21 Mei 2018

Ulasan Buku: Cara-Cara Tidak Kreatif untuk Mencintai

Judul : Cara-Cara Tidak Kreatif untuk Mencintai
Pengarang : Theoresia Rumthe & Weslly Johannes
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2018
Dibaca : 1 Mei 2018
Rating : ★★★★★

Beberapa hari lalu adik laki-lakiku yang pertama ulang tahun. Ia menginjak usia 21 tahun dan sedang menjalani sebuah hubungan serius dengan sang pacar. Malam hari sepulang kerja, sang pacar datang membawa sebuah kado. Isinya? Sebuah baju koko dan perintilan lain. Sudah barang tentu, adikku merasa senang. Aku kemudian bertanya-tanya apakah ia kecewa karena hadiah yang diterimakan hanya sebuah baju koko. Walaupun tidak banyak, ia sudah punya beberapa yang membuatnya bisa bergonta-ganti mengenakannya kala ke masjid. Dan orang tua kami pun kerap membelikannya kala lebaran. Lebih-lebih, kami sekeluarga tidak pernah merayakan ulang tahun dan saling membelikan kado. Terlepas dari siapa si pemberi, apakah hadiah itu spesial? Apakah adikku berharap sang pacar memberikan hadiah lain? Lebih-lebih, apakah adikku berpikir bahwa sang pacar tidak kreatif untuk mencarikan kado yang lebih baik? Lalu, alih-alih menceritakan kisah sendiri, kenapa aku malah menceritakan kisah adikku dan pacarnya? Yah, kau sudah tahu jawabannya.

"Dengan ini saya menyatakan akan selalu memuja puisi-puisi TR dan WJ."

Kalimat megah cenderung ilahiah itu menjadi satu-satunya kalimat yang kupikirkan sesaat setelah membaca buku terbaru Theoresia Rumthe dan Weslly Johannes ini. Kalimat yang pada saat itu juga kutulis di kolom ulasan Goodreads. Sekarang, setelah beberapa minggu menyelesaikannya dan walaupun aku harus membuka halaman demi halamannya lagi, imanku tetap kukuh. Puisi-puisinya memang aneh. Di satu sisi, puisi-puisi itu membuatku ingin memiliki seseorang yang dicintai. Di sisi lain, puisi-puisi itu bisa menjaga kewarasanku untuk tetap kalem. Mereka memberikan pengertian bahwa cinta bukan hanya tentang siapa dan seberapa besar tetapi juga tentang bagaimana dampak yang ditimbulkan—yang ternyata amat dahsyat. Bahwa cinta menyurutkan kekecewaan adikku—itu pun bila ada—atas kado tidak spesial yang diterimanya dari sang pacar. Bahwa cinta mendorong Theo dan Weslly menelurkan bait-bait puisi. Bahwa cinta, melalui manuvernya—ciuman—bahkan bisa menjaga sebuah bangsa.

"barangkali, jika bangsa ini adalah jalan buntu,
dan negara ini penuh kutu, paling tidak ciuman
masih mampu meruntuhkan kelu lidahku
dan mengajari aku bicara dalam bisu

sebuah perbuatan."
—Ciuman yang Menjaga Sebuah Bangsa (hlm. 16)

Terlihat vulgar, ya? Masa menyatakan cinta dengan ciuman? Banyak cara untuk mengungkapkannya kok. Benda-benda seperti bunga dan cokelat pun sudah menjadi simbol. Tapi, bukankah ciuman dan segala macam bentuk sentuhan sepasang kekasih adalah cara paling primitif dan basis dari simbol cinta? Itulah esensinya. Itulah inti buku ini, kurasa. Bahwa cara tidak kreatif dari mencintai bukan dengan hal-hal rumit dan memusingkan. Bukan dengan apartemen dengan nomor yang disukai pasangan. Bukan dengan motor yang diidam-idamkan pasangan. Bukan dengan merek cokelat favoritnya. Cukup dengan keberadaan satu sama lain. Cukup dengan kamu dan pasanganmu menghabiskan waktu bersama. Itulah caranya! Yang paling tidak modal! Yang tidak kreatif!

Apa yang Theo dan Weslly sampaikan dalam buku ini masih membuatku terperangah sekaligus terkagum-kagum. Pertanyaan itu masih tetap saja muncul: Bagaimana mereka berdua bersama-sama membuat puisi-puisi ini? Biar kuperjelas, puisi-puisi mereka bukan hanya yang saling sahut satu sama lain—satu puisi berbalas puisi lain. Puisi-puisi mereka adalah satu puisi yang dibuat oleh dua orang. Dua pemikiran dari dua persona yang berbeda itu sukar dibaurkan jadi satu kecuali ada hal magis yang mereka pakai atau semacamnya. Apalagi puisi! Lalu, bagaimana Theo dan Weslly bisa? Apakah ini mukjizat? Apakah hanya dengan kekuatan cinta? Benar saja, keagungan yang kupuja menitikberatkan pada bagaimana Theo dan Weslly merancang puisi-puisi itu bersama.

Edited by Me

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana seorang jomblo sepertiku begitu mengelu-elukan karya yang berkutat tentang cinta? Bagaimana mungkin aku mempraktikkan cara tidak kreatif yang dianjurkan Theo dan Weslly pada buku ini? Bukankah aku seharusnya membencinya? Buang-buang waktu saja! Awalnya, aku sempat berpikir begitu. Walaupun sebagian besar berbicara tentang sepasang kekasih, buku ini juga mengingatkan bahwa cinta bisa tentang hal lain. Mantra Weslly pada halaman 21 ini sangat ampuh: "Kau kuat karena kau dicintai, setidaknya oleh dirimu sendiri." Jadi, tidak selamanya cinta adalah aku dan kamu. Cinta juga bisa tentang diri sendiri. Cinta juga bisa tentang migrain.

"cita-citaku sederhana saja:
aku ingin menulis puisi bersama migrain kekasihku,

sampai tua renta!"
—Cita-Cita (hlm. 42)

Seusai membaca, aku mengunggah gambar buku ini melalui Instagram Story. Seorang teman yang melihatnya bertanya, "Ini bukan fiksi, kan?" Setelah aku menjawab, ia merespons dengan sedikit kekecewaan. Mungkin, ia berharap buku ini menjabarkan cara mencintai dengan jalan yang lebih tidak biasa secara gamblang dan eksplisit. Aku paham. Beberapa orang memang ingin jalur cepat dan tidak bertele-tele untuk mencapai tujuan mereka. Itulah mengapa banyak sekali buku-buku referensi dengan judul berembel-embel cepat. Buku-buku dengan konten cara cepat dapat jodoh atau buku cara cepat kaya amat mudah ditemukan di toko buku. Namun, bila ditilik lagi, ada beberapa puisi berbentuk poin-poin, seperti Lima Cara Bahagia Paling Liar di Muka Bumi (hlm. 34), Tujuh Hal Tentang Kekasihku (hlm. 58), dan Sebelas Cara Tidak Kreatif untuk Mencintai (hlm. 155). Ketiganya seperti memberikan gambaran tema utama buku ini: bahwa cinta sebagaimana hal-hal rumit lain pun sebenarnya bisa dirunut dan dibuatkan pedoman. Bila ditanya apakah buku ini nonfiksi, jawabannya jelas bukan. Namun, bila ditanya apakah buku ini sumber referensi, aku bisa menjawab ya.

Sayangnya, sumber referensi ini bukan untuk mereka yang ingin serbacepat. Bukan pula untuk mereka yang ingin mencintai dengan lebih kreatif—seperti yang sudah kujabarkan di atas. Sebaliknya, cara-cara yang buku ini berikan jauh lebih lambat dan harus dinikmati sedikit-sedikit, dan kalau perlu bersama sang kekasih. Dan ingatlah petuah Weslly berikut.

"Beragama itu berbuat baik, tanpa
merasa dirimu yang terbaik."

(hlm. 65)

Baca juga: Pantai, Tempat Paling Liarku di Muka Bumi

1 komentar :