Edited by Me |
Lebih dari sebulan aku di kampung halaman. Rasanya aneh karena kembali pulang tidak ada dalam to-do list tahun ini. Di sisi lain, kelegaan muncul karena selain bisa berhemat (aku tidak perlu lagi membayar sewa indekos di Jakarta), aku bisa mencairkan hubunganku dengan orang rumah. Tidak sedikit aku mengobrol dengan ibu dan nenek seputar kehidupan kami dan orang-orang di desa kami. Salah satunya adalah guru SD kelas 6-ku yang sempat menjadi kepala desa. Baru beberapa bulan jadi kades, ia dilengserkan karena suatu alasan. Ibu dan nenek kemudian menjelaskan berbagai asumsi yang datang dari orang lain. Aku hanya angguk-angguk sambil menyayangkan kejadian tersebut.
Kabar penuh asumsi memang kerap hadir dan tidak dapat terhindarkan. Itu bisa datang dari mana saja termasuk kerabat dan tetangga yang sesekali datang ke rumah. Di desa, penyebaran kabar dari mulut ke mulut sepertinya lebih berhasil ketimbang via aplikasi perpesanan atau media sosial. Hal ini ternyata tidak hanya berlaku di desaku. Desa tempat karakter utama Minoel tinggal di daerah Gunungkidul, Yogyakarta pun ternyata berlaku hal yang sama. Kabar yang tak bisa dipertanggungjawabkan seperti seorang pria menghamili seorang wanita di luar nikah juga menyebar di lingkungan tempat tinggal Minoel.
Judul : Minoel
Pengarang : Ken Terate
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2015
Dibaca : 25 Oktober 2020
Namanya Sinta Asmarinda. Orangtuanya memberi nama apik itu sebagai pengharapan untuknya. Sayang, musibah datang padanya. Ia sakit-sakitan semasa bayi. Suatu ketika, ia demam tinggi beberapa hari sampai tidak bisa jalan serta membuat kaki kirinya bengkok dan mengecil. Ujar kerabat orangtuanya, ia kaboten jeneng atau keberatan nama. Ada yang bilang, orang desa melarat tidak perlu punya nama bagus seperti nama Sinta. Namanya harus diganti. Dari jutaan nama, orangtuanya memilih Minoel sebagai nama anyarnya. Konon sejak perbaikan nama itu, ia tidak lagi terserang penyakit. Hanya saja, kakinya yang bengkok dan mengecil itu tidak bisa diperbaiki. Minoel harus hidup sebagai perempuan yang satu kakinya tidak berfungsi.
Minoel punya dua sahabat bernama Yola dan Lilis. Ketiganya berkawan sejak lama sampai kini mereka SMA. Yola anak orang kaya di desa itu. Ibu Yola punya toko dan bisnis lain yang berjalan turun-temurun. Yola cantik dan merupakan kembang desa yang suka gonta-ganti pacar. Sementara itu, Lilis adalah sepupu Minoel. Lilis punya pacar bernama Evan yang bermotor Honda Revo, punya helm merek INK, dan berponsel BlackBerry. Walaupun playboy, Lilis tetap menerima Evan. Selain karena rupawan, Lilis sudah jatuh cinta pada Evan. Berbeda dari Yola dan Lilis, kisah percintaan Minoel seret. Bila ada yang mau dekat dengannya, cowok itu pasti urung karena kerap diejek teman-temannya akan berpacaran dengan cewek cacat. Akan tetapi, hidup Minoel berubah setelah mengenal Akang.
Minoel langsung terima saat Akang menembaknya sepulang sekolah. Gadis itu terpesona dengan SMS dari Akang yang membuatnya melambung ke awan. Gadis itu hampir putus asa tidak akan punya pacar, apalagi dirinya yang punya kekurangan fisik. Minoel sempat ragu karena Yola melarangnya pacaran dengan Akang. Yola bilang pernah dekat dengan Akang tapi hubungannya kandas karena kelakuan cowok itu sampai-sampai kakak Yola yang seorang polisi turun tangan. Akang juga dikabarkan sudah menghamili teman mereka Rahmi. Namun, Minoel yakin Akang cowok baik-baik sehingga keduanya lanjut berpacaran. Cerita bergulir dari yang awalnya bikin Minoel berbunga-bunga sampai yang bikin Minoel bimbang, cemas, bahkan sakit hati. Minoel tidak tahu bahwa ada yang tidak betul dengan romansanya dengan Akang.
***
“Cowok-cowok buaya. Aku tahu mereka cowok gombal. Tapi, tetap saja bikin penasaran. Asyik juga kalau ditanggapi. Hihihi. Nggak ada salahnya, kan? Rasanya asyik saja membayangkan ada cowok di sana yang memikirkan kita. Bahkan kalau dia nggak kenal kita. Bahkan kalau itu cuma berakhir jadi gombal-gombalan lewat SMS.” (hlm. 55)
karya Ken Terate terbit pada 2015. Logo lawas lini TeenLit bertengger di pojok atas sampul bukunya. “Minoel” mungkin akan kulewatkan kalau bukan karena temanku Daniel bergembar-gembor tentang buku ini beberapa waktu lalu. Bintang limanya atas buku ini di Goodreads buatku penasaran. Ia sampai menginisiasi tagar #justiceForMinoel agar penerbit merilis ulang “Minoel” dengan sampul yang lebih segar. Meski khas novel remaja (kala itu), sampul yang berbedar sekarang memang kurang menggugah. Gayung bersambut, kata berjawab. Kemarin lusa, pengarang membagikan pilihan gambar sampul “Minoel” terbaru di akun Instagram-nya. Sebuah indikasi bahwa karya ini akan dicetak ulang oleh penerbit. Atas fenomena ini, tiada kata tidak untukku memulai kisah romansa Minoel—yang ternyata tidak butuh waktu lama untuk merampungkannya.
Kisah remaja identik dengan pacaran yang hadir dari ketertarikan pada orang lain termasuk lawan jenis. Bagi sebagian remaja, pacaran itu penting. Selain untuk dirinya sendiri, pacaran merupakan bentuk penerimaan sosial. Anggapan mereka yang tidak pacaran itu tidak laku atau tidak menarik kerap menjadi momok. Hal tersebut membuat mereka cari cara mati-matian untuk punya pacar demi memberikan validasi bahwa mereka tidak masuk ke dalam anggapan negatif itu. Ide inilah yang diusung oleh Ken Terate dalam “Minoel”. Bukannya mengisahkan keindahan dan kebahagiaan yang metaforis, Ken menonjolkan sisi gelap kisah romansa remaja.
Kekerasan dalam pacaran yang kerap dibenamkan
Kekerasan dalam pacaran jadi menu utama yang disajikan dalam “Minoel”. Sudut pandang cerita dibawakan oleh Minoel. Pengarang dengan gemilang menciptakan narasi seolah-olah Minoel kepayahan untuk cerita pengalaman pahitnya sehingga membuat pembaca bersimpati bahkan sejak bab pertama. Pembaca diajak menyelami perubahan kisah percintaan Minoel dan Akang. Dua sejoli yang begitu bahagia dengan hubungan mereka. Dua sejoli yang mengalami percikan pertengkaran. Dua sejoli yang kemudian berhadapan dengan hubungan abusif dan toksik. Ciri-ciri kekerasan dalam pacaran sedikit demi sedikit dimunculkan hingga puncaknya tiba.
Sebuah artikel di laman resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menjabarkan hasil survei pada 2016 tentang tingkat kekerasan seksual dan fisik pada perempuan belum menikah yang mencapai 42,7%. Itu terbagi atas kekerasan seksual di angka 34,4% dan kekerasan fisik di angka 19,6%. Artikel yang sama juga menyampaikan bahwa dari 10.847 pelaku kekerasan, ada 2.090 pelakunya adalah pacar/teman. Selain kekerasan seksual dan fisik, bentuk kekerasan dalam pacaran yang lain yaitu kekerasan emosional, ekonomi, serta pembatasan aktivitas oleh pasangan. Ini mengindikasikan bahwa tingkat kekerasan dalam pacaran di Indonesia termasuk tinggi.
Masyarakat terutama yang tinggal di desa masih kerap terkungkung stereotip yang susah ditinggalkan, termasuk asumsi tentang memiliki pacar yang mengganggu Minoel lebih-lebih saat Yola dan Lilis punya pacar. Begitupun dengan paham patriarkal di mana laki-laki adalah segalanya dan memiliki derajat lebih tinggi ketimbang perempuan. Hal tersebut membuat kebanyakan laki-laki bisa berbuat semena-mena terhadap perempuan termasuk melakukan kekerasan. Minoel ditekan untuk menuruti semua kata Akang dengan dalih ia seorang laki-laki yang kelak jadi imamnya. Minoel bahkan mengesampingkan perasaan dan logikanya yang jelas-jelas membenci sikap Akang.
Walaupun romansa penuh kelabu, cerita Minoel sungguh sempurna. Sesiapa yang menelusuri kisahnya hingga tuntas akan tahu pentingnya memahami tanda-tanda kekerasan dalam pacaran. Dengan lihai, pengarang menguraikan kalimat-kalimat manipulatif dan meledak-ledak dalam dialog-dialog Minoel dan Akang. Pembaca juga dibuat geram dengan penyelesaian kasus Minoel. Hal-hal tidak betul seperti ini begitu dekat dan mungkin saja terjadi di desa-desa sekitar kita. Minoel adalah korban kekerasan dalam pacaran. Minoel butuh keadilan yang layak. Kasus Minoel kudu diusut tuntas. #JusticeForMinoel
Aku merekomendasikan “Minoel” karya Ken Terate untuk dibaca semua orang; terutama kepada remaja, lebih-lebih kepada remaja perempuan, dan paling spesifik adalah remaja perempuan yang tinggal di desa. Juga untuk sesiapa yang kesulitan dalam memahami definisi kekerasan dalam pacaran, mereka betul-betul harus baca kisah penting ini.
Di bagian akhir, pengarang memberikan info tambahan seputar kasus kekerasan dalam pacaran di Yogyakarta. Di situ tertulis, “Rifka Annisa Women Crisis Centre di Yogyakarta menerima 14 sampai 43 laporan kasus kekerasan dalam pacaran setiap tahun selama enam tahun terakhir.” Info penting tersebut juga mencantumkan kontak LSM yang menangani masalah perempuan, remaja, dan anak. Berikut salinan info kontak dengan sedikit perubahan.
Rifka Annisa Women Crisis Centre (di Yogyakarta)
Jalan Jambon IV Kompleks Jatimulyo Indah
Jatimulyo, Yogyakarta 55242
Telepon: (0274) 553 333
Twitter: @RAWCC
Emergency Call 24 Jam Perempuan/Anak Korban Kekerasan:
0851-0043-1298 dan (0274) 9811050
Yayasan Pulih (di Jakarta)
Jalan Teluk Peleng 63 A, Kompleks AL-Rawa Bambu
Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520
Telepon: (021) 788 42 580
Twitter: @YayasanPulih
Tidak ada komentar :
Posting Komentar