24 November 2020

Manajemen Leha-Leha: Hubungan Cuti dan Komoditisasi

manajemen leha-leha
Edited by me

Koloni semut sedang jalan berbaris menuju makanan yang kami pesan, saat aku dan seorang teman sedang akan menyantapnya. Kami coba untuk menyisihkan para semut itu dari makanan kami. Namun, setelah beberapa saat berlalu, mereka kembali lagi dan kami memutuskan untuk membiarkannya. Baris koloni pekerja itu itu semakin ramai. Beberapa sudah ada yang kembali dari piring makanan dengan membawa remahan berwarna terang. Amat kontras dengan badan mereka yang hitam. Mungkin setelah menaruh remahan makanan yang akan menjadi pasokan makanan sang ratu dan koloni, mereka akan kembali lagi ke piring makanan tadi atau mencari makanan lain. Hidup semut hitam pekerja memang begitu terutama untuk kasta pekerja. Mereka akan terus dan terus bekerja tanpa istirahat. Tidak ada yang namanya istirahat apalagi liburan bagi mereka.

Manusia bukanlah semut. Bila semut bisa terus-terusan bekerja selama masa hidupnya, manusia butuh istirahat di sela-selanya. Begini, bila kamu sudah setahun bekerja di sebuah perusahaan tanpa sempat ambil cuti, segera lakukan. Kamu mungkin akan berkilah, “Tapi, ada akhir pekan untuk digunakan untuk istirahat.” Lalu, kamu akan menambahkan, “Bukankah lebih baik jika jumlah hari cutinya diuangkan saja?” Perlu diketahui bahwa (1) mengambil cuti untuk istirahat pada hari kerja punya sensasi berbeda dengan istirahat pada akhir pekan biasa dan (2) tidak semua kantor bisa mencairkan jumlah cuti tahunan menjadi uang. Lalu, kamu akan datang dengan alasan pemungkas, “Tapi, bagaimana kalau cuti malah bikin tidak tenang dan merasa bersalah karena meninggalkan pekerjaan?”

Pengarang : Nishida Masaki
Penerbit : Haru
Tahun : 2020
Dibaca : 15 November 2020

Pertanyaan terakhir paragraf sebelumnya punya momok besar dan akan terpatri pada benak beberapa dari kita, terutama yang sudah bekerja. Untungnya, “Manajemen Leha-Leha” karya Nishida Masaki hadir untuk menjawab secara komprehensif dengan ragam jenis pilihan. Buku ini anyar dirilis Penerbit Haru beberapa waktu lalu dan aku mujur karena bisa membacanya lebih awal (walaupun butuh berhari-hari untuk menyelesaikan ulasannya).

Memiliki judul asli δΌ‘γ‚€ζŠ€θ‘“ yang secara harfiah berarti ‘teknik beristirahat’, “Manajemen Leha-Leha” menyoroti fenomena karyawan di Jepang yang jarang cuti. Alasannya adalah gabungan etos kerja orang Jepang yang tinggi dan cara pikir mereka tentang rasa sungkan dan memberatkan orang lain (maksudnya, rekan kerja) ketika cuti. Menurut catatan dalam buku, persentasi pengambilan cuti karyawan di Jepang cuma sekitar 40%. Penulis yang lulusan Tokyo Medical and Dental University ini prihatin pada kesehatan mental para pekerja zaman sekarang yang terjebak dalam komoditisasi. “Hal yang sangat diperlukan untuk hal tersebut, menurut saya adalah ‘istirahat’,” ujar Nishida Masaki dalam prakata buku ini.

Apa itu komoditisasi?


Penting untuk tahu apa itu komoditisasi yang berhubungan erat dengan urgensi pekerja untuk ambil cuti. Mari belajar ilmu ekonomi sebentar. Begini, bayangkan kamu ahli membuat anyaman dompet dari daun pandan. Pada suatu ketika kamu iseng membuatnya satu dan membawanya saat meetup dengan teman-temanmu. Salah seorang temanmu tertarik dan memintamu membuatkan dompet anyaman untuknya. Semakin lama, semakin banyak orang yang memintamu membuat barang tersebut sehingga kamu sekarang menjadi seorang pebisnis dompet anyaman. Kamu membuat beragam variasi dari dompet anyamanmu itu sehingga ada jenis yang lebih murah. Padahal, saat temanmu membeli pertama kali, harganya jauh lebih tinggi dari harga yang dibuat banyak sekarang. Itulah ilustrasi dari sebuah komoditisasi. Lalu, di mana letak relasinya dengan pentingnya pekerja untuk ambil cuti?

Komoditisasi adalah perubahan nilai ekonomi sebuah barang atau komoditas menjadi homogen di mata pasar atau konsumen. Dalam “Manajemen Leha-Leha”, dompet anyaman di atas bisa disamakan dengan pekerja. Bila pekerja homogen, ia bisa digantikan dengan pekerja lain atau bahkan mesin untuk konteks zaman canggih seperti sekarang. Secara tak sadar, itu memunculkan sebuah pertimbangan: “Perlukah seorang pekerja mencurahkan segalanya untuk pekerjaan mengingat jika tidak produktif lagi, ia akan digantikan dengan orang lain?” Buku ini menekankan pentingnya sebuah manajemen cuti dan istirahat dari pekerjaan: untuk menjaga kesehatan mental pekerja sehingga tetap produktif dan tidak terjebak dalam “komoditisasi”.

Jadi, lekas ambil cutimu!

Cuti, istirahat, berlibur butuh teknik


Setelah tahu urgensi, waktunya cari tahu cara cuti, istirahat, dan berlibur itu. Nishida Masaki dalam “Manajemen Leha-Leha” memberikan teknik-teknik praktis yang dipecah jadi 5 bab, dari teknik relaksasi lima menit sampai cara beristirahat dari hubungan antarmanusia. Namun, dari 200 halaman lebih jabaran seputar teknik cuti, istirahat, dan liburan ini, setidaknya ada tiga poin menarik, penting, dan efektif yang dapat kusarikan dari buku ini.

1. Mendefinisikan ulang istirahat

Dalam KBBI Daring (diakses 23 November 2020), definisi istirahat adalah “berhenti (mengaso) sebentar dari suatu kegiatan (untuk melepaskan lelah); rehat.” Istirahat terutama dalam konteks kesehatan pun berarti tidur di kasur atau berdiam diri di rumah sehingga segera pulih dari sakit. Istirahat yang umum diketahui memang berkutat pada hal monoton untuk tidak melakukan apa-apa. Sementara itu, Nishida Masaki mengonsep ulang definisi istirahat di mana hal tersebut bukan sekadar “diam”. Meski bersifat statis (tidak melakukan apa-apa), istirahat punya sifat dinamis. Ini menunjukkan bahwa cuti bisa digunakan untuk istirahat dan hal lain yang bersifat dinamis seperti berlibur atau melakukan kegiatan di luar kebiasaan. Penjelasan seputar ini bisa ditilik dalam buku ini pada subbab “Menjadwalkan Lima Menit pada Hari Kerja untuk ‘Hal yang Disukai’” dan “Bergabung dengan Rencana Orang Lain untuk Mendapatkan Pengalaman Liburan Baru”.

“Memilih mana yang paling cocok untuk diri sendiri dari kedua sifat tersebut (statis dan dinamis) adalah cara baik untuk beristirahat bagi orang dewasa.”

2. Membedakan mode bekerja dan mode relaks

Bagai sakelar lampu yang bisa menyalakan dan mematikan lampu, seseorang pun kudu memiliki sakelar serupa. Bedanya, mode mati-nyala diubah jadi mode bekerja-relaks. Mode bekerja adalah mode ketika bekerja, sedangkan mode relaks artinya waktu saat beristirahat. Menurut Nishida Masaki, dibutuhkan sakelar bermode bekerja-relaks sehingga bisa mengetahui batasan waktu produktif dan waktu capek sehingga dapat beristirahat. Dan yang tahu tentang kedua Batasan tersebut adalah diri masing-masing. Teknik sakelar mode bekerja-relaks ini amat praktis untuk keperluan istirahat harian. Subbab “Cara Mengganti Mode Bekerja ke Mode Relaks dalam Waktu Singkat” pada buku ini menjelaskan lebih lanjut.

“Tanpa konsep merepotkan seperti penggantian mode pun, manusia sudah dilengkapi dengan sistem saraf ‘bekerja’ dan ‘relaks’.”

3. Melakukan cuti hati

Poin ini termasuk salah satu bentuk istirahat dari hubungan antarmanusia. Caranya dengan berlibur pada hari biasa dan ini berarti seseorang amat disarankan untuk ambil cuti. Disebutkan oleh Nishida Masaki bahwa dengan melakukannya, perasaan akan lebih bebas dan membuat hati lebih lega. Kondisi tempat umum pada jam-jam kantor di hari biasa tidak sepadat pada hari libur sehingga mengurangi stres yang muncul karena orang banyak dan bisa lebih bebas. Buku ini menyarankan kegiatan di luar kebiasaan seperti pergi ke dokter gigi untuk dilakukan saat cuti seperti ini. Hal lainnya, simak subbab “Jika Merasa Berat, Beristirahat dari Hubungan Antarmanusia pun Tak Masalah”.

“Membuat hari biasa yang lebih menyenangkan memiliki manfaat berbeda dengan beristirahat pada hari libur biasa.”

“Manajemen Leha-Leha” karya Nishida Masaki menjelaskan teknik-teknik cuti, istirahat, dan berlibur bagi para pekerja yang masih merasa sungkan untuk ambil cuti dengan gamblang dan mudah dipahami. Bila kamu termasuk yang seperti itu, cepatlah baca buku ini! Akan tetapi, bila kamu gemar cuti tanpa sungkan bahkan sampai jatah cutimu habis, nikmati buku ini untuk menambah ide variasi cuti yang mudah ditiru sembari menambah wawasan seputar fenomena anti-cuti di Jepang.

***


Rasanya sudah lama sekali tidak melakukan giveaway di blog. Sekitar 2014 - 2015 adalah waktu di mana blog tour dan giveaway buku-buku kerap terjadi melalui blog. Sekarang sudah lebih banyak berpindah ke media sosial seperti Twitter dan Instagram. Jadi, aku melakukannya lagi dengan disponsori pribadi. Akan ada tiga pemenang dengan hadiah giveaway dan cara ikutan sebagai berikut.

Hadiah utama
1 buku "Manajemen Leha-Leha" karya Nishida Masaki rilisan Penerbit Haru
(ongkir ditanggung)

Hadiah hiburan
2 deposit belanja buku senilai Rp50.000 di toko buku online kesayanganmu

Yang harus diperhatikan:
  1. Ikuti Twitter @raafian dan membagikan tautan bit.ly/BibliLehaLeha di akun media sosialmu (opsional saja).
  2. Bagikan tulisan pada kolom komentar di bawah: nama (inisial), akun media sosial atau alamat surel, kota domisili, dan pengalaman cuti menarikmu.
  3. Giveaway ini berlangsung hingga 30 November 2020 dan pemenang akan diumumkan 1 Desember 2020.
Semoga beruntung!

Pengumuman pemenang di sini.

6 komentar :

  1. Nama: Hapudin
    Akun: @adindilla - twitter
    Domisili: Cirebon

    Tanggal 24 November 2020 ini saya sedang cuti. Alasan saya cuti karena ingin istirahat setelah hampir 3 minggu saya kerja dengan sistem long shift. Dan menariknya sewaktu saya ijin cuti ke direktur (manajer saya baru saja resign dan belum ada pengganti), beliau ngotot supaya saya disuntik vitamin C, tapi saya menolak karena takut disuntik. Lagian saya cuma pegal-pegal saja.

    Secara langsung, itu bentuk beliau memperhatikan saya sebagai karyawan yang sudah bekerja keras beberapa minggu ini, hingga mengabaikan jam kerja yang seharusnya. Apresiasi yang cukup membuat saya melihat beliau lebih positif.

    BalasHapus
  2. nama: yaf
    twitter: @crabcapit
    domisili: Jakarta

    cuti yang menarik itu cuti yang diisi dengan liburan, waktu itu saya ke Yogyakarta dan syukurnya cuti saya tenang karena saya sudah memastikan project yang saya tangani sudah rampung dan bila ada pun, ada orang yang bisa backup hehe

    BalasHapus
  3. Nama: Anne
    Twitter: @aneeeaf
    Domisili: Bandung

    Pengalaman cuti yg menarik bagi saya yaitu ketika mengambil jatah cuti di awal tahun untuk liburan ke jogja bareng teman teman, deg deg an waktu bilang mau ambil cuti takut ga di acc πŸ˜‚ soalnya belum pernah ambil cuti yang di sekaligus in 4 hari biasanya ambil cuti cuma 1 hari itu pun untuk keperluan mendadak, dan alhamdulillah nya di acc sama atasan ku dan malah bilang jangan lupa oleh oleh nya, seneng banget akhirnya bisa liburan di hari kerja meskipun tetep ada aja sedikit pikiran yang nyangkut ke kerjaan πŸ˜†

    BalasHapus
  4. Indri | @ryanie31 | Tangerang.

    Dulu sebelum memutuskan resign dari pekerjaan menjadi guru yang merangkap staf administrasi di salah satu sekolah swasta di Tangerang, pernah beberapa kali izin cuti melebih batas waktu, dirapel ceritanya. Itu terjadi ketika pergantian tahun ajaran yang kadang bertepatan dengan libur puasa/lebaran. Biasanya kan abis itu ada pendaftaran peserta didik baru (PPDB), sering gak ikutan karena masih di kampung (Medan). Cuti yang diambil pada masa itu bisa sampai sebulanan hahaha. Untungnya, kepala sekolahnya pengertian jadi selalu dikasih izin, selama kerjaan udah beres duluan sebelum pulkam.

    Pernah juga dua minggu berlalu setelah cuti yang sebulanan itu, tiba-tiba Mbak mengabarkan akan liburan ke Jogja. Pengen ikutan juga karena jarang-jarang Mbak bisa ke Indo dan ngumpul bareng, maka jadilah minta izin cuti dua hari lagi (Senin dan Selasa) sama kepsek. Awalnya sungkan kan ya karena baru aja pulang dari Medan, eh rupanya langsung dikasih donk. Malah kata kepseknya "Kalau ada keperluan untuk urusan keluarga, yaudah bilang aja gak perlu sungkan. Karena keluarga yang utama." Setelah balik dari Jogja, bawa oleh-oleh khas Jogja kan ya untuk kepsek sebagai rasa terima kasih karena diizinin jalan-jalan, eh malah kepseknya bilang "Lho kamu ke Jogja? saya pikir kemarin izin pulang ke Medan lagi".

    BalasHapus
  5. Khansaa | @khansaafathima | Jakarta

    Setelah lulus di tahun 2018, aku memulai pekerjaan penuh waktu pertamaku di sebuah perusahaan dompet digital. Saat itu, dompet digital masih belum banyak digunakan sehingga aku dan tim harus mencapai target transaksi dan target pengguna baru setiap bulannya. Sebagai anak bawang yang baru masuk dunia kerja, target-target ini membuatku termotivasi untuk bekerja sebaik-baiknya. Apa yang ku korbankan? Tentu saja cuti tahunan.

    Dari awal masuk kerja, aku belum pernah mengambil cuti bahkan sehari untuk berleha-leha. Cuti yang aku gunakan hanya sebatas karena keperluan mendesak atau sakit, itupun terkadang masih memangku laptop ketika menunggu panggilan dokter.

    Saat itu aku merasa tidak mengambil cuti bukanlah kebiasaan yang buruk karena teman-temanku melakukan hal yang sama. Aku pun berpesan kepada diri sendiri untuk mengambil cuti panjang setelah kesibukanku berkurang. Tapi, apakah kesibukan itu akan berkurang? Tentu saja tidak.

    Di antara sibuknya kampanye akhir tahun, aku pun terpaksa cuti karena kesehatanku terus menurun. Tidak seperti sebelumnya, karena sakitku lumayan parah, aku tidak bisa tetap bekerja dan berpura-pura baik-baik saja. Aku pun mengambil cuti satu minggu untuk beristirahat. Siapa sangka, satu minggu berubah menjadi satu tahun. Yap, aku berakhir mengundurkan diri dari pekerjaanku.

    Cuti tahunanku pun berubah menjadi cuti setahun. Sebuah tamparan keras untuk aku yang hidup untuk bekerja. Padahal, setelah aku mengundurkan diri, ternyata kampanye itu tetap berjalan seperti biasa. Aku dengan mudah tergantikan dengan karyawan lain, namun kesehatanku tidak akan pernah terganti: aku mengidap penyakit kronis yang tidak bisa sembuh.

    Saat ini aku sudah memiliki pekerjaan baru, dan minggu depan aku sudah merencanakan cuti selama satu minggu. Semoga aku bisa membaca buku ini ketika cuti dan membagikan ulasannya ke teman-teman pekerjaku. Mari bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja.

    BalasHapus
  6. Zakia | @bestonmyway | Tangerang

    Dua tahun pengalaman kerja, aku baru melakukan cuti sekali di Desember tahun lalu. Itu pun tak lama, hanya tiga hari dengan alasan menghabiskan jatah cuti.

    Cutiku kala itu kulakukan untuk pulang kampung ke rumah nenek. Hanya untuk rehat sejenak sekaligus berlari di pantai. Tahun lalu aku sedang rajin-rajinnya lari. Pun, saat itu aku dalam persiapan untuk melakukan running trail race di Bandung pada Januari 2020. Sementara, kaki baru saja cedera sehabis race di bulan November 2019.

    Aku butuh rehat tidak hanya secara psikis tapi juga fisik. Aku butuh udara segar untuk menyegarkan pikiran dari penat kota dan stres karena tidak maksimalnya latihan. Aku butuh trek lari yang lebih bersahabat untuk kakiku yang cidera.

    Senang sekali bisa kembali mengelilingi kota kecil ini dengan berlari. Kembali menapaki jalan-jalan yang dulu kulewati setiap hari. Persimpangan dengan kelenteng di sebelah kanan dan warung kelontong di sebelah kiri, saat aku berlari tak terduga aku dipanggil oleh teman mamaku kala SMA dulu. Aku juga melewati "kulong" bekas tambang yang kini berubah menjadi danau dan bahkan tempat nongkrong anak muda di sana. Juga, tanjakan curam dengan kemiringan hampir 45 derajat yang menjadi tempat favoritku untuk ngebut saat mengendarai motor. Tapi, karena aku berlari hari itu, tanjakan itu menjadi tempat latihan elevasiku untuk ke Bandung pada Januari.

    Berlari di tepi pantai begitu menyenangkan. Lututku tidak sesakit biasanya karena benturannya lebih lemah. Menyenangkan juga melihat jejak kakiku di pasir pantai. Juga, disiram dengan cahaya matahari tanpa polusi meski panas sekali sampai membuat wajahku perih.

    Meski aku mengeluh, aku tetap berlari untuk penuhi target latihan harianku. Dalam keluh dan peluh, tiba-tiba aku dipertemukan kembali dengan salah seorang guru SMA-ku dulu, Pak Hamsidi, guru kimia yang eksentrik. Ia juga ke pantai tapi tidak berlari melainkan naik sepeda. Ia masih tetap sama seperti dulu saat aku menjadi siswanya, tetap menjadi Pak Hamsidi yang bersemangat dan murah senyum. Tak lama, kami hanya bertegur sapa dan aku menyalami tangannya. Ia pun kembali bersepeda dengan temannya.

    Setelah lelah berlari dan target latihanku tercapai, akhirnya aku rehat dan bermain pasir. Adakah hal lain yang lebih asyik untuk dilakukan di pantai selain main pasir dan main air? Tentu saja tidak!

    Aku membuka sepatu dan kaos kakiku, menimbun kakiku dengan pasir. Nyaman. Dingin. Rasa yang sudah lama sekali aku tak alami sejak terakhir kali kembali ke sini.

    Harusnya, akhir tahun ini dengan cuti yang begitu panjang aku bisa kembali ke sana, sekaligus memberitahukan kabar baik untuk sanak-saudara. Sayangnya, pandemi menghalangi. Jadi, tahun ini aku hanya akan cuti di rumah saja atau mungkin staycation dengan yang tercinta. Entahlah.

    BalasHapus