17 September 2017

Penerbit Indie dan Penerbit Mayor Jalan Berbarengan

Edited by Me

Saat berada di Jogja beberapa waktu lalu, aku sempat mengobrol dengan teman komunitas yang merupakan salah satu editor penerbitan di sana. Tidak ingat bahasan apa yang kami obrolkan waktu itu, tapi ada satu kepingan obrolan yang masing terngiang dalam benak. Aku bertanya tentang beberapa buku terjemahan dari penerbit-penerbit indie. Sepengetahuanku, beberapa penerbit indie tidak hanya menerbitkan terjemahan klasik yang hak penerjemahannya sudah jadi ranah publik (public domain), tetapi juga buku-buku yang baru belasan tahun lalu diterbitkan di negara asal mereka. Temanku itu mengatakan secara gamblang bahwa kebanyakan dari penerbit indie di Indonesia tidak memikirkan hak penerjemahannya. Mereka hanya terjemahkan dan terbitkan. Bukan lagi rahasia, hal yang sama pun disampaikan oleh Teddy W. Kusuma dalam acara Beranda Sastra #9 Sabtu kemarin.

***

Intermeso sebelum melanjutkan topik penerbit indie itu. Belakangan ini, aku kerap menayangkan hal-hal yang menurutku penting untuk dibagi melalui Instagram Story. Saat acara Beranda Sastra #9, aku membagikan poster acara dengan catatan tambahan: "kalo nggak baca buku, nulis tentang buku, ya datang ke acara buku". Tak berapa lama, seseorang berkomentar "flat life". Di situ saya tertohok. Saya tahu dia, dia bahkan juga suka membaca. Mungkin itu adalah sikap impulsifnya. Atau mungkin dia bercanda. Banyak pengandaian yang saya pasang untuk mengurungkan rasa benci saya. Tapi, tidak bisa. Saya membalas, "Emang hidup lo nggak flat?"

Saking terpikirkannya pernyataan itu, saya sampai membagikan percakapan itu di Instagram Story. Beberapa teman pembaca meresponsnya. Seorang menimpali, "Kalau saya sih hidupnya round. Saya nggak percaya yang flat-flat. Apalagi flat earth." Sungguh respons yang bikin sedikit tergelak. Teman lain berujar, "Nggak tau sensasinya mungkin yang komentar, Raaf." Yang lain lagi berkata, "Kupikir itu malah seru banget. Beda orang beda kesukaan sih." Sampai pada pernyataan itu, aku diingatkan kembali betapa membaca buku adalah hobi. Sama dengan aku yang tidak hobi makan, rekan kerja saya itu juga tidak terlalu suka membaca. Satu respons terakhir dari seseorang yang menggenapi pernyataan sebelumnya: "balas gini aja, 'If I'm living pursuing things I like and love, how could it be flat?'" Lalu, apa intinya? Aku hanya ingin berbagi pengalaman saat suatu hal yang kamu sukai dinilai "flat life". Jadi, bijak-bijaklah dalam berkomentar.

13 September 2017

Mentertawakan Hidup Bersama Belajar Lucu dengan Serius

Judul : Belajar Lucu dengan Serius
Pengarang : Hasta Indriyana
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2017
Dibaca : 12 September 2017 (via SCOOP)
Rating : ★★★★

"O, maaf, bagaimana kalian akrab
Dengan maaf? Apakah kalian
Teman-teman maaf?"

—Teman-Teman Maaf  (hal. 29)

Halo! Apa kabar, kawan? Menjadi orang yang punya resolusi dan harus menyesuaikan diri dengan keinginan tersebut sungguh melelahkan ya. Resolusi tahun ini untuk mempos ulasan lebih sering ternyata, bisa dibilang, gagal total. Tapi setidaknya, aku berusaha melakukannya minimal sekali sebulan. Tentu aku tidak menganggap resolusi dan menggenapinya adalah hal yang enteng. Malah aku hampir bertanya-tanya kenapa aku semakin jarang menulis padahal itulah keahlian yang seharusnya lebih banyak diasah. Bagaimana bisa terampil bila tidak dilakukan secara rutin dan kontinu? Lihat betapa hal itu harus dipikirkan. Aku tidak bisa tidak mengindahkan apa saja yang kuhadapi lebih-lebih masalah yang datang. Segalanya harus dipikirkan matang-matang. Rencana hari ini harus benar-benar jelas, harus ditulis di secarik kertas, agar tidak terlewat. Kalau tiba-tiba masalah datang, aku harus memiliki banyak jurus untuk menghadapinya dan menyelesaikannya.

Pandangan diriku yang kaku dan serius ditonjok begitu saja oleh "Belajar Lucu dengan Serius". Dinding kekakuan itu penyok dan membuatku harus cepat-cepat memilih jurus yang tepat untuk memperbaikinya. Itu yang seharusnya kulakukan. Tapi, dinding penyok itu sedikit demi sedikit kubiarkan. Toh hanya penyok kan? Tidak runtuh seluruhnya. Aku tidak bisa menjadikannya seperti semula. Pun ketika diperbaiki, pasti tidak akan sempurna seperti sedia kala. Aku hanya butuh membiarkannya, menerimanya, dan melanjutkan apa yang seharusnya kukerjakan. Atau bisa saja aku membuatnya lelucon. Atau membuat gambar dari hal penyok itu. Perlu rasanya untuk menertawakan diri sendiri bak Gusdur. Atau "menikmatinya dengan ringan sebagaimana punakawan" seperti yang disampaikan Hasta.