04 Januari 2020

Ulasan Buku: Poem PM

Edited by Me

Hari Sabtu aku pergi ke sebuah mal di bilangan BSD City untuk bertemu dengan rekan kantor lama. Kami makan di sebuah restoran lalu mengobrol selama lebih dari dua jam. Setelah berfoto bersama dan meminta tagihan makanan, kami berdiskusi akan melakukan apa. Aku memberi ide untuk berkunjung ke toko buku dan yang lain setuju. Setiap ke pusat perbelanjaan, aku menyempatkan diri untuk ke toko buku. Bisa dibilang, aku paham buku apa saja yang baru rilis dan yang paling laris, juga terbitan yang sedang tren. Beberapa tahun lalu ada novel-novel adaptasi dari aplikasi menulis Wattpad. Dua tahun belakangan ada buku-buku puisi bersampul keras.

Hari Kamis buku puisi karya Putri Marino terbit. Hal itu ditandai dengan dirinya yang membagikan foto salah satu halaman bukunya melalui akun Instagram-nya. Putri kemudian menyematkan takarir dengan tagar #bukupoempm. Hal yang amat wajar karena setiap penulis yang baru merilis buku pasti melakukannya. Tak dinyana, postingan tersebut menuai respons masif nan kontroversial terutama di jagat Twitter. Seorang netizen mengatakan bahwa ia tidak memaafkan puisi-puisi Putri Marino (maksudnya, bahwa karya-karyanya itu tidak baik untuk si netizen). Seorang yang lain membandingkan puisi Putri Marino dengan puisi Sutardji Calzoum Bachri (yang jujur aku baru tahu nama itu). Tapi, apakah mereka sudah membaca bukunya?

Judul : Poem PM
Pengarang : Putri Marino
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun : 2020
Dibaca : 4 Januari 2020

Sewaktu ke toko buku bersama rekan kantor lama itu, aku sengaja membeli buku Putri Marino. Judulnya “Poem PM”  Sampulnya keras, disesaki dengan sembilan foto “dokumentasi penulis”. Di pojok kanan bawah terpampang jelas gambar diri Putri Marino. Di bagian tengah tertulis kutipan puisinya, “Angan-anganku senang berada di sini // terkadang sampai lupa // pulang ke kepalaku.” Sekilas membuka halamannya, hitam dan oranye kecokelat-cokelatan jadi duet maut keseluruhan warna isi yang disisipi dengan ilustrasi bikinan Fransisca Ayu Hapsari. Di halaman depan terdapat daftar isi: tujuh tema bab yang mengelompokkan puisi-puisi. Tema bab pertama berjudul “Pada Suatu Senja Sendu” dan diakhiri dengan tema bab “Darimu, untuk Semesta”.

Membaca puisi pada halaman-halaman awal, aku merasa biasa saja. Puisi-puisinya tidak berjudul—yang mana lumrah. Mulai pertengahan sampai akhir, aku mulai terganggu dengan kehadiran elipsis pada hampir setiap bait dalam puisi-puisinya. Masalahnya titik-titiknya tidak konsisten; ada yang tiga titik, empat titik, ada yang renggang, lalu rapat. Ini membuatku melihat kembali apa itu fungsi elipsis dalam kalimat. Dari PUEBI Daring, ada dua: (1) menunjukkan suatu kalimat atau kutipan memiliki bagian yang hilang, (2) menandakan ujaran yang tidak selesai dalam dialog. Lalu, aku paham bahwa tiga titik elipsis kerap digunakan di tengah kalimat dan empat titik elipsis digunakan di akhir kalimat (titik terakhir sebagai titik penutup). Aku juga sedikit mengerti kalau penggunaan elipsis pada lirik lagu menginstruksikan bahwa penyanyi harus menyanyikannya panjang beberapa ketukan nada. Aku sukar melihat fungsi-fungsi di atas cocok dengan penggunaan elipsis pada puisi-puisi Putri Marino.

Sebagaimana bercerita, Putri Marino menyampaikan kata-kata pada setiap baitnya secara literal. Seperti tidak ada yang tersembunyi dari puisi-puisinya. Setiap membaca buku puisi, aku mengaktifkan mode penerjemahan kata-kata karena lumrahnya puisi mengeksplorasi imajinasi kata-kata. Namun, secara definitif, puisi adalah ungkapan pikiran dan perasaan yang mengutamakan keindahan kata-kata. Penekanannya ada pada: kata-kata yang indah. Dan kata-kata dalam puisi-puisi Putri Marino memang indah. Jadi, sebagai penikmat puisi awam sastra, aku menganggap puisi-puisi Putri Marino adalah puisi. Mengenyampingkan bentuk pengandaian dan majas, coba baca puisi berikut dari halaman 29.

Percayalah ....
Saat semesta dan waktu akhirnya berteman
dan saling bertegur sapa ....
Tidak ada satu pun yang mustahil ....

Termasuk membuatmu untuk kembali
memujaku ....

Yang mengejutkan dari buku “Poem PM” karya Putri Marino adalah pengelompokkan puisi dengan tujuh tema bab di dalamnya. Aku merasa itu brilian karena rasa yang disajikan pada tiap-tiapnya berbeda. Bilapun tidak, objek puisi yang dipakai berbeda. Seperti dalam tema bab “Apa yang Telah Semesta Perbuat Padaku?” berisi puisi-puisi yang menggunakan objek semesta. Lalu, tema bab “Sesal Berulang” yang mengungkapkan penyesalan. Tema bab terakhir berjudul “Darimu, untuk Semesta” paling menarik—berisi puisi-puisi karya netizen yang ditandai dengan akun-akun mereka. Lucunya, satu-dua puisi di bab itu terasa lebih mengena ketimbang puisi-puisi karya Putri.

Pada satu halaman, aku dibuat tergelak, “Kok, ya, yang begini bisa disebut puisi sih?” Pada halaman lain, aku mengernyitkan dahi. Pada halaman yang lain lagi, aku mengangguk-angguk setuju pada rasa yang tersampaikan melalui kata-kata yang indah. Sesungguhnya, buku ini sama sekali tidak buruk. Tidak sampai hati pula aku untuk bilang, “Aku tidak bisa memaafkan puisi-puisinya.” “Poem PM” dikemas dengan begitu baik dan rapi—sungguh, aku suka desain dan tata letak isinya. Namun, secara isi, Putri cuma perlu jam terbang lebih. Pada halaman “Terima Kasih” di akhir buku, Putri menyampaikan, “Dibutuhkan bertahun-tahun sampai akhirnya buku ini bisa dirilis.” Mungkin Putri butuh beberapa tahun lagi dan karya selanjutnya akan lebih bisa diterima.

Menyoal Kritik, Industri Buku, dan Dampak Era Ini

Di samping kritik yang cenderung memaki-maki seperti yang kusebutkan di atas, beberapa orang lebih santai menanggapi puisi Putri Marino dengan mengangkat kembali faedah kritik. Melalui twitnya, ilustrator Puty Puar menyampaikan bahwa dulu ia kerap merasa dirinya lebih jago dengan merendahkan karya orang lain. Ia mengatakan bahwa dirinya yang dulu adalah “a snob with anger management issue”. Ia kemudian menjelaskan lebih detail tentang tujuan sebuah karya dan bagaimana mengekspresikan kesukaan dan ketidaksukaan di ranah publik melalui kritik di blognya. Jurnalis Aditya Hadi pun mengungkapkan pendapatnya tentang puisi Putri Marino. Melalui siaran Podcast Buku Kutu episode 75-nya, Aditya menjelaskan lagi perihal bagaimana baiknya mengkritik: fokuskan pada intensi dan beri insight.

Pengarang puisi Hasan Aspahani pun angkat bicara lewat video YouTube-nya. Ia mengatakan “pemikiran dari dua wilayah yang berbeda” untuk menilai puisi Putri Marino dengan kritik sastra. Puisi Putri adalah produk dari sebuah industri buku yang tergolong populer dan disukai banyak orang. Kritik sastra adalah tentang kualitas. “Karena tidak ada hubungannya antara kualitas karya buku yang diterbitkan sebuah penerbit dengan kemungkinan laku. Satunya industri buku, satunya adalah ilmu sastra (kritik sastra),” terang Hasan.

Sebagai orang yang bekerja di industri buku, aku paham buku-buku apa saja yang baru terbit dan sedang tren. Aku bilang bahwa buku-buku puisi bersampul keras sedang marak di toko buku. Bukunya biasanya berukuran sedang dan kecil, memiliki isi penuh warna, dan berilustrasi. Sebenarnya, tidak hanya buku puisi. Buku-buku kutipan yang menurutku satu kategori dengan buku puisi pun sedang banyak-banyaknya. Dan penulisnya tidak main-main. Dari artis dan penulis terkenal sampai selebtwit, buku-buku dengan sampul tercetak nama mereka mejeng di toko buku. Kenapa begitu banyak? Alasan simpelnya karena sedang tren berkat satu buku pionir yang laris-manis di pasaran. Jadi, hati-hatilah dengan ungkapan “Pasar bisa Diciptakan” karena di ranah industri buku hal itu masih susah diaplikasikan.

Di era ini, kita dituntut untuk melakukan segalanya dengan tergesa-gesa. Kita harus gerak cepat agar tidak ketinggalan sehingga timbul yang disebut dengan FOMO (fear of missing out). Sayangnya, kecepatan itu berimplikasi pada kurang jelasnya pemahaman atas apa yang kita lakukan. Kita lupa bahwa kita mesti pelan-pelan—termasuk dalam menilai sebuah karya. Pertanyaan-pertanyaan kemudian muncul dari riuhnya topik puisi Putri Marino: Apa kita sudah melihat secara keseluruhan sebuah karya sebelum menilai? Apa tujuannya mengkritik sebuah karya dari satu partisi saja? Kemungkinan jawabannya ada dua: demi eksistensi diri atau kamu memang seorang “a snob with anger management issue” saja.

6 komentar :

  1. Kemaren waktu ditanyain ini, karena aku gak tau siapa PM, aku langsung menyamakan kasus puisi ini dengan tubir "puisi dekade ini adalah punya Rupi Kaur". Pfft. Ternyata ya gak beda-beda juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Puisi-puisinya Rupi Kaur tidak buruk-buruk amat juga, mbak. 😂

      Hapus
  2. Tbh, aku baru tahu kasus soal Putri Marino ini. Tapi, kok kayaknya ndak apple to apple yaa kalo dibandingin sama Sutardji?

    Dan, buku jenis ini tuh banyaaaak. Ya mungkin karena yang nulis Putri Marink, jadi lebih heboh atensinya. Wkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banyak banget. Satu bagian rak sendiri isinya bisa buku-buku bersampul keras dan isinya puisi-puisi berilustrasi.

      Hapus
  3. Mosok kamu belum pernah kenal nama Soetardji? Bu guru bahasa indonesia ku jaman SMP sudah sering nyebut nama beliau.

    Biar makin banyak buku Puisi, tetap saja cintaku pada junjungan Joko Pinurbo. 😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin pernah baca puisinya di suatu tempat saat pelajaran Bahasa Indonesia zaman sekolah. Tapi, dulu aku emang nggak suka pelajaran itu sih jadi tidak begitu tercitra dalam memori.

      Hapus