19 Maret 2018

Sistem Perkuliahan dalam Departure

Edited by Me

Saking lamanya menunda-nunda untuk menulis ulasan ini, yang tersisa dalam memoriku akan buku ini adalah latar kehidupan kampusnya. Sejak bab pertama, tokoh-tokoh yang ditampilkan adalah mahasiswa dan mahasiswi kampus di dataran Tiongkok sana. Kalau tidak di area kampus; ruang kelas, perpustakaan, lapangan olahraga, cerita berjalan di sekitar asrama mahasiswa dan mahasiswi. Hal itu sedikit banyak membuatku berpikir tentang bagaimana kuliahku dulu. Berbeda dari Gifty, Lei Han, dan teman-temannya yang hidupnya terkungkung di dalam kampus dengan segudang kegiatan, aku paling lama di kampus adalah setengah hari alias enam jam. Kampusku tidak menyediakan banyak pilihan unit kegiatan atau organisasi. Bilapun ada, tidak kuminati. Aku termasuk mereka yang ke kampus hanya untuk kuliah dan tatap muka dengan dosen. Yah, mungkin akan lebih lama bila ada tugas kelompok dan mengharuskanku mengerjakannya di area kampus—yang mana itu jarang. Maka dari itu, aku memiliki banyak waktu luang. Ralat: amat banyak waktu luang.

Aku kagum sekaligus merasa kasihan kepada mahasiswa seperti Gifty dan Lei Han yang sehari-harinya berkutat di kampus, dari pagi sampai sore atau malam. Sistem perkuliahan dalam buku ini menganut sistem poin. Maksudnya, setiap mahasiswa harus mengumpulkan jumlah poin tertentu sebagai salah satu syarat kelulusan. Tiap-tiap dari mereka memiliki buku poin yang harus diisi dengan cap. Poin tersebut didapat dari beragam kegiatan yang dilakukan di dalam kampus, di luar kegiatan akademik mereka. Semakin aktif kamu mengikuti kegiatan, semakin cepat kamu mendapatkan poin, semakin lancar pula kamu untuk lulus. Kekagumanku timbul ketika mereka dapat benar-benar menggenapi seluruh poin mereka. Itu berarti banyak kegiatan yang mereka ikuti dan, secara tidak langsung, mereka memiliki lebih banyak koneksi dengan mahasiswa dan mahasiswi dari jurusan lain. Bandingkan denganku, mantan mahasiswa yang 'teng come teng go' ini.

Di sisi lain, aku bertanya-tanya apakah mereka memiliki waktu dan kegiatan di luar kampus. Walaupun mungkin kegiatan yang mereka ikuti beragam, pernahkan mereka merasa bosan dengan kampus dan tetek-bengeknya? Walaupun mungkin mereka memiliki waktu luang pada akhir pekan, tidakkah mereka berpikir untuk mengalirkan sebagian besar waktunya untuk minat dan bakat mereka? Lalu, pernahkah mereka merasa cemas dengan tuntutan poin yang mengejar-ngejar mereka?

05 Maret 2018

Ulasan Buku: When Breath Becomes Air


Judul : When Breath Becomes Air
Pengarang : Paul Kalanithi
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun : 2016
Dibaca : 5 Februari 2018
Rating : ★★★★

Perkenalan pertama dengan buku ini adalah saat bertemu dengan rekan kantor lama sekitar setahun yang lalu. Seperti biasa, pada setiap kesempatan bertemu, karena dia juga memang suka baca buku, aku bertanya buku apa yang sedang dia baca. Buku ini disebutnya. Saat itu aku tak tertarik, karena kupikir, aku tidak akan bertaruh untuk nonfiksi lebih-lebih sebuah memoar. Selain itu, masih banyak buku fiksi lain yang menanti untuk dilahap. Waktu bergulir dan aku masih tidak ingin membacanya sampai aku mengetahui bahwa buku ini ternyata sudah diterjemahkan ke versi bahasa Indonesia. Lalu, aku mulai membaca ulasan-ulasannya di Goodreads. Mengetahui jumlah halaman yang tidak tebal-tebal amat dan ulasan yang menjanjikan, aku kepincut dan segera mencari buku ini. Saat seorang rekan membawa satu kopi buku ini, aku seperti diingatkan untuk segera membacanya. Aku lantas membeli versi digitalnya lalu, merasa tidak puas, membeli versi cetaknya.

***

Paul tak akan pernah berpikir untuk memilih skenario hidup yang ini. Skenario yang membuat karier gilang-gemilangnya seperti tertabrak trailer dan tak terselamatkan. Skenario yang membuat hidupnya berbalik seratus delapan puluh derajat. Semua skenario masa depan yang dibayang-bayangkannya lenyap. Saat ia begitu jatuh cinta dengan kariernya sebagai ahli bedah saraf, saat banyak rumah sakit dan universitas ternama menawarinya jabatan penting, saat ia dan sang istri sedang memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk memiliki momongan. Paul mengidap kanker paru-paru stadium empat pada usia 36 tahun. Organ-organ pentingnya lumpuh. Pada saat-saat terakhirnya, Paul menuliskan pesan sederhana kepada putri mungilnya, Cady, yang baru lahir beberapa bulan. Pesan yang selanjutnya tidak hanya untuk putrinya ketika sudah bisa memahaminya kelak, tapi untuk mereka yang memungkasi "When Breath Becomes Air".

***

"Dengan Kesehatan Sempurna, Aku Memulai" adalah bagian pertama buku ini. Menjabarkan masa-masa Paul sebelum kanker menyerangnya. Bahwa Paul awalnya tak berkeinginan menjadi dokter walaupun hampir semua anggota keluarga yang lain berprofesi sebagai dokter. Saat kuliah, ia memilih kelas sastra juga kelas biologi dan ilmu saraf. Tentu ada alasan sendiri kenapa ia memilih dua bidang yang secara eksplisit terlihat berseberangan itu. "Satan: His Psychotherapy and Cure by the Unfortunate Dr. Kassler, J.S.P.S." karya Jeremy Leven membuat Paul memikirkan asumsi serampangan bahwa pikiran hanyalah hasil kerja otak—yang tentu saja benar karena untuk itulah otak bekerja. Lebih lanjut, Paul mengatakan, "Kesusastraan memberikan berbagai penuturan mengenai makna menjadi manusia; maka, otak adalah mesin yang entah bagaimana memungkinkan hal itu." (hlm. 29)