11 Januari 2020

Buku Paling Berkesan 2019 dan Kenangan-Kenangan

Edited by me

“Apa rekomendasi di sini?” Pertanyaan itu selalu kuajukan tiap kali ke sebuah restoran atau kafe yang baru kudatangi. Beberapa penjaga kafe memberikan satu pilihan menu signature atau specialty kafe itu. Sebagian yang lain merekomendasikan menu favorit yang banyak dipesan. Aku mendapati respons yang kedua saat mengunjungi sebuah kafe di bilangan Wahid Hasyim, Jakarta. Sang penjaga kafe merekomendasikan minuman bernama Durian Leaf yang langsung kupesan. Setelah duduk, aku membuka laptop dan menilik draf tulisan tentang kaleidoskop 2019 yang sudah kumulai tulis sejak malam pergantian tahun baru. Aku bimbang apakah perlu lanjut menulisnya atau tidak mengingat sekarang sudah hampir pertengahan bulan di tahun baru. Padahal, aku berencana menayangkannya di sini sebelum tanggal 10. Sayangnya, rutinitas dan hal lain yang tiba-tiba muncul menghancurkannya.

Saat sudah memutuskan untuk lanjut menulis dan pemanasan fokus, minuman itu datang. Warnanya hijau muda, sedikit pucat. Aku pikir ukuran gelasnya tidak begitu besar karena harganya cukup murah. Ternyata lumayan banyak. Rasanya enak, perpaduan buah durian yang tidak begitu menyengat dan daun teh. (Atau itu betulan daun pohon durian?) Fokus lanjut menulisku buyar, berpindah ke minuman yang ada di hadapanku. Aku sedikit dongkol. Distraksi-distraksi kecil seperti ini sering terjadi dan menghabisi apa pun yang sedang jadi fokus utamaku tanpa tedeng aling-aling. Aku malah bertanya-tanya berapa banyak distraksi yang menghadangku untuk menuntaskan tulisan ini. Rebahan, tontonan Netflix, buku bacaan, media sosial yang perlu digulir lini masanya, pekerjaan lain, rebahan lagi, tontonan Netflix yang lain lagi. Mungkin ini salah satu resolusiku pada tahun baru 2020: mereduksi distraksi. Karena, sungguh, kamu akan begitu jengkel saat membuang waktu berhargamu alih-alih melakukan apa yang seharusnya kamu kerjakan.

Omong-omong, tulisan ini akhirnya selesai. Berisikan apa yang sudah kulewati selama 2019 terutama yang berkenaan dengan buku dan literasi. Tahun-tahun sebelumnya, aku cuma memberi tahu beberapa buku bacaan terbaik dan komentar irit secara keseluruhan tentang kehidupan pada masing-masing tahun. Kali ini, ada sedikit penambahan. Pertama-tama, aku akan lebih dulu menceritakan kejadian-kejadian penting berhubungan dengan buku yang aku alami selama 2019. Aku lanjutkan dengan tiga buku paling berkesan yang kubaca pada 2019—seperti yang tahun-tahun sebelumnya. Kemudian, aku akhiri dengan tiga tema buku yang paling banyak dibaca pada 2019. Daftar di bawah ini pun sedikit-banyak berkenaan erat dengan cerita pengalamanku tinggal di Amerika Serikat. Asal kamu tahu, alasan penting menuliskan ini murni sebagai catatan atas apa yang kulalui selama tahun-tahun tersebut sekaligus sebagai kenangan yang pastinya akan kubuka saat ingin bernostalgia di masa depan.

Three Best Book-related Events in 2019

A. Going to several indie bookstores in the US

Apa yang kamu ketahui tentang toko buku independen? Bagiku yang tinggal di Indonesia khususnya Jakarta, toko buku indie tidak begitu besar. Beberapa dari mereka berbentuk kios dan berada di jantung ekonomi seperti pasar. Isinya rak-rak buku dengan judul-judul unik yang sering kali terdengar asing. Nilai plusnya, buku-buku tersebut kerap tidak ada di toko buku mayor. Pemiliknya selalu hadir di sana, menyambut pengunjung yang datang. Tidak jarang pengunjung diajak mengobrol tentang buku-buku kesukaan oleh sang pemilik. Itu berbeda dengan yang ada di Amerika Serikat. Citra tentang toko buku indie tersebut seperti diruntuhkan. Di setiap kota besar di sana, toko buku yang melabeli diri mereka sebagai toko buku independen setidaknya berdiri di atas kios besar beberapa lantai dengan isi berpuluh-puluh ribu buku, dari yang jarang dikenal sampai yang populer. Karyawannya pun berlalu-lalang menata buku-buku. Beberapa dari mereka melayani pengunjung. Salah satu yang paling berkesan adalah Powell’s Books di Portland, negara bagian Oregon. Aku mengunjunginya dan sempat menuliskan kekagumanku pada toko buku itu di postingan berikut.


B. Being a speaker at a literary event

Sekitar satu bulan sepulang dari Amerika Serikat, aku dihubungi oleh panitia acara literasi bertajuk Bandung Readers Festival 2019. Ia mengundangku untuk jadi narasumber di salah satu sesi acara tersebut. Aku sempat terkejut sekaligus tidak percaya karena aku merasa tidak punya kapabilitas apa pun untuk tampil di depan pencinta baca di Bandung. Baru saja aku buka lagi surel undangan itu untuk melihat apa alasan sang panitia. Begini katanya: “Kami merasa Raafi sebagai seorang blogger buku yang aktif dan berpengalaman membicarakan buku, adalah orang yang tepat untuk berbagi cerita dan pandangan, mewakili para pembaca lainnya pada sesi diskusi tersebut.” Saat itu, saking antusiasnya aku sampai mempersiapkan materi untuk disampaikan dengan gelisah. Aku bahkan sampai beli pakaian baru untuk dikenakan saat acara. Sayangnya, kesanku terhadap sesiku tersebut tidak baik dan itu sama sekali bukan karena penyelenggaranya. Setidaknya, aku pulang bawa pelajaran berharga. Aku menuliskannya di sini.

C. Helping publish a book for a non-profit organisation

Salah satu gaya hidup yang ingin kubawa pulang dari Amerika Serikat adalah aktivitas volunter. Aku mengamati bahwa kegiatan itu sudah lumrah bahkan jadi rutinitas sampai gaya hidup orang-orang di sana. Beberapa minggu sebelum pulang, aku mulai mencari organisasi apa yang sekiranya buka lowongan volunter lalu menemukan Sokola Institute kepunyaan Butet Manurung dan teman-temannya yang sedang mencari volunter. Alih-alih jadi volunter lepas, aku malah diajak part-time di Sokola untuk menyukseskan proyek yang sedang mereka jalankan saat itu: menerbitkan buku berjudul “Melawan Setan Bermata Runcing”. Aku mengerjakan mulai dari menyelaras aksara, berdiskusi soal sampul buku, mendaftarkan ISBN, mencari percetakan, mengecek hasil cetak buku, hingga mempersiapkan acara peluncuran bukunya dan jadi MC acaranya. Aku belajar banyak melalui proyek ini. Aku jadi tahu seluk-beluk penerbitan buku dari awal sampai akhir. Itulah yang membuatku, dengan sok, membuat twit di bawah ini. (Tapi, doakan lancar ya, karena aku akan memulainya tahun ini.)

Three Best Books of 2019

"Dry" karya Neal Shusterman dan Jarrod Shusterman

Hampir setahun seusai baca ini, aku bahkan masih ingat adegan pemungkas buku ini. Hujan datang dan menghapus musibah yang terjadi. Dari judulnya, kamu pasti sudah menerka-nerka buku tentang apa ini dan itu benar: kekeringan. Bercerita tentang seorang remaja bernama Alyssa yang tinggal di sebuah wilayah di negara bagian California. Sayangnya, dia harus berpisah dengan keluarga karena kekeringan hebat yang terjadi saat itu. Saking hebatnya, beberapa wilayah bahkan mengalami kebakaran. Terdengar familier padahal ini sebuah fiksi. Neal Shusterman bagai cenayang yang menghubungkan fiksi dan kenyataan yang sedang terjadi saat ini. Aku tidak sampai hati melihat foto-foto kebakaran masif yang terjadi di dataran Australia dan menghanguskan hewan dan habitat mereka serta mengkhawatirkan banyak warga di sana. Karena aku sudah merasakannya melalui Dry karya duet ayah-anak ini.


Mungkin kamu akan bertanya-tanya, “Serius, Raaf?! Buku bergambar anak-anak sebagai buku terbaik tahunan?!” Begini, buku ini jadi pembahasan hangat di Amerika Serikat karena gambar dan bahasa yang disampaikan begitu eksplisit membahas tentang LGBT. Mungkin kamu akan merespons, “Lho, di Amerika Serikat bukannya sudah open-minded?! Lalu, kenapa buku ini jadi masalah?” Buku ini bercerita tentang seekor kelinci yang bertemu dengan kelinci yang lain, mulai saling suka, dan berencana untuk tunangan. Pencirian gender hanya terlihat dari mereka yang sama-sama memakai pakaian seperti laki-laki. Seekor serangga berpendapat bahwa mereka tidak boleh tunangan namun hewan lainnya berpendapat sebaliknya. Yang paling mengejutkan adalah munculnya gambar Mike Pence, wakil presiden Amerika Serikat, sebagai pemilik salah satu kelinci itu. Mungkin di situlah letak masalahnya.

"Kim Ji-young, Born 1982" karya Cho Nam-joo

Buku terakhir yang masuk buku bacaan paling berkesan 2019 adalah novel dengan isu lumayan berat ini. Aku tidak akan berbicara banyak tentang buku ini di sini. Kamu bisa baca ulasan lengkapnya di sini.

Top Three Topics Related to Books I Read in 2019

Kategori ini aku buat atas dasar banyak buku yang kubaca karena punya satu alasan yang sama atau karena secara tidak sengaja berada di satu topik isu yang sama.

A. Young adult novels telling about race

Aku terkejut karena tema tentang ras adalah yang paling banyak kubaca tahun 2019. Lebih terkejut karena kebanyakan dari mereka adalah novel remaja. Kebanyakan tentang anak keturunan imigran yang tinggal di Amerika Serikat, seperti Kanada di "The Field Guide to the North American Teenager" karya Ben Philippe, Korea Selatan di "Frankly in Love" karya David Yoon, Iran di "Darius the Great Is Not Okay" karya Adib Khorram, dan Republik Dominika di "The Poet X" karya Elizabeth Acevedo. Juga ada cerita tentang keturunan Korea yang berada di Jepang yaitu "Go" karya Kazuki Kaneshiro lalu tentang ras asli Amerika di "Ocotillo Dreams" karya Melinda Palacio. Dan tentu saja tentang ras kulit hitam di "On the Come Up" karya Angie Thomas. Omong-omong soal Angie Thomas, aku juga sempat bertemu dan berfoto dengannya.

B. Children books

Salah satu hal terbaik yang terjadi selama 2019 adalah pengalaman belajar di kelas literatur di kampus Amerika Serikat. Antusiasmeku meningkat di semester terakhir di sana karena aku mengikuti dua kelas literatur: Children’s Literature dan Literature of the Southwest. Dari keduanya, yang paling kunikmati adalah kelas Children’s Literature karena obyektif utamanya adalah membantu anak-anak untuk cinta membaca. Aku baca berbagai macam buku anak dari picture book, novel anak-anak, sampai novel grafis. Aku bikin analytical reading dengan "A Wrinkle in Time" karya Madeleine L’Engle, author study dengan Dr. Seuss, dan author analysis dengan Oliver Jeffers. Tentu aku harus baca karya-karya mereka dan itu sungguh menyenangkan. Buku-buku lainnya bisa cek di sini.


C. Neal Shusterman’s works

Empat buku karyanya kubaca selama 2019. Selain Dry—yang masuk buku paling berkesan—aku juga baca dua buku ketiga dan keempat seri Unwind yaitu Unsouled dan Undivided serta buku pertama seri Scythe berjudul Scythe. Sebetulnya, aku suka keempatnya. Dry terasa begitu dekat. Dua buku seri Unwind sungguh penutup yang melegakan. Scythe juga tidak kalah dengan tema utopianya yang mengerikan. Neal Shusterman memang sudah jadi salah satu penulis favoritku selain Rick Riordan, Neil Gaiman, dan Kate DiCamillo. Kamu sudah pernah baca karya Shusterman?

***

Terlepas dari itu, aku masih sedikit baca karya penulis lokal pada 2019. Membaca lebih banyak karya penulis Indonesia termasuk salah satu resolusiku pada 2020 selain mereduksi distraksi di atas. Semangat menyongsong dekade baru!

Baca juga:
Buku Paling Berkesan 2018
Buku Paling Berkesan 2017 dan Sedikit Racauan
Buku Paling Berkesan 2016 dan Sedikit Gunjingan
Year End Recap 2015

Tidak ada komentar :

Posting Komentar