31 Desember 2018

Buku Paling Berkesan 2018

Edited by Me

Beberapa hari lalu akun Twitter-nya Twitter mengepos: “Your 2018 in emojis”. Ketika mau jawab dengan emoji yang berhubungan sama Amerika Serikat, aku bertanya-tanya, “Kayaknya nggak cuma tentang Amerika Serikat deh.” Karena 2018 memang lebih dari itu. Selain ke Amerika Serikat dalam rangka beasiswa kuliah dan magang (lihat di sini), buku antologi yang aku berkontribusi di dalamnya juga akhirnya rilis setelah menunggu selama hampir dua tahun (lihat di sini). Bisa dibilang itu dua sorotan utama tahun ini. Yang lainnya? Mungkin tentang bagaimana aku memenej diri sebagai pelajar, editor di Ruang, dan pembaca. Aku masih mengurusi kanal Fiksi Populer Ruang dengan intensitas yang sedikit dikurangi—terima kasih kepada ibu managing editor Ruang yang memberikan kelonggaran atas target artikel bulanan. Dan aku masih bisa merampungkan tantangan membacaku dengan melahap lebih dari 70 buku selama tahun 2018.

Bisa dibilang membaca buku menjadi bagian yang paling butuh usaha. Selain harus meluangkan waktu untuk membacanya, aku yang berpindah ke Amerika Serikat ini sedikit kesulitan dalam beradaptasi terutama dalam pemilihan buku. Mungkin aku pernah bilang di suatu pos di blog BIbli ini bahwa aku jarang sekali membaca buku berbahasa Inggris. Bukan karena tidak bisa, tetapi karena malas dan kadang kesulitan dalam mengartikan kata, frasa, dan kalimat dalam bahasa Inggris. Hampir putus asa tidak bisa menyelesaikan tantangan, akhirnya pada September lalu aku memberanikan diri untuk fokus melahap buku berbahasa Inggris. Masak tinggal di Amerika Serikat tidak membaca buku bahasa Inggris? Dan sesungguhnya akses menemukan buku di sini itu mudah dan gratis—tinggal datang ke perpustakaan dekat tempat tinggal, pinjam, lalu mulai membaca.

24 Desember 2018

Ulasan Buku: Ya, Aku Lari! + Giveaway

Judul : Ya, Aku Lari!
Pengarang : Hasan Aspahani
Penerbit: DIVAPress
Tahun : 2018
Dibaca : 15 Desember 2018
Rating : ★★★

Mengetahui pengarang adalah penyair yang melalui karyanya mendapat gelar buku puisi terbaik Anugerah Hari Puisi dan Yayasan Hari Puisi tahun lalu, aku antusias dengan karya novel Hasan. Sebuah pertanyaan selalu mengemuka tentang hal itu: Kenapa pada akhirnya sang penyair yang biasanya menciptakan puisi lantas menelurkan novel? Namun, sebenarnya Hasan tidak bisa diberikan pertanyaan seperti itu. Ditilik dari bibliografinya, walaupun ia seorang penyair dengan menelurkan beberapa buku kumpulan puisi, ia juga pernah merilis sebuah buku biografi berjudul “Chairil” yang mengupas sosok Chairil Anwar. Mengingat belum membaca satu pun karyanya, aku coba melahap “Ya, Aku Lari” ini tanpa ekspektasi apa pun. Tiada garam, tiada merica, tiada saus tomat maupun kecap manis. Aku baca saja.

“Ya, Aku Lari!” berkisah tentang seorang narapidana yang baru keluar dari penjara bernama Mat Kid yang memiliki masa lalu kelam dan ingin mengenyahkannya. Ia berupaya untuk memperbaiki diri dengan mengajak anak gadisnya, Alta, hadir kembali ke kehidupannya. Tentu saja masa lalu akan selalu menempel di kening sejauh apa pun Mat Kid beranjak dan sebesar apa pun tekadnya ingin meninggalkannya. Suatu ketika Alta hampir menjadi korban penembakan di kafe tempatnya bekerja. Usut demi usut, ternyata “kawan lama” Mat Kid-lah yang berulah atas kejadian itu. Kewalahan, Mat Kid merasa harus mengenyahkan masa lalunya itu.

Kisah bukan hanya berpusat pada Mat Kid, hadir pula seorang remaja-menuju-dewasa bernama Barbar. Ia barista di sebuah kedai kopi yang juga tempat Alta bekerja. Barbar cuma nama panggilan—ia suka memutar lagu-lagu band rock legendaris God Bless yang dipunggawai oleh Ahmad Albar. Barbar kerap meracik hidangan kopi baru dengan komposisi berbeda dari jenis-jenis kopi yang ada dan menamainya sesuai dengan komentar dari si pencicip hidangan kopi barunya itu. Seperti Kopi Penjara yang dikomentari Mat Kid “seperti berada di gerbang penjara ketika saya pertama kali keluar setelah bertahun-tahun menjalani hukuman.”

01 Oktober 2018

Cerita dari Gurun: Setelah 50 Jam Jadi Sukarelawan

Edited by Me

Hari Sabtu kemarin, jam sukarelawanku menembus angka 50. Sebuah pencapaian bagiku karena: (1) aku mendedikasikan jam-jam tersebut untuk—kalau kata KBBI—melakukan kerja sukarela tanpa paksaan, dan (2) aku tidak pernah berpikir untuk melakukan hal itu. Kesibukan sebagai “pekerja teks komersial” dan prestise sebagai manusia milenial ibukota tidak sedikit pun mencetuskan diri ini untuk kerja sukarela. Aku terlalu berkutat pada kebahagiaan pribadi. Kehidupan di Amerika Serikat benar-benar mengubahku.

Kerja sukarela populer di Amerika Serikat. Saat bertanya ke seorang instruktur kampus tentang bagaimana orang Amerika Serikat melihat kerja sukarela, dia menjawab itu tergantung. Beberapa orang mungkin begitu individualistis dan apatis sehingga tidak pernah melakukan hal itu. Namun, sebagian besar orang Amerika Serikat sangat suka kerja sukarela sehingga bisa menjadi gaya hidup. Ada kepuasan batin yang muncul seusai meluangkan waktu untuk membantu. Saat kerja sukarela kemarin, aku sempat mengobrol dengan beberapa dari sukarelawan di acara tersebut. Mereka suka bekerja sukarela.

Bentuk kerja sukarelanya pun bisa apa saja. Ada sebuah organisasi bernama Feed My Starving Children yang selalu membuka sesi dua jam kerja sukarela untuk mengepak bahan makanan yang nantinya akan disumbangkan kepada anak-anak yang kelaparan di negara-negara berkembang dan terbelakang. Selain itu, seiring terdepannya Internet, ada sebuah situs yang khusus untuk mencari kerja sukarela bernama volunteermatch.org. Melalui situs itu, kamu bisa mencari bentuk kerja sukarela yang sesuai dengan kepribadianmu. Kamu bisa memilih berdasarkan preferensi, jenis kerja sukarela, dan organisasi yang membutuhkan sukarelawan. Proses adaptasi menjadi masyarakat Amerika Serikat ini begitu seru.

25 September 2018

I Really Didn't Think This Through: Self-Esteem dan Self-Love

Judul : I Really Didn't Think This Through
Pengarang : Beth Evans
Penerbit: HarperCollins
Tahun : 2018
Dibaca : 23 September 2018
Rating : ★★★★

Ketika Beth yang baru masuk sekolah menengah atas amat butuh pertolongan untuk menangani tantangan dan kesedihan yang sudah tidak bisa ditampungnya lagi, percakapan dengan admin wanita dari kantor konselor sekolah berikut terjadi. "Aku pikir aku butuh bantuan," ujar Beth. "Bantuan apa?" tanya wanita itu. "Yah, aku sedih sepanjang waktu. Aku sedih dan benar-benar kesal," jawab Beth. "Oh. Kami tidak melakukannya di sini. Kami melakukan konsultasi akademik, membantu kau memilih kelas dan merancang jadwal. Jika kau punya masalah emosional, kau harus bicara dengan orang tuamu," tandas admin wanita itu.

Peristiwa tersebut benar-benar terjadi. Setidaknya begitu yang Beth ceritakan pada buku "I Really Didn't Think This Through" karyanya sendiri. Buku yang baru diterbitkan Mei lalu ini sudah kulirik sejak beberapa waktu lalu karena slogan judulnya yang menggugah: Tales from My So-Called Adult Life. Sebagai orang yang sedang beranjak dewasa, aku merasa perlu membaca ini. Ekspektasiku adalah bagaimana seseorang dapat memulai dan melalui masa dewasanya dengan baik-baik saja. Baik-baik saja di sini dalam konteks memasuki usia seperempat abad. Apa saja yang bakal terjadi kala dewasa? Apa saja yang harus dihindari? Apa saja yang harus lebih diperhatikan? Untungnya, buku ini menjawab lebih.


Selain adegan admin wanita di kantor konselor sekolah, Beth bercerita banyak hal tentang hidupnya melalui buku ini. Bagai kepompong yang mengelupaskan diri untuk menjadi kupu-kupu, keberanian Beth dalam menguak semua peristiwa-peristiwa sedih, sensitif, dan penting dirinya patut diacungi jempol. Bisa dibilang, buku ini adalah autobiografi Beth. Bedanya, Beth bukan bercerita tentang hal-hal menakjubkan dan peristiwa-peristiwa yang mendorongnya menjadi orang sukses—sungguh membosankan bila begitu. Beth bercerita halangan-halangan yang menimpanya—dari kerikil kecil sampai bongkahan batu besar—lalu menjadikan mereka pelajaran berharga yang menginspirasi. Tidak hanya itu, Beth yang jago menggambar juga menyertakan ilustrasi dan komik strip buatannya di dalam buku ini.

21 Juni 2018

Tentang Aku dan Buku + Giveaway

Foto: Dokumen Pribadi

Setiap kali pulang ke kampung halaman, sebisa mungkin aku sempatkan melakukan ini—sesuatu yang kemudian aku sebut ritual: mengeluarkan semua koleksi buku-bukuku dari tempat penyimpanan, menilik satu per satu, lalu menekuk-nekuk ringan mereka. Bisa dibilang, merekalah hartaku yang berharga. Aku menganggap mereka seperti hewan peliharaan—yang untungnya tidak menimbulkan suara, tidak rewel, dan tidak membuang kotoran. Mereka hanya butuh "bernapas" sesekali dan peregangan agar otot-otot kertas mereka tidak kaku. Sayangnya, aku terlalu malas untuk menyimpan mereka di tempat layak dan hal inilah yang membuatku harus melakukan ritual. Mereka ditempatkan di bagian bawah lemari pakaian milik almarhum kakek. Aku berniat untuk membeli boks kontainer untuk mereka tetapi waktu selalu tidak mengabulkan. Terlepas dari itu, ada keasyikan tersendiri kala membongkar kembali tas-tas keresek berisi mereka. Dengan ritual ini, aku bisa bernostalgia tentang isi buku dan tentang bagaimana dan kapan aku mendapatkan mereka.

Setiap koki selalu punya cerita makanan yang pertama kali dimasaknya. Setiap pilot selalu punya cerita kota yang pertama kali disinggahinya. Begitu pun pembaca yang selalu punya cerita buku yang pertama kali dilahapnya. "Totto-Chan: Si Gadis Kecil di Tepi Jendela" karya Tetsuko Kuroyanagi menjadi buku yang selalu aku sebut-sebut untuk konteks itu. Buku pertama yang kubaca ini kudapatkan ketika masih TK. Saat itu, pihak yayasan memberikan buku ini dengan harapan dapat dibaca oleh wali murid. Dengan kekaguman berlebihan karena baru kali itu memegang sebuah buku, aku coba membacanya walau aku yakin saat itu aku membaca sekadarnya dan mengamati ilustrasinya. Tetap saja buku itu menjadi buku pertama yang kubaca. Setelah membacanya ulang beberapa tahun lalu, aku mengira-ngira alasan pihak sekolah memberikan buku itu kepada para wali murid. Kisah Totto-Chan yang bersekolah dengan fasilitas apa adanya diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi para wali murid dan orang tua.

21 Mei 2018

Ulasan Buku: Cara-Cara Tidak Kreatif untuk Mencintai

Judul : Cara-Cara Tidak Kreatif untuk Mencintai
Pengarang : Theoresia Rumthe & Weslly Johannes
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2018
Dibaca : 1 Mei 2018
Rating : ★★★★★

Beberapa hari lalu adik laki-lakiku yang pertama ulang tahun. Ia menginjak usia 21 tahun dan sedang menjalani sebuah hubungan serius dengan sang pacar. Malam hari sepulang kerja, sang pacar datang membawa sebuah kado. Isinya? Sebuah baju koko dan perintilan lain. Sudah barang tentu, adikku merasa senang. Aku kemudian bertanya-tanya apakah ia kecewa karena hadiah yang diterimakan hanya sebuah baju koko. Walaupun tidak banyak, ia sudah punya beberapa yang membuatnya bisa bergonta-ganti mengenakannya kala ke masjid. Dan orang tua kami pun kerap membelikannya kala lebaran. Lebih-lebih, kami sekeluarga tidak pernah merayakan ulang tahun dan saling membelikan kado. Terlepas dari siapa si pemberi, apakah hadiah itu spesial? Apakah adikku berharap sang pacar memberikan hadiah lain? Lebih-lebih, apakah adikku berpikir bahwa sang pacar tidak kreatif untuk mencarikan kado yang lebih baik? Lalu, alih-alih menceritakan kisah sendiri, kenapa aku malah menceritakan kisah adikku dan pacarnya? Yah, kau sudah tahu jawabannya.

"Dengan ini saya menyatakan akan selalu memuja puisi-puisi TR dan WJ."

Kalimat megah cenderung ilahiah itu menjadi satu-satunya kalimat yang kupikirkan sesaat setelah membaca buku terbaru Theoresia Rumthe dan Weslly Johannes ini. Kalimat yang pada saat itu juga kutulis di kolom ulasan Goodreads. Sekarang, setelah beberapa minggu menyelesaikannya dan walaupun aku harus membuka halaman demi halamannya lagi, imanku tetap kukuh. Puisi-puisinya memang aneh. Di satu sisi, puisi-puisi itu membuatku ingin memiliki seseorang yang dicintai. Di sisi lain, puisi-puisi itu bisa menjaga kewarasanku untuk tetap kalem. Mereka memberikan pengertian bahwa cinta bukan hanya tentang siapa dan seberapa besar tetapi juga tentang bagaimana dampak yang ditimbulkan—yang ternyata amat dahsyat. Bahwa cinta menyurutkan kekecewaan adikku—itu pun bila ada—atas kado tidak spesial yang diterimanya dari sang pacar. Bahwa cinta mendorong Theo dan Weslly menelurkan bait-bait puisi. Bahwa cinta, melalui manuvernya—ciuman—bahkan bisa menjaga sebuah bangsa.

13 April 2018

Menghidu Aroma Karsa

Edited by Me

"Bagi saya, parfum bagaikan asap rokok. Semakin orang tak peka menyemprotkan minyak wangi banyak-banyak, semakin jengkel orang-orang seperti saya," ujar Wendy Helfenbaum dalam tulisannya. Ia mengalami hiperosmia atau meningkatnya kepekaan pada indra penciuman. Hiperosmia tidak berkaitan secara langsung dengan masalah psikologis atau syaraf, tapi merupakan reaksi terhadap berbagai jenis bau yang biasanya tidak bisa dihidu oleh kebanyakan orang. Wendy pernah satu lift dengan seorang wanita karier dengan aroma parfum menyengat. Tenggorokan Wendy seketika meregang. Walaupun berada jauh dari sang wanita karier, Wendy merasa seperti sedang menelan bulat-bulat aroma bunga. Kepala Wendy berdenyut, gelombang mual menyergapnya. Wendy juga pernah berada dalam sebuah acara pesta keluarga dan tiba-tiba seorang wanita—yang sepertinya menyemprotkan seisi botol parfumnya—duduk di sampingnya. Wendy meminta pelayan memintanya wanita itu pindah secara halus. Saat hal itu ternyata, sang wanita menatap Wendy kebingungan seolah-olah berkata, "Siapa? Aku? Memakai terlalu banyak parfum? Aku bahkan tak menciumnya."

Lantas, apakah penderita hiperosmia sensitif hanya terhadap parfum? Tentu saja tidak. Segala bau-bauan pasti tercium secara masif sampai-sampai mereka merasakan sesak. Bagi yang tidak kuat, mual bahkan muntah-muntah. Biasanya, toleransi mereka akan sudah diambang batas saat memasuki tempat makan, studio bioskop, atau tempat yang begitu ramai. Beberapa orang bahkan tahu kehadiran seseorang dari baunya tanpa melihat dulu siapa seseorang itu. Hiperosmia juga membuat mereka yang menderitanya meminta atasan mereka untuk membatasi pemakaian produk di tempat kerja—terutama jika lingkungannya terbuka. Bagaimanapun, mereka dapat mengendus apa saja sepanjang hari. Akan tidak nyaman dan kurang fokus ketika mereka bertemu dengan aroma-aroma menyengat. Lebih jauh, sensitivitas terhadap bau ini mungkin bisa dimanfaatkan untuk meracik minyak asiri dalam industri parfum. Barangkali kepekaan mereka akan menghasilkan sebentuk aroma yang pas dan disukai banyak orang. Dua kalimat sebelum ini sebenarnya hanya imajinasi hasil dari cerita yang baru saja kunikmati—sebuah buku berjudul "Aroma Karsa".

06 April 2018

Masa Depan Versi Ready Player One

Edited by Me

Apa gambaran masa depan menurutmu? Bagi dunia yang dibangun John Krasinski dalam film terbarunya berjudul "A Quiet Place", masa depan dipenuhi makhluk asing yang buta tapi peka suara, haus darah, dan mematikan. Dengan penggambaran dunia seperti itu, manusia yang masih hidup terpaksa harus selalu tenang dan tidak berisik dalam berkeseharian. Sekali saja botol minummu jatuh tak sengaja, nyawamu benar-benar terancam. "A Quiet Place" memaksa para penontonnya berpikir: Mungkinkah hidup dalam keterbatasan seperti itu? Dapatkah seseorang melakukan segala aktivitas tanpa mengeluarkan bunyi apa pun? Keberadaan monster yang terus membayangi juga menjadi masalah sendiri. Itu seperti seseorang yang takut kecoak diharuskan hidup di sebuah ruangan yang berisi beberapa ekor kecoak. Bisa dibayangkan betapa waswasnya ia? Betapa ia harus terus terjaga dan amat berhati-hati agar kecoak tidak mendekat padanya lebih-lebih terbang ke arahnya. Ketegangan, kehati-hatian, dan keheningan adalah bentuk masa depan yang ditawarkan oleh "A Quiet Place".

Pada 1999 di dunia nyata, penulis fiksi-ilmiah David Gerrold pernah memprediksi masa depan. Suatu saat pada masa depan akan ada alat yang ia namakan PITA (Personal Information Telecommunications Agent). "Saya memiliki telepon selular, tempat penyimpanan saku, penyeranta, kalkulator, kamera digital, perekam suara saku, pemutar musik, dan di suatu tempat di sekitar sini, saya dulu punya televisi berwarna," ujar David. Prediksinya tidak melenceng. Gadget pada masa sekarang bahkan memiliki fungsi melebihi alat-alat yang disebutkan David tersebut. Dari menunjukkan arah, menyimpan data, sampai sebagai alat pembayaran. Hampir dua dekade setelah prediksinya dibuat, baru-baru ini David membuat ramalan lagi tentang masa depan. Ia bilang bahwa masa depan akan diisi dengan robot yang dapat melakukan banyak tugas dan menjadi asisten digital bagi manusia. Walaupun sudah banyak diciptakan, fungsi robot pada masa sekarang masih terbatas untuk satu tugas. Sepertinya, jalan menuju masa depan seperti yang diramal David tidak akan lama lagi. Robot jadi bentuk masa depan yang ditawarkan David.

Menurutku sendiri, masa depan akan terbentuk atas teknologi yang semakin canggih, manusia yang semakin banyak, dan permasalahan yang semakin kompleks. Dan yang perlu diperhatikan secara serius adalah bentuk kedua dan ketiga. Baru-baru ini, sebuah artikel berdasar-data merilis informasi yang sulit untuk disangkal tentang angka populasi yang melejit. Para peneliti asal Kanada menaksir lebih dari 100 kota akan memiliki populasi lebih besar dari 5,5 juta orang hanya dalam 35 tahun. Apa yang terjadi pada kota-kota tersebut selama 30 tahun ke depan akan menentukan lingkungan global dan kualitas kehidupan dunia yang diproyeksikan menjadi 11 miliar orang. Bayangkan bagaimana dunia yang semakin menua ini mengemban jumlah manusia sebanyak itu. Belum lagi permasalahan yang terus terjadi dengan penambahan bentuk permasalahan-permasalahan baru. Sebagian penduduk dunia saat ini masih berjibaku dengan berbagai penyakit yang menyerang mereka. Sebagian penduduk dunia saat ini masih mencari suaka untuk terus bertahan hidup. Sebagian penduduk dunia saat ini sudah susah mendapatkan air bersih. Dan masih banyak permasalahan lain.

05 April 2018

Beginilah Seni untuk Bersikap Bodo Amat

Edited by Me

"Mark Manson adalah seorang blogger kenamaan dengan lebih dari 2 juta pembaca." Siapa pun yang baru saja menyelesaikan "The Subtle Art of Not Giving A F*ck" (mari kita singkat jadi TSAoNGAF saja?) akan bertemu dengan kalimat itu pada bagian "Mengenai Pengarang" di akhir buku. Hal itu membuatku langsung mencari tahu blognya. Aku menemukan tampilan muka yang jernih dan simpel dengan mengedepankan personal branding yang kuat—dengan kalimat "Hi. I'm Mark." dan gambar ilustrasi wajahnya. Setelah kutelusuri, banyak artikel menarik seputar pengembangan diri yang ingin kubaca. Itu mengingatkanku pada situs web seperti Lifehack dan Thought Catalog yang kontennya hampir mirip. Bedanya, beberapa artikel di blog Mark dikhususkan bagi pengunjung yang berlangganan berbayar. Kupikir, wow, ini keren sekali! Mark membuat orang yang ingin membaca teori dan pemikiran-pemikirannya dengan mengharuskan "membayar"-nya. Aku jadi ingat blog pribadi lain yang juga menyediakan layanan berbayar atau—diperhalus menjadi—donasi, Brain Pickings milik Maria Popova. Mustahilkah punya impian memiliki blog berbayar seperti milik Mark dan Maria?

Karena tertarik dengan kontennya, aku berlangganan surel mingguan blog Mark secara gratis. Sabtu kemarin, aku mendapatkan satu dengan subyek "You're not special". Isinya merujuk pada satu artikel yang ditulis Mark pada Agustus 2013 lalu (setidaknya tanggalnya tercatat begitu). Artikel ini berisi teori Mark tentang betapa sebenarnya menjadi spesial itu tidak spesial. Karena menjadi spesial pun akan tetap memiliki perasaan yang sama dengan yang tidak spesial. Yang patut digarisbawahi adalah bagaimana seseorang harus menemukan celah kecil untuk merasa bahagia. Dengan merasa bahagia, ia akan merasa spesial karena bahagia. Artikel ini juga merujuk pada bab 3 TSAoNGAF berjudul "Anda Tidak Istimewa". Menjadi "biasa-biasa saja" sudah menjadi standar baru kegagalan sehingga banyak orang berlomba-lomba untuk menjadi istimewa dan spesial. Namun, banyak dari mereka juga lupa bahwa perlombaan itu hanya untuk tujuan, bukan sebagai proses yang mengilhami hasil. Nah, sudah mulai pusing? Mari lanjutkan.

19 Maret 2018

Sistem Perkuliahan dalam Departure

Edited by Me

Saking lamanya menunda-nunda untuk menulis ulasan ini, yang tersisa dalam memoriku akan buku ini adalah latar kehidupan kampusnya. Sejak bab pertama, tokoh-tokoh yang ditampilkan adalah mahasiswa dan mahasiswi kampus di dataran Tiongkok sana. Kalau tidak di area kampus; ruang kelas, perpustakaan, lapangan olahraga, cerita berjalan di sekitar asrama mahasiswa dan mahasiswi. Hal itu sedikit banyak membuatku berpikir tentang bagaimana kuliahku dulu. Berbeda dari Gifty, Lei Han, dan teman-temannya yang hidupnya terkungkung di dalam kampus dengan segudang kegiatan, aku paling lama di kampus adalah setengah hari alias enam jam. Kampusku tidak menyediakan banyak pilihan unit kegiatan atau organisasi. Bilapun ada, tidak kuminati. Aku termasuk mereka yang ke kampus hanya untuk kuliah dan tatap muka dengan dosen. Yah, mungkin akan lebih lama bila ada tugas kelompok dan mengharuskanku mengerjakannya di area kampus—yang mana itu jarang. Maka dari itu, aku memiliki banyak waktu luang. Ralat: amat banyak waktu luang.

Aku kagum sekaligus merasa kasihan kepada mahasiswa seperti Gifty dan Lei Han yang sehari-harinya berkutat di kampus, dari pagi sampai sore atau malam. Sistem perkuliahan dalam buku ini menganut sistem poin. Maksudnya, setiap mahasiswa harus mengumpulkan jumlah poin tertentu sebagai salah satu syarat kelulusan. Tiap-tiap dari mereka memiliki buku poin yang harus diisi dengan cap. Poin tersebut didapat dari beragam kegiatan yang dilakukan di dalam kampus, di luar kegiatan akademik mereka. Semakin aktif kamu mengikuti kegiatan, semakin cepat kamu mendapatkan poin, semakin lancar pula kamu untuk lulus. Kekagumanku timbul ketika mereka dapat benar-benar menggenapi seluruh poin mereka. Itu berarti banyak kegiatan yang mereka ikuti dan, secara tidak langsung, mereka memiliki lebih banyak koneksi dengan mahasiswa dan mahasiswi dari jurusan lain. Bandingkan denganku, mantan mahasiswa yang 'teng come teng go' ini.

Di sisi lain, aku bertanya-tanya apakah mereka memiliki waktu dan kegiatan di luar kampus. Walaupun mungkin kegiatan yang mereka ikuti beragam, pernahkan mereka merasa bosan dengan kampus dan tetek-bengeknya? Walaupun mungkin mereka memiliki waktu luang pada akhir pekan, tidakkah mereka berpikir untuk mengalirkan sebagian besar waktunya untuk minat dan bakat mereka? Lalu, pernahkah mereka merasa cemas dengan tuntutan poin yang mengejar-ngejar mereka?

05 Maret 2018

Ulasan Buku: When Breath Becomes Air


Judul : When Breath Becomes Air
Pengarang : Paul Kalanithi
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun : 2016
Dibaca : 5 Februari 2018
Rating : ★★★★

Perkenalan pertama dengan buku ini adalah saat bertemu dengan rekan kantor lama sekitar setahun yang lalu. Seperti biasa, pada setiap kesempatan bertemu, karena dia juga memang suka baca buku, aku bertanya buku apa yang sedang dia baca. Buku ini disebutnya. Saat itu aku tak tertarik, karena kupikir, aku tidak akan bertaruh untuk nonfiksi lebih-lebih sebuah memoar. Selain itu, masih banyak buku fiksi lain yang menanti untuk dilahap. Waktu bergulir dan aku masih tidak ingin membacanya sampai aku mengetahui bahwa buku ini ternyata sudah diterjemahkan ke versi bahasa Indonesia. Lalu, aku mulai membaca ulasan-ulasannya di Goodreads. Mengetahui jumlah halaman yang tidak tebal-tebal amat dan ulasan yang menjanjikan, aku kepincut dan segera mencari buku ini. Saat seorang rekan membawa satu kopi buku ini, aku seperti diingatkan untuk segera membacanya. Aku lantas membeli versi digitalnya lalu, merasa tidak puas, membeli versi cetaknya.

***

Paul tak akan pernah berpikir untuk memilih skenario hidup yang ini. Skenario yang membuat karier gilang-gemilangnya seperti tertabrak trailer dan tak terselamatkan. Skenario yang membuat hidupnya berbalik seratus delapan puluh derajat. Semua skenario masa depan yang dibayang-bayangkannya lenyap. Saat ia begitu jatuh cinta dengan kariernya sebagai ahli bedah saraf, saat banyak rumah sakit dan universitas ternama menawarinya jabatan penting, saat ia dan sang istri sedang memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk memiliki momongan. Paul mengidap kanker paru-paru stadium empat pada usia 36 tahun. Organ-organ pentingnya lumpuh. Pada saat-saat terakhirnya, Paul menuliskan pesan sederhana kepada putri mungilnya, Cady, yang baru lahir beberapa bulan. Pesan yang selanjutnya tidak hanya untuk putrinya ketika sudah bisa memahaminya kelak, tapi untuk mereka yang memungkasi "When Breath Becomes Air".

***

"Dengan Kesehatan Sempurna, Aku Memulai" adalah bagian pertama buku ini. Menjabarkan masa-masa Paul sebelum kanker menyerangnya. Bahwa Paul awalnya tak berkeinginan menjadi dokter walaupun hampir semua anggota keluarga yang lain berprofesi sebagai dokter. Saat kuliah, ia memilih kelas sastra juga kelas biologi dan ilmu saraf. Tentu ada alasan sendiri kenapa ia memilih dua bidang yang secara eksplisit terlihat berseberangan itu. "Satan: His Psychotherapy and Cure by the Unfortunate Dr. Kassler, J.S.P.S." karya Jeremy Leven membuat Paul memikirkan asumsi serampangan bahwa pikiran hanyalah hasil kerja otak—yang tentu saja benar karena untuk itulah otak bekerja. Lebih lanjut, Paul mengatakan, "Kesusastraan memberikan berbagai penuturan mengenai makna menjadi manusia; maka, otak adalah mesin yang entah bagaimana memungkinkan hal itu." (hlm. 29)

24 Januari 2018

(Bukan) Cara Resign! yang Baik dan Benar

Edited by Me

Sebuah artikel menjelaskan bagaimana mengundurkan diri dari pekerjaan tanpa menimbulkan permusuhan. Cara pertama yang dijabarkan adalah memastikan bahwa atasan atau bosmu tahu tentang informasi pengunduran diri tersebut. Jangan sampai kamu membeberkan keinginanmu kepada rekan kerja. Hal tersebut membuka peluang siapa pun tahu bahwa kamu akan melakukan resign. Cara berikutnya yang menarik perhatianku adalah berjaga-jaga bila tempat kerja barumu tidak nyaman dan kamu mungkin akan kembali ke tempat kerja sebelumnya. Memang tidak semua perusahaan akan bisa menerima karyawan yang sudah resign. Namun, bila kamu memiliki hubungan yang baik dengan tempat kerja lamamu, apa saja bisa terjadi termasuk kembali lagi ke kantor lama. Jadi, jangan menyumpahi lebih-lebih "meludahi" kantor lamamu. Kamu bisa membaca artikel lengkapnya di sini.

Nah, mungkin info di atas berguna karena pada buku berjudul "Resign!" yang akan kuulas berikut tidak memberikan informasi cara mengundurkan diri yang baik dari kantor. Tentulah beberapa orang yang tahu buku ini berharap dapat mendapatkan informasi tersebut dari buku ini karena jelas-jelas judulnya adalah "Resign!". Buku ini adalah fiksi bergenre Metropop yang menceritakan karyawan yang ingin mengunduran diri namun selalu ada rintangan untuk melakukannya. Karya Almira Bastari yang merupakan jebolan Wattpad bisa dibilang amat populer. Buktinya terlihat dari antusiasme buku ini pada saat pre-order. Menurut sumber terpercaya, 800 buku habis saat PO dan dilakukan sesi berikutnya dan 800 buku lagi ludes. Betapa banyak yang menginginkannya. Semoga tiada satu pun dari 1.600 pemesan itu yang beranggapan akan dapatkan tip dan trik mengundurkan diri dari kantor melalui "Resign!". Semoga.

23 Januari 2018

Kisah Masa Depan Illuminae + Blog Tour

Edited by Me

Pertanyaan pembuka: Siapa yang menghadiri Instagram Live #SpringDibajakPenulis bersama Jay Kristoff semalam?

Beruntung karena Instagram memberikan periode waktu untuk menyimpan rekaman video di Instagram Story sehingga aku bisa menonton ulangannya (karena ada hal yang harus kulakukan, aku tidak bisa menontonnya secara langsung). Jay Kristoff adalah satu dari dua penulis seri Illuminae Files yang buku pertamanya baru saja diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Spring. Bertato, berbrewok, dan sedap dipandang; tiga deskripsi Jay saat melihatnya di layar. Kemarin pagi, aku menyelesaikan seri terbaru Netflix, "The End of the F***ing World" (tontonan yang bagus dan menyegarkan terutama bagi remaja). Tokoh gadisnya bernama Alyssa. Ia punya ayah kandung bernama Leslie. Nah, Jay mengingatkanku pada Leslie. Kurasa, sepintas, mereka mirip. Jadi, kalau kamu punya waktu sekitar 2 jam 50 menit, tontonlah seri itu. Namun, sebelum itu, coba sisihkan waktumu untuk menyelesaikan ulasan ini. Sisihkan juga uang jajanmu untuk "Illuminae". Alasannya, akan kujabarkan di bawah ini.

Sepertinya semua orang yang membaca "Illuminae" akan membicarakan bagaimana kisah di dalamnya tersaji. Menurutku, bukunya aneh. Jay pun mengakuinya pada #SpringDibajakPenulis semalam. Begini: Bayangkan kamu harus membaca diktat. Kalau terlalu berat, bayangkan kamu murid Sekolah Dasar dan diminta untuk membuat kliping. Apa kira-kira isi? Berbagai macam artikel berisi laporan berdasarkan fakta yang mungkin berpadu dengan beberapa penggalan wawancara dan gambar-gambar pendukung. "Illuminae" kurang-lebih seperti itu. Bedanya, buku ini seutuhnya fiksi dengan latar waktu sekitar 500 tahun mendatang. Wow. Apakah bentuk tulisan seperti ini adalah gaya baru? Tidak, bentuk "Illuminae" bisa disebut epistolary atau teknik penulisan menggunakan kumpulan dokumen atau surat yang berurutan. Konon, teknik seperti ini sudah ada sejak abad ke-18. There's nothing new under the sun, pal.

08 Januari 2018

Ulasan Buku: Rumah Tanpa Jendela + Giveaway

Edited by Me

Aku bertanya-tanya adakah rak novel islami di toko buku pada 20 tahun lalu? Pertanyaan yang tercetus usai membaca artikel hasil diskusi "Posisi Sastra Populer dalam Wacana Kesusastraan Indonesia". Pada artikel tersebut diterangkan bahwa fiksi populer islami baru hadir pada era 2000-an. Jauh sebelumnya, sastra populer era 60'-an banyak mengangkat tema seks dan pada kurun 70'-an sampai 90'-an tema percintaan remaja kota yang memarak. Beberapa hari lalu, ketika mengunjungi Toko Buku Togamas Affandi, aku melihat tidak hanya satu rak buku berlabel novel islami. Semakin mendekat, aku melihat satu deretan buku dengan sampul poster film yang mana menjelaskan secara gamblang bahwa buku-buku tersebut telah diangkat ke layar lebar. Semakin mendekat lagi, kesemuanya adalah buah karya Asma Nadia. Dari "Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea" sampai "Surga yang Tak Dirindukan".

Desember lalu, aku meminta Cantini Cucum, panelis diskusi yang kusebutkan di atas, menulis ulasan "Ayat-Ayat Cinta 2" karya Habiburrahman El Shirazy untuk Jurnal Ruang. Ide awalnya adalah rilisnya adaptasi film dari novel tersebut pada bulan itu sembari mengetes pembaca tentang ketertarikan mereka seputar fiksi populer islami yang belum pernah diangkat sebelumnya. Ternyata, sambutannya lumayan besar. Pada ulasan yang diberi judul "Pos-Islamisme dalam Ayat-Ayat Cinta 2", Cantini tidak hanya menjabarkan secara detail tentang novel tersebut, tetapi juga menjabarkan asal-usul fiksi nuansa islami pada satu paragraf. Ia berpendapat bahwa mencuatnya fiksi pop islami merupakan dampak lahirnya Forum Lingkar Pena. Usut punya usut, komunitas penulis dan pencinta dunia literasi terbesar di Indonesia itu didirikan oleh kakak-beradik Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia.