjadi saat cinta monyet juga kerap terpatri dalam memori dan dijadikan bahan pembicaraan di kemudian hari. Walaupun begitu, bagaimana jika si cinta monyetmu kala sekolah terus berkutat di hidupmu sampai beberapa tahun kemudian?
***
Marianne berderap ke pintu depan dan membuka pintu ketika mendengar bel rumahnya berbunyi. Connell berada di sana dan Marianne mempersilakannya masuk. Ibu Connell, Lorraine, bekerja untuk keluarga Marianne. Lorraine kerap datang beberapa kali dalam seminggu untuk membersihkan rumah yang lumayan besar itu. Connell yang tidak sabaran meminta ibunya segera menyelesaikan pekerjaannya lalu pulang. Hanya saja, ada beberapa hal yang Lorraine masih harus bereskan. Rentang waktu itu menjadikan Marianne bisa mengobrol canggung dengan Connell, si cowok populer di sekolah yang sama-sama mereka pergi untuk belajar. Setelah beberapa percakapan, Marianne bilang kepada Connell, “Kau mungkin membenciku, tapi kau satu-satunya teman bicaraku.” Connell membalas, ”Aku tidak pernah bilang aku membencimu.” Beberapa jenak kemudian, Marianne tiba-tiba berkata, “Well, aku menyukaimu.”
Mendengar itu, Connell diam. Untungnya, Lorraine memecah kebuntuan karena sudah menyelesaikan pekerjaannya. Connell tidak merespons apa pun pada Marianne setelahnya hari itu. Yang Connell tahu, ia akan berkunjung lagi ke rumah Marianne untuk menjemput ibunya tapi dengan sedikit lebih awal. Dan itulah yang benar-benar dilakukan Connell. Keduanya mulai menjalin hubungan. Hanya saja, Connell memilih bahwa hubungan mereka berdua harus dirahasiakan karena Connell tidak ingin teman-temannya tahu. Marianne tidak mempermasalahkan hal itu. Hubungan sembunyi-sembunyi keduanya berjalan baik sampai tiba saat mereka harus kuliah dan pindah ke luar kota. Walaupun kuliah di tempat yang sama, Connell merasa dirinya terabaikan sedangkan Marianne berubah jadi begitu populer sampai-sampai ia selalu ada di setiap pesta dan perkumpulan elite.
“Normal People” pertama kali terbit pada 2018. Ini merupakan novel kedua Sally Rooney setelah “Conversations with Friends” yang rilis setahun sebelumnya. Kisah Marianne dan Connell begitu populer sampai-sampai beberapa toko buku di daratan Amerika terheran-heran. Sebuah artikel berjudul “Is Carrying A Sally Rooney Book The New Instagram Status Symbol?” yang ditulis Kathryn Lindsay pada April 2019 silam menjelaskan betapa kondang buku ini tidak hanya di media sosial Instagram tetapi juga di toko-toko buku. Sebuah toko buku independent di kota New York bahkan harus memesan 300 kopi. Kepopuleran “Normal People” bertambah karena mendapat rekognisi; dari menjadi daftar panjang dalam ajang literasi bergengsi The Man Booker Prize pada 2018 sampai masuk ke lis 100 buku terbaik abad ke-21 versi The Guardian.
Butuh kurang-lebih dua tahun sampai akhirnya ada penerbit lokal yang melirik “Normal People”. Pada Maret 2020, Bentang Pustaka merilis versi terjemahannya dengan warna sampul cerah nan terasa segar. Sayangnya, aku merasa ditipu karena alih-alih mencerahkan, cerita Marianne dan Connell malah terasa menyebalkan dan melelahkan. Kalau di awal aku bicara tentang cinta monyet, memang itulah yang terjadi pada keduanya. Namun, kisahnya tidak hanya bertengger di masa sekolah saja akan tetapi sampai empat tahun setelahnya. Selama itu, pembaca akan ikut diombang-ambing oleh beragam konflik yang terjadi pada kedua tokoh itu. Walaupun terkesan labil, Rooney lihai menjebak pembaca untuk tetap berkutat dalam kisah romansa Marianne dan Connell.
Izinkan aku membagi buku ini dalam dua bagian: masa pertama adalah saat Marianne dan Connell masih SMA dan masa kedua adalah saat keduanya kuliah. Aku melakukan itu karena ada sekat perkembangan karakter yang membelah masing-masing karakter utama. Di awal, narasi yang disampaikan Rooney dalam buku ini terasa manis dan menegangkan—terutama di awal saat Marianne dan Connell harus ‘kucing-kucingan’ dengan hubungan mereka. Semakin ke belakang, apalagi saat keduanya sudah pindah ke Trigas College, narasinya terasa semakin dingin. Hubungan mereka tentu saja berlanjut dengan beragam rintangan dan hambatan; baik dari luar maupun dari diri mereka sendiri. Namun, di sinilah kebrilianan Rooney terekspos: dalam perkembangan karakter yang disuntikkannya pada Marianne dan Connell.
Edited by Me |
Setidaknya ada tiga perkara menarik yang disarikan dari perjalanan empat tahun kisah cinta Marianne dan Connell dalam “Normal People”. Aku sengaja membuat poin-poin dari kutipan dalam bukunya supaya dapat lebih memahami konteks adegan dalam buku. Berikut ketiganya.
1. “It's not like this with other people.”
“Tidak seperti ini dengan orang lain,” ujar Marianne ketika dirinya bertemu kembali dengan Connell pada masa kedua mereka setelah mereka beberapa bulan tidak bertemu satu sama lain secara intim. Perlu diingat bahwa seperti novel romance pada umumnya, “Normal People” menyuguhkan kisah cinta dua sejoli antara Marianne dan Connell. Pada masa pertama, hal-hal manis antara keduanya terjadi dan, bagai pasangan sempurna, keduanya mungkin akan dielu-elukan setiap orang yang tahu kisah cinta mereka. Namun, kesan itu sepertinya dihempaskan begitu saja oleh Rooney pada masa kedua. Setelah melewati banyak rintangan, mereka dipertemukan kembali. Marianne kecanduan dengan Connell dan Connell pun tidak membantah apa pun yang mengindikasikan bahwa dirinya merasakan hal yang sama.
Sayangnya, mereka selalu terpaut satu sama lain bahkan ketika keduanya sudah memiliki pasangan. Bukan hanya hubungan seks, mereka pun masih berhubungan melalui pesan teks atau surel. Mereka digambarkan saling tak terpisahkan. Terjadi perkembangan karakter di sini. Setelah kukulik lebih jauh, keduanya berada pada hubungan yang disebut dengan clandestine relationship atau hubungan klandestin. Dari KBBI, “klandestin” berarti secara rahasia; secara gelap; secara diam-diam. Hubungan klandestin berarti sebuah hubungan terselubung yang cenderung disebut selingkuh. Mungkin hubungan seperti ini tidak bisa dicegah tetapi tentu saja terasa salah apalagi jika masing-masing sudah memiliki pasangan. Aku menemukan sebuah jurnal menarik berisi penjelasan psikologi tentang hubungan klandestin di sini.
2. “Maybe I want to be treated badly.”
“Mungkin aku ingin diperlakukan dengan buruk.” Ini disampaikan Marianne kepada Connell suatu waktu ketika dirinya berpacaran dengan seorang pria sadis yang suka memukul bernama Jamie. Dari kata-kata itu, terlihat bahwa Marianne merasa dirinya sebagai objek. Sederhananya begini, kalau kamu subjek kamu “memperlakukan” dan kalau kamu objek kamu “diperlakukan”. Lihat kata-kata yang dipilih Marianne tersebut. Anehnya, Marianne mengaku bahwa ialah yang ingin diperlakukan seperti itu. Aku melihat ini sebagai perkembangan karakter yang suram mengingat, walaupun berkecukupan, Marianne tinggal bersama keluarga yang kasar dan tidak pedulian. Kakaknya, Alan, begitu mendikte Marianne dan pernah melukai Marianne secara fisik. Aku bertanya-tanya apakah ini yang terjadi ketika seseorang yang tertimpa begitu banyak hal buruk. Apakah ia akan merasa biasa-biasa saja atau bahkan mendamba untuk menerima hal buruk berikutnya?
3. “I don’t know why I can’t be like normal people.”
“Aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa seperti manusia normal.” Lagi-lagi ini kutipan dari Marianne yang disampaikan kepada Connell. Saat itu, Marianne merasa tidak dicintai bahkan sejak ia dilahirkan. Sebetulnya ini berhubungan dengan keluarganya dan memang beririsan dengan poin dua yang kujelaskan di atas. Hanya saja, aku melihat yang ini dalam gambaran besarnya. Walaupun digambarkan bagai manusia tak terlihat pada masa pertama, Marianne mengalami hal sebaliknya pada masa kedua. Ia begitu populer di kampus. Namun, ia tetap saja merasa berbeda dari orang kebanyakan—orang normal. Yang jadi pertanyaan adalah, seiring berjalannya waktu dan seiring perkembangan karakter yang diterimanya, apakah definisi kenormalan Marianne berubah?
Marianne dan Connell sama-sama coba untuk menyesuaikan diri baik pada masa pertama dan masa kedua. Pada masa pertama, Connell bahkan tidak mau teman-temannya tahu tentang dirinya yang suka baca sedangkan Marianne tak repot mengubah asumsi semua orang di sekolah bahwa dirinya aneh. Keduanya tentu membiarkan itu “normal”. Pada masa kedua, hal itu berbalik. Marianne jadi populer sedangkan Connell susah-payah untuk meneruskan hidup yang lurus-lurus saja dengan kuliah dan bekerja paruh waktu. Di sini, kenormalan keduanya tentu bergeser. Marianne mungkin merasa “normal”-nya tidak sama dengan anggapan “normal” orang lain. Yang jadi penting di sini adalah bagaimana kita menganggap apa yang kita lakukan adalah normal tanpa peduli anggapan normal orang lain, walaupun kerap kali kita berusaha untuk menyesuaikan diri dengan anggapan normal tersebut.
***
Daisy Edgar-Jones dan Paul Mescal di "Normal People" (Sumber: IMDb) |
“Segera difilmkan” tertulis di bagian pojok kiri atas sampul versi terjemahan “Normal People”. Sebetulnya bukan lagi “segera” dan bukan “difilmkan”. Pada April 2020, rilis adaptasi serial tv-nya di saluran BBC Three dan Hulu. Aku yang selesai membacanya pada pertengahan Mei lalu langsung cari cara untuk menontonnya. Hanya butuh seharian untuk menyelesaikan serial yang terdiri atas 12 episode berdurasi 20 menitan itu. Aku terpuaskan dengan perkembangan karakter Marianne dan Connell yang tersampaikan di sana. Walaupun begitu, aku sedikit risih dengan adegan seksnya yang—walaupun memang panas dan menggairahkan—mendistraksi jalannya cerita. Baru-baru ini, santer kabar bahwa serial TV yang sudah runut sesuai dengan bukunya ini berpotensi akan dibuat musim keduanya.
Selain ketiga perkara di atas, ada hal menarik lain yang disoroti dari “Normal People” ini. Yang paling utama adalah tentang kelas sosial antara Marianne dan Connell yang sebetulnya bisa terlihat juga dari penjelasan panjang-lebar di atas. Untuk mengetahuinya lebih jauh, silakan baca ulasan Dwight Garner untuk The New York Times. Hal menarik lainnya, yang masih berhubungan dengan kelas sosial, adalah beberapa orang menganggap bahwa konsep cinta Marianne dan Connell mirip dengan karya-karya klasik seperti karya Jane Austen. Salah satu yang mengemukakan ini adalah Fidhia Kemala dalam ulasan serial tv-nya. Aku tidak menyebut-nyebut tentang ini karena baru membaca satu karya Jane Austen: “Lady Susan”.
Sebagaimana cinta monyet yang begitu normal di kalangan anak baru gede yang baru mengenal ketertarikan satu sama lain, kisah cinta Connell and Marianne yang berkelindan tak tentu arah pun bisa dibilang merupakan hubungan yang dianggap normal. Kenormalan seseorang tentu sangat subjektif. “Normal People” mengingatkan bahwa betapa sebuah hubungan adalam normal untuk sebagian orang walaupun terlihat ganjil dari luar. Buku yang bagus!
Tidak ada komentar :
Posting Komentar