Tahun : 2016
Dibaca : 25 Januari 2017 (via SCOOP)
Rating : ★★★
Rating : ★★★
Percaya akan kebetulan? Sebagian orang berpendapat bahwa di dunia ini tidak ada yang kebetulan karena sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Masa bodoh tentang kebetulan atau takdir karena ini yang kualami: Setelah membaca "Nyanyian Akar Rumput", aku coba menilik salah satu toko buku daring dan mendapati satu buku yang sedang masa pre-order. Setelah kukulik lebih jauh, sang pengarang telah menulis beberapa buku dan salah satunya ada format digitalnya. Kupastikan buku itu bukan sastra karena aku baru saja selesai baca sastra. Aku butuh istirahat dengan cara membaca buku bertema ringan. Lalu, aku baca buku itu tanpa ekspektasi apa pun. Selain kisah cinta, buku itu ternyata bercerita tentang perlawanan berlatar tahun 90-an bahkan menyebut-nyebut Wiji Thukul. Apa namanya kalau bukan kebetulan?
Senja itu di kota Jogja, Kinasih dan Aris saling bertubrukan saat mengendarai sepeda. Tentu secara tidak sengaja. Keduanya sedang sama-sama terburu-buru. Kinasih harus lekas pulang ke rumah karena waktu Maghrib akan segera tiba. Ia harus menyiapkan hidangan berbuka puasa. Sementara Aris harus meliput suasana pasar Ramadan di kawasan Kotagede. Tugasnya sebagai wartawan harus benar-benar diburu waktu. Bila terlambat barang semenit, peristiwa penting bakal terlewat. Karena terburu-buru, ebagai permintaan maaf, Aris memberikan kartu namanya kepada Kinasih. Kalau-kalau wanita itu meminta pertanggungjawabannya.
Kinasih mengayuh sepeda milik Midah menuju kantor Aris di Jalan Mangkubumi. Sebenarnya, luka yang dialaminya sudah membaik karena telah diberi obat merah. Tapi, sepedanyalah yang penting. Ia amat membutuhkan sepeda itu untuk bekerja. Untungnya lelaki itu menyanggupi. Selama menunggu sepeda Kinasih diperbaiki, Aris berjanji untuk mengantar jemput Kinasih bekerja sebagai jalan keluar sementara. Kinasih merasa tidak enak. Aris tidak perlu merepotkannya seperti itu. Namun, Aris tetap bersikukuh. Dan, dari tabrakan kecil itulah kisah cinta Kinasih dan Aris dimulai.
***
Senja itu di kota Jogja, Kinasih dan Aris saling bertubrukan saat mengendarai sepeda. Tentu secara tidak sengaja. Keduanya sedang sama-sama terburu-buru. Kinasih harus lekas pulang ke rumah karena waktu Maghrib akan segera tiba. Ia harus menyiapkan hidangan berbuka puasa. Sementara Aris harus meliput suasana pasar Ramadan di kawasan Kotagede. Tugasnya sebagai wartawan harus benar-benar diburu waktu. Bila terlambat barang semenit, peristiwa penting bakal terlewat. Karena terburu-buru, ebagai permintaan maaf, Aris memberikan kartu namanya kepada Kinasih. Kalau-kalau wanita itu meminta pertanggungjawabannya.
Kinasih mengayuh sepeda milik Midah menuju kantor Aris di Jalan Mangkubumi. Sebenarnya, luka yang dialaminya sudah membaik karena telah diberi obat merah. Tapi, sepedanyalah yang penting. Ia amat membutuhkan sepeda itu untuk bekerja. Untungnya lelaki itu menyanggupi. Selama menunggu sepeda Kinasih diperbaiki, Aris berjanji untuk mengantar jemput Kinasih bekerja sebagai jalan keluar sementara. Kinasih merasa tidak enak. Aris tidak perlu merepotkannya seperti itu. Namun, Aris tetap bersikukuh. Dan, dari tabrakan kecil itulah kisah cinta Kinasih dan Aris dimulai.