23 Juni 2020

Tawar Buku: Kerja Volunter, Kamar Kos, dan Hubungan Keduanya

donasi untuk sokola institute
Edited by Me

Bekerja memang identik dengan mendapatkan timbal balik. Dengan menghabiskan waktu dan tenaga untuk bekerja, kebanyakan orang merasa harus mendapat imbalan berbentuk uang, barang, atau pujian. Kita selalu diiming-imingi imbalan setelah membantu pekerjaan orangtua saat masih kecil. Semakin dewasa, kita semakin berpandangan bahwa timbal balik yang tepat dari sebuah pekerjaan adalah ketiga jenis di atas. Namun, ada bentuk imbalan lain yang bisa kita dapatkan dari bekerja, seperti kawan baru. Bentuk kerja dengan imbalan semacam itu disebut kerja volunter.

Kerja Volunter

Selain menimba ilmu, pilar lain dalam program yang membuatku terbang ke negeri Paman Sam adalah kerja volunter atau disebut juga community service. Setelah melakukan kerja volunter di sana dalam jumlah jam yang ditentukan, aku mendapat pandangan baru. Bagaimanapun, bekerja tentu membuat kita mengharapkan timbal balik. Jika kerja sesuai profesi atau keahlian akan berbalas uang, kerja volunter atau kerja secara sukarela akan berbalas imbalan yang sedikit berbeda: kepuasan batin, wawasan, dan kawan baru. Seperti salah satu kerja volunter yang kulakukan di sebuah festival di kota Phoenix. Tugasku di senjaga area tong sampah dan mengedukasi pengunjung yang membuang sampah tentang beberapa jenis sampah. Beberapa saat sebelumnya, aku diberi brief tentang jenis sampah yaitu organik dan anorganik, juga perbedaannya. Itu membuatku paham tentang sampah; membuatku menerima wawasan baru. Saat kerja volunter itu, aku juga mengobrol dengan volunter lain yang mengaku bahwa kerja volunter sudah jadi kebiasaan dan merupakan bagian dari hidupnya.

Niatku sebulat tahu lima ratusan untuk membawa pulang gaya hidup kerja volunter dari sana. Tentu tidak seekstrem pemikiran kerja volunter adalah bagian hidup. Aku hanya merasa perlu melakukannya dan akan memulai “sesanggupnya” dulu. Bak seorang pembawa perubahan, aku bahkan sudah mulai mencari organisasi atau komunitas yang membuka lowongan kerja volunter beberapa minggu sebelum kembali ke Indonesia. Gayung bersambut, sebuah informasi lowongan kerja volunter melintas di lini masa Twitter dan membuatku melamarnya tanpa pikir dua kali. Setelah paragraf-paragraf panjang yang diisi dalam formulir lamaran dan sebuah interviu nan menyenangkan, akhirnya aku bergabung kerja volunter sebagai staf media dan kampanye di sebuah organisasi bernama Sokola Institute.

Sokola Institute, lebih dikenal dengan Sokola Rimba, adalah organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang pendidikan untuk masyarakat adat. Mengawali kerja sukalera di Rimba Bukit Duableas, Butet Manurung dan teman-teman coba mengajar baca, tulis, dan hitung berasas komunitas kepada masyarakat adat Rimba terutama anak-anak. Tugas pertamaku yang dimulai sejak Agustus 2019 adalah mengurusi penerbitan sebuah buku berjudul “Melawan Setan Bermata Runcing”; dari proofreading, mencari percetakan, sampai membantu menyusun peluncuran si buku. Proyek kampanye berikutnya adalah Tur Buku Sokola yang berlangsung di enam kota di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara lalu dilanjut dengan sharing session berbasis Instagram live Sokola Keliling Online selama pandemi.

Baca juga: Cerita dari Gurun: Setelah 50 Jam Jadi Sukarelawan

Kamar Kos

Proyek Sokola Keliling Online sepenuhnya kubantu susun di dalam kamar kos ukuran (sepertinya) sembilan meter persegi. Selama pandemi, aku dan banyak orang di penjuru bumi dituntut untuk adaptasi dengan kebiasaan baru. Munculnya virus berbahaya bikin semua orang harus jaga jarak agar tidak tertular atau menulari. Tagar #dirumahaja atau #StayHome menjamur di media sosial, mengajak netizen untuk beraktivitas di rumah—termasuk bekerja. Tidak sempat pulang ke kampung halaman, aku yang terkungkung di kamar kos dipaksa untuk beradaptasi. Setidaknya, ada timbunan buku untuk dibaca sebagai pelipur lara selain game di gadget. Hanya saja, seiring waktu, semakin banyak buku dibeli secara daring (yang merupakan salah satu mekanisme koping dari jebakan #dirumahaja) dan mengakibatkan semakin banyaknya timbunan buku.

Seorang teman following di Twitter, Khansaa, membagikan utas tips menghindari impulsive buying yang dirangkum dari sebuah buku yang dibacanya. Salah satu metodenya bertajuk the "something in, something out" rule di mana kamu harus mengeluarkan satu benda untuk mendapatkan satu benda yang lain. Dalam kasusku, itu berarti aku harus menjual atau mendonasikan satu buku yang kumiliki sebagai balasan atas satu buku lain yang kubeli secara daring selama #dirumahaja. Ini ide bagus mengingat semakin lama kamarku semakin sumpek. Secara teori, ini tidak susah: satu buku masuk diganti dengan satu buku keluar. Namun, aku butuh berhari-hari untuk memilah dan memilih buku-buku yang tidak “spark joy”. Saat ini, Marie Kondo mungkin sedang tersenyum bangga padaku.

Hubungan Keduanya: Tawar Buku

Edited by Me

Sampai sini, sudah bisa meraba hubungan kerja volunter dan kamar kos? Setelah menentukan sebagian koleksi buku yang sudah (dan belum) dibaca, aku memutuskan untuk mendonasikannya. Setelah dipikir-pikir, kenapa tidak mendonasikannya untuk Sokola Institute?! Hanya saja, mereka lebih membutuhkan dana ketimbang buku. Begini, kita semua tahu bahwa pandemi berdampak luar biasa pada kondisi semua orang, baik individu maupun kelompok, baik perusahaan maupun organisasi. Beberapa dari mereka harus bekerja di rumah, beberapa yang lain harus digaji setengah, beberapa yang lain lagi tidak memiliki pekerjaan dan hanya berpasrah. Pandemi juga berdampak pada Sokola Institute. Organisasi ini membutuhkan dana untuk mendukung kegiatan pendidikan yang sedang berlangsung selama masa pandemi.

Hubungan hubungan tempat kerja volunterku dan kamar kosku yang sumpek ini membuatku menginisiasi sebuah proyek donasi untuk Sokola Institute. Aku menamakan proyek ini dengan “Tawar Buku: Donasi untuk Sokola Institute”. Singkatnya, proyek ini menggunakan konsep lelang dengan menawar barang dengan harga paling tinggi yang dana hasil lelangnya akan didonasikan kepada Sokola Institute. Ada 50 buku yang sudah kusisihkan untuk diikutsertakan dalam proyek ini. Karena terlalu banyak, aku membaginya menjadi 9 kelompok buku. Masing-masingnya diberi Nilai Tawar Bawah sebagai lowest bid (penawaran harga paling rendah) sesuai dengan nilai si kelompok buku tersebut. Teman-teman yang ingin berpartisipasi hanya tinggal menawar dengan harga minimal sejumlah Nilai Tawar Bawah. Nantinya, si penawar dengan harga tertinggi adalah yang berhak mendapatkan paket kelompok buku pilihannya.

Tawar Buku: Donasi untuk Sokola Institute

donasi untuk sokola institute

Yang perlu diperhatian perihal proyek ini:
  1. Tawar Buku adalah proyek perdana yang dilakukan secara daring. Bila ada hal-hal yang masih membingungkan, silakan hubungi Raafi.
  2. Walaupun seorang volunter untuk Sokola Institute, Raafi membuat proyek Tawar Buku murni atas inisiatif pribadi dan tidak berhubungan dengan organisasi tersebut.
  3. Hasil Tawar Buku seluruhnya akan didonasikan kepada Sokola Institute. Raafi tidak mengambil keuntungan apa pun dari hasilnya.
  4. Biaya pengiriman ditanggung oleh penawar tertinggi Tawar Buku.
  5. Tawar Buku ini berlangsung hingga hari Minggu, 28 Juni 2020. Walaupun begitu, pembayaran hasil tawar secara transfer dapat ditunggu sampai hari Rabu, 1 Juli 2020.

Lantas, buku apa saja yang diikutsertakan dalam proyek ini? Di bawah ini tertaut formulir yang harus diisi untuk berpartisipasi dalam “Tawar Buku: Donasi untuk Sokola Institute”. Di situ tercantum tata cara menawar juga, tentu saja, 9 kelompok buku yang diikutsertakan. Semoga ada kelompok buku yang cocok untukmu ya! Jangan lupa untuk menawar harga sesuai budget!

s.id/TawarBukuBibli

Selamat nge-bid!

Tidak ada komentar :

Posting Komentar