Tahun : 2018
Dibaca : 23 September 2018
Rating : ★★★★
Rating : ★★★★
Ketika Beth yang baru masuk sekolah menengah atas amat butuh pertolongan untuk menangani tantangan dan kesedihan yang sudah tidak bisa ditampungnya lagi, percakapan dengan admin wanita dari kantor konselor sekolah berikut terjadi. "Aku pikir aku butuh bantuan," ujar Beth. "Bantuan apa?" tanya wanita itu. "Yah, aku sedih sepanjang waktu. Aku sedih dan benar-benar kesal," jawab Beth. "Oh. Kami tidak melakukannya di sini. Kami melakukan konsultasi akademik, membantu kau memilih kelas dan merancang jadwal. Jika kau punya masalah emosional, kau harus bicara dengan orang tuamu," tandas admin wanita itu.
Peristiwa tersebut benar-benar terjadi. Setidaknya begitu yang Beth ceritakan pada buku "I Really Didn't Think This Through" karyanya sendiri. Buku yang baru diterbitkan Mei lalu ini sudah kulirik sejak beberapa waktu lalu karena slogan judulnya yang menggugah: Tales from My So-Called Adult Life. Sebagai orang yang sedang beranjak dewasa, aku merasa perlu membaca ini. Ekspektasiku adalah bagaimana seseorang dapat memulai dan melalui masa dewasanya dengan baik-baik saja. Baik-baik saja di sini dalam konteks memasuki usia seperempat abad. Apa saja yang bakal terjadi kala dewasa? Apa saja yang harus dihindari? Apa saja yang harus lebih diperhatikan? Untungnya, buku ini menjawab lebih.
Selain adegan admin wanita di kantor konselor sekolah, Beth bercerita banyak hal tentang hidupnya melalui buku ini. Bagai kepompong yang mengelupaskan diri untuk menjadi kupu-kupu, keberanian Beth dalam menguak semua peristiwa-peristiwa sedih, sensitif, dan penting dirinya patut diacungi jempol. Bisa dibilang, buku ini adalah autobiografi Beth. Bedanya, Beth bukan bercerita tentang hal-hal menakjubkan dan peristiwa-peristiwa yang mendorongnya menjadi orang sukses—sungguh membosankan bila begitu. Beth bercerita halangan-halangan yang menimpanya—dari kerikil kecil sampai bongkahan batu besar—lalu menjadikan mereka pelajaran berharga yang menginspirasi. Tidak hanya itu, Beth yang jago menggambar juga menyertakan ilustrasi dan komik strip buatannya di dalam buku ini.
Jadi, buku tentang apakah ini? Adulthood! Alias pendewasaan. Aku membagikan informasi sedang membaca buku ini di Instagram story kemarin dan salah satu teman merespons dengan “Adulthood is scary”. Aku setuju dengannya. Yah, apa sih yang harus dilakukan saat dewasa? Apa batasan yang jelas antara kamu sudah dewasa dan kamu masih remaja? Apakah dewasa berarti kamu sudah punya banyak tanggung jawab yang harus diemban dan tidak bisa lepas dari mereka? Apakah dewasa berarti kamu sering ditanya “kapan nikah”? Pertanyaan-pertanyaan itu sepertinya tidak memiliki jawaban eksak. Dalam pembukaan buku ini, Beth mengiakan bahwa pendewasaan itu melelahkan sekaligus menantang. “… And you’re still trying to find your place in this whacky world, while everyone you used to know from school is getting married and posting about it online like the smug, successful people ther are. So fun.”
Dari buku ini, aku menemukan ada dua hal penting bagi seorang yang beranjak dewasa: self-esteem dan self-love. Dan keduanya sama-sama menyangkut kepercayaan diri. Biar aku jelaskan masing-masing.
Beth memulai ceritanya tentang bagaimana LinkedIn menjadi medium penghargaan diri. Dia menyebut media sosial untuk para profesional mencari koneksi itu sebagai “special area of hell”. Beth berpendapat bahwa situs itu ada untuk membiarkanmu mencari orang-orang yang pernah bersekolah denganmu sehingga kamu dapat membandingkan diri sendiri dengan mereka dengan gelisah. Tentu bukan masalah jika kamu tahu apa saja yang kamu capai, dari pendidikan sampai karier, dari yang biasa saja sampai yang cemerlang. Namun, sebagian yang lain merasa tidak memiliki apa pun. Tidak percaya diri. Tidak ada kebanggaan.
Untuk mengatasi hal di atas, seseorang harus memiliki self-esteem—atau hematnya kepercayaan diri untuk menghargai diri sendiri. Seorang dewasa harus bisa mencari kebanggaan atas dirinya dan, yang terpenting, mengakuinya. Aku masih berusaha keras untuk memilikinya. Mungkin karierku bukan masalah. Orang-orang terdekatku tahu bahwa aku bekerja sebagai editor di sebuah media literasi berbasis Internet. Nah, tidak banyak yang tahu bahwa aku lulusan D3 BSI. Aku masih malu mengakui almamaterku sendiri. Dibandingkan teman-teman lain yang lulusan S1 dari universitas negeri, aku tidak ada apa-apanya menyoal jejak pendidikanku. Namun, setidaknya sekarang aku bangga akan diriku yang sedang menjalani program beasiswa selama dua semester di Amerika Serikat. Yah, aku akan menulis tentang itu nanti (sebagai bagian dari latihan meningkatkan self-esteem-ku).
Beth mengatasi krisis self-esteem dengan memberikan gambaran tentang bagaimana orang-orang biasanya berperilaku. Dia mengingatkan bahwa selalu ada mereka yang melakukan hal-hal yang lebih baik dan hal-hal yang lebih buruk daripada kamu. Siklus membanding-bandingkan itu tidak akan pernah selesai. Yang perlu kamu tahu, menurut Beth, adalah kamu harus menciptakan definisi progres dan suksesmu sendiri. “Either way, a step forward is good, a step backward isn’t the end of the world, and keeping both feet on the ground is great—sometimes that’s actual progress. You’ve got this, no matter what your mom’s friend says about her own kids. Because you’re you, and really, there’s no better success than you.” (hlm. 9)
Menjadi dewasa juga harus mencintai diri sendiri. Bukan, bukan seperti Narcissus yang selalu memandangi dan memuji pantulan dirinya sendiri. Itu terlalu ekstrem. Mencintai diri sendiri—atau istilah kerennya self-love—adalah tentang bagaimana kamu menghargai dan merawat dirimu sendiri. Baiknya sekarang, self-love sudah digadang-gadang di mana-mana sebagai bagian dari gerakan positif untuk menerima diri sendiri. Namun, menurut Beth, self-love bisa jadi begitu menantang. Dia sering bertanya-tanya tentang bagaimana dirinya yang dia anggap bukan apa-apa menemukan sesuatu dari itu untuk mencintai tidak hanya dirinya sendiri tetapi juga orang lain. Pertanyaan yang familier dan aku yakin kerap diajukan oleh banyak orang dewasa kepada diri mereka sendiri, termasuk aku.
Beth mengatasi masalah self-love dengan mengambil satu bagian dari sampah-sampah itu yang benar-benar disukainya. Contohnya ketika kamu baru saja mengecat kuku dengan warna kesukaanmu atau kamu mendengarkan musik dari band favoritmu. Dari hal-hal kecil itu, kamu mulai nyaman dengan dirimu dan timbul rasa menghargai atas dirimu sendiri. “Self-love is going to be impossible some days and can seem like the most daunting challenge ever. After all, we allow ourselves to get frustrated and annoyed with others, so it’s only natural to feel that way about ourselves sometimes. We are with ourselves 24/7, and that’s a lot of freaking time to spend with someone.” (hlm. 33)
Lihat, dua hal yang konyol tentang menjadi dewasa bisa Beth ambil jalan keluar dengan cara—yang kalau dipikir-pikir—mudah. Itulah yang membuat buku ini begitu personal. Cerita-cerita-berubah-menjadi-masalah-masalah-pendewasaan yang disajikan hanya dialami oleh Beth saja, tapi pembaca bisa ikut merasakan apa yang Beth tuturkan. Plus, Beth juga tidak hanya menggantungkan masalah-masalah itu. Dia memberikan nasihat, saran, apa pun itu yang tidak terasa menggurui. Beth memberikan alasan kenapa dia menyukai Rush—rock band yang populer pada era 60-70an. Beth memberikan penyelesaian masalah atas dirinya yang dulu suka menyayat-nyayat pergelangan tangannya. Beth juga memberikan penyelesaian masalah atas bullying yang dialaminya. Di akhir, Beth memberikan jalan keluar atas kepanikan dirinya yang terlambat menghadiri acara pernikahan sahabatnya.
Ada satu bagian di mana Beth menjabarkan panduan singkat mengatasi bullying kala dewasa. Salah satu caranya adalah “Disconnect and unplug from the past”. Pada poin ini, Beth menegaskan bahwa masih berteman atau berhubungan dengan mereka yang membuatmu tidak nyaman pada masa lalu akan terus membawa petaka untuk dirimu. Kenangan-kenangan pahit akan mereka bakal muncul, walaupun samar. Hapus kontak mereka. Putus hubungan pertemanan dengan mereka di media sosial. Lepaskan. Lalu, melangkahlah ke depan. Satu panduan yang amat berharga bagiku.
Akhir kata, untuk menjadi dewasa memang sulit. Tapi, begitulah adanya. Aku pikir, dengan dua hal penting di atas—self-esteem dan self-love—akan membuat pendewasaan menjadi lebih baik. Dan seperti yang Beth katakan, “Things aren’t always perfect, but I’m here. I’m better. I’m me.”
Peristiwa tersebut benar-benar terjadi. Setidaknya begitu yang Beth ceritakan pada buku "I Really Didn't Think This Through" karyanya sendiri. Buku yang baru diterbitkan Mei lalu ini sudah kulirik sejak beberapa waktu lalu karena slogan judulnya yang menggugah: Tales from My So-Called Adult Life. Sebagai orang yang sedang beranjak dewasa, aku merasa perlu membaca ini. Ekspektasiku adalah bagaimana seseorang dapat memulai dan melalui masa dewasanya dengan baik-baik saja. Baik-baik saja di sini dalam konteks memasuki usia seperempat abad. Apa saja yang bakal terjadi kala dewasa? Apa saja yang harus dihindari? Apa saja yang harus lebih diperhatikan? Untungnya, buku ini menjawab lebih.
Selain adegan admin wanita di kantor konselor sekolah, Beth bercerita banyak hal tentang hidupnya melalui buku ini. Bagai kepompong yang mengelupaskan diri untuk menjadi kupu-kupu, keberanian Beth dalam menguak semua peristiwa-peristiwa sedih, sensitif, dan penting dirinya patut diacungi jempol. Bisa dibilang, buku ini adalah autobiografi Beth. Bedanya, Beth bukan bercerita tentang hal-hal menakjubkan dan peristiwa-peristiwa yang mendorongnya menjadi orang sukses—sungguh membosankan bila begitu. Beth bercerita halangan-halangan yang menimpanya—dari kerikil kecil sampai bongkahan batu besar—lalu menjadikan mereka pelajaran berharga yang menginspirasi. Tidak hanya itu, Beth yang jago menggambar juga menyertakan ilustrasi dan komik strip buatannya di dalam buku ini.
Ilustrasi Beth Evans (@bethdrawsthings) |
Jadi, buku tentang apakah ini? Adulthood! Alias pendewasaan. Aku membagikan informasi sedang membaca buku ini di Instagram story kemarin dan salah satu teman merespons dengan “Adulthood is scary”. Aku setuju dengannya. Yah, apa sih yang harus dilakukan saat dewasa? Apa batasan yang jelas antara kamu sudah dewasa dan kamu masih remaja? Apakah dewasa berarti kamu sudah punya banyak tanggung jawab yang harus diemban dan tidak bisa lepas dari mereka? Apakah dewasa berarti kamu sering ditanya “kapan nikah”? Pertanyaan-pertanyaan itu sepertinya tidak memiliki jawaban eksak. Dalam pembukaan buku ini, Beth mengiakan bahwa pendewasaan itu melelahkan sekaligus menantang. “… And you’re still trying to find your place in this whacky world, while everyone you used to know from school is getting married and posting about it online like the smug, successful people ther are. So fun.”
Dari buku ini, aku menemukan ada dua hal penting bagi seorang yang beranjak dewasa: self-esteem dan self-love. Dan keduanya sama-sama menyangkut kepercayaan diri. Biar aku jelaskan masing-masing.
Beth memulai ceritanya tentang bagaimana LinkedIn menjadi medium penghargaan diri. Dia menyebut media sosial untuk para profesional mencari koneksi itu sebagai “special area of hell”. Beth berpendapat bahwa situs itu ada untuk membiarkanmu mencari orang-orang yang pernah bersekolah denganmu sehingga kamu dapat membandingkan diri sendiri dengan mereka dengan gelisah. Tentu bukan masalah jika kamu tahu apa saja yang kamu capai, dari pendidikan sampai karier, dari yang biasa saja sampai yang cemerlang. Namun, sebagian yang lain merasa tidak memiliki apa pun. Tidak percaya diri. Tidak ada kebanggaan.
Untuk mengatasi hal di atas, seseorang harus memiliki self-esteem—atau hematnya kepercayaan diri untuk menghargai diri sendiri. Seorang dewasa harus bisa mencari kebanggaan atas dirinya dan, yang terpenting, mengakuinya. Aku masih berusaha keras untuk memilikinya. Mungkin karierku bukan masalah. Orang-orang terdekatku tahu bahwa aku bekerja sebagai editor di sebuah media literasi berbasis Internet. Nah, tidak banyak yang tahu bahwa aku lulusan D3 BSI. Aku masih malu mengakui almamaterku sendiri. Dibandingkan teman-teman lain yang lulusan S1 dari universitas negeri, aku tidak ada apa-apanya menyoal jejak pendidikanku. Namun, setidaknya sekarang aku bangga akan diriku yang sedang menjalani program beasiswa selama dua semester di Amerika Serikat. Yah, aku akan menulis tentang itu nanti (sebagai bagian dari latihan meningkatkan self-esteem-ku).
Beth mengatasi krisis self-esteem dengan memberikan gambaran tentang bagaimana orang-orang biasanya berperilaku. Dia mengingatkan bahwa selalu ada mereka yang melakukan hal-hal yang lebih baik dan hal-hal yang lebih buruk daripada kamu. Siklus membanding-bandingkan itu tidak akan pernah selesai. Yang perlu kamu tahu, menurut Beth, adalah kamu harus menciptakan definisi progres dan suksesmu sendiri. “Either way, a step forward is good, a step backward isn’t the end of the world, and keeping both feet on the ground is great—sometimes that’s actual progress. You’ve got this, no matter what your mom’s friend says about her own kids. Because you’re you, and really, there’s no better success than you.” (hlm. 9)
Edited by Me |
Menjadi dewasa juga harus mencintai diri sendiri. Bukan, bukan seperti Narcissus yang selalu memandangi dan memuji pantulan dirinya sendiri. Itu terlalu ekstrem. Mencintai diri sendiri—atau istilah kerennya self-love—adalah tentang bagaimana kamu menghargai dan merawat dirimu sendiri. Baiknya sekarang, self-love sudah digadang-gadang di mana-mana sebagai bagian dari gerakan positif untuk menerima diri sendiri. Namun, menurut Beth, self-love bisa jadi begitu menantang. Dia sering bertanya-tanya tentang bagaimana dirinya yang dia anggap bukan apa-apa menemukan sesuatu dari itu untuk mencintai tidak hanya dirinya sendiri tetapi juga orang lain. Pertanyaan yang familier dan aku yakin kerap diajukan oleh banyak orang dewasa kepada diri mereka sendiri, termasuk aku.
Beth mengatasi masalah self-love dengan mengambil satu bagian dari sampah-sampah itu yang benar-benar disukainya. Contohnya ketika kamu baru saja mengecat kuku dengan warna kesukaanmu atau kamu mendengarkan musik dari band favoritmu. Dari hal-hal kecil itu, kamu mulai nyaman dengan dirimu dan timbul rasa menghargai atas dirimu sendiri. “Self-love is going to be impossible some days and can seem like the most daunting challenge ever. After all, we allow ourselves to get frustrated and annoyed with others, so it’s only natural to feel that way about ourselves sometimes. We are with ourselves 24/7, and that’s a lot of freaking time to spend with someone.” (hlm. 33)
***
Lihat, dua hal yang konyol tentang menjadi dewasa bisa Beth ambil jalan keluar dengan cara—yang kalau dipikir-pikir—mudah. Itulah yang membuat buku ini begitu personal. Cerita-cerita-berubah-menjadi-masalah-masalah-pendewasaan yang disajikan hanya dialami oleh Beth saja, tapi pembaca bisa ikut merasakan apa yang Beth tuturkan. Plus, Beth juga tidak hanya menggantungkan masalah-masalah itu. Dia memberikan nasihat, saran, apa pun itu yang tidak terasa menggurui. Beth memberikan alasan kenapa dia menyukai Rush—rock band yang populer pada era 60-70an. Beth memberikan penyelesaian masalah atas dirinya yang dulu suka menyayat-nyayat pergelangan tangannya. Beth juga memberikan penyelesaian masalah atas bullying yang dialaminya. Di akhir, Beth memberikan jalan keluar atas kepanikan dirinya yang terlambat menghadiri acara pernikahan sahabatnya.
Ada satu bagian di mana Beth menjabarkan panduan singkat mengatasi bullying kala dewasa. Salah satu caranya adalah “Disconnect and unplug from the past”. Pada poin ini, Beth menegaskan bahwa masih berteman atau berhubungan dengan mereka yang membuatmu tidak nyaman pada masa lalu akan terus membawa petaka untuk dirimu. Kenangan-kenangan pahit akan mereka bakal muncul, walaupun samar. Hapus kontak mereka. Putus hubungan pertemanan dengan mereka di media sosial. Lepaskan. Lalu, melangkahlah ke depan. Satu panduan yang amat berharga bagiku.
Akhir kata, untuk menjadi dewasa memang sulit. Tapi, begitulah adanya. Aku pikir, dengan dua hal penting di atas—self-esteem dan self-love—akan membuat pendewasaan menjadi lebih baik. Dan seperti yang Beth katakan, “Things aren’t always perfect, but I’m here. I’m better. I’m me.”
Tidak ada komentar :
Posting Komentar