31 Desember 2018

Buku Paling Berkesan 2018

Edited by Me

Beberapa hari lalu akun Twitter-nya Twitter mengepos: “Your 2018 in emojis”. Ketika mau jawab dengan emoji yang berhubungan sama Amerika Serikat, aku bertanya-tanya, “Kayaknya nggak cuma tentang Amerika Serikat deh.” Karena 2018 memang lebih dari itu. Selain ke Amerika Serikat dalam rangka beasiswa kuliah dan magang (lihat di sini), buku antologi yang aku berkontribusi di dalamnya juga akhirnya rilis setelah menunggu selama hampir dua tahun (lihat di sini). Bisa dibilang itu dua sorotan utama tahun ini. Yang lainnya? Mungkin tentang bagaimana aku memenej diri sebagai pelajar, editor di Ruang, dan pembaca. Aku masih mengurusi kanal Fiksi Populer Ruang dengan intensitas yang sedikit dikurangi—terima kasih kepada ibu managing editor Ruang yang memberikan kelonggaran atas target artikel bulanan. Dan aku masih bisa merampungkan tantangan membacaku dengan melahap lebih dari 70 buku selama tahun 2018.

Bisa dibilang membaca buku menjadi bagian yang paling butuh usaha. Selain harus meluangkan waktu untuk membacanya, aku yang berpindah ke Amerika Serikat ini sedikit kesulitan dalam beradaptasi terutama dalam pemilihan buku. Mungkin aku pernah bilang di suatu pos di blog BIbli ini bahwa aku jarang sekali membaca buku berbahasa Inggris. Bukan karena tidak bisa, tetapi karena malas dan kadang kesulitan dalam mengartikan kata, frasa, dan kalimat dalam bahasa Inggris. Hampir putus asa tidak bisa menyelesaikan tantangan, akhirnya pada September lalu aku memberanikan diri untuk fokus melahap buku berbahasa Inggris. Masak tinggal di Amerika Serikat tidak membaca buku bahasa Inggris? Dan sesungguhnya akses menemukan buku di sini itu mudah dan gratis—tinggal datang ke perpustakaan dekat tempat tinggal, pinjam, lalu mulai membaca.

Sesungguhnya, aku tidak begitu puas dengan raihan 77 buku ini. Pernah pada suatu hari di bulan September, aku datang ke Phoenix Public Library untuk menyelesaikan setidaknya 10 buku dalam sekali duduk. Sayangnya, kesemua bukunya adalah buku-buku bergambar anak-anak dari karyanya Maurice Sendak sampai Dr. Seuss. Licik ya?! Itu juga yang membuat total jumlah halaman bacaanku tahun ini menurun menjadi hanya 14.210. Bandingkan dengan tahun 2017 yang bertotal 22.210 atau tahun 2016 dengan jumlah 20.585. Meskipun begitu, aku tetap harus melakukannya agar target membaca 70 buku tahun ini tercapai. Lagi pula, tidak ada salahnya kok membaca buku anak-anak. Dan pada tahun ini pula, akhirnya, aku membaca buku bergambar karangan pengarang incaranku: Oliver Jeffers.

Jadi, setelah 77 buku terbaca, aku memutuskan inilah buku-buku yang paling berkesan pada 2018.

"Goodbye Days" karya Jeff Zentner
"I sometimes look at my bookshelf now and think about how someday I'm going to die without ever reading a lot of the books there. And one might be life-changingly good and I'll never know."

Carver Briggs punya kisah tragis. Ia kehilangan ketiga sahabatnya. Namun, tidak hanya itu. Selain kedukaan atas kematian ketiga sahabatnya, Carver juga harus berkutat dengan perasaan bersalah yang menderanya. "Where are you guys? Text me back." Pesan itu dikirim Carver kepada salah satu sahabatnya sesaat sebelum mobil yang ditumpangi ketiga sahabatnya tertabrak. Setelah kejadian pilu itu, hari-hari Carver suram dan memburam. Ia mati rasa selama beberapa hari. Perasaan bersalah terus mencengkeramnya—tak mau lenyap. Puncaknya ketika ia tak bisa bernapas. Penglihatannya menyempit dan mulutnya beku selama beberapa saat. Serangan panik pun mencegatnya.

Ketragisan sudah dimulai sejak kalimat pertama dalam "Goodbye Days". Tanpa tedeng aling-aling, Zentner seperti menuangkan bermacam-macam bumbu berlabel kesedihan kepada tokoh utamanya. Aku beberapa kali menangis untuk Carver, merasakan beban "berat" yang ditanggungnya. Sungguh bajingan Zentner itu; membuat tokoh utamanya begitu menderita. Namun, yang membuat buku ini super adalah kedukaan mendalam yang diusung Zentner kepada pembacanya. Mengingat target pembaca buku ini adalah remaja tanggung, aku melihat bahwa Zentner sengaja memperkenalkan hal-hal suram kepada mereka. Dan itu tidak biasa.

***

"Michael Rosen's Sad Book" karya Michael Rosen

"Sometimes I don't want to talk about it.
Not to anyone. No one. No one at all.
I just want to think about it on my own.
Because it's mine. And no one else's."

Begitu ujar Rosen ketika menggambarkan kesedihan. Betul. Kesedihan memang dibuat oleh diri sendiri. Dan karena dibuat oleh diri sendiri, orang yang membuatnya itulah yang harus menyimpannya. Namun, sepertinya tidak seperti itu juga. Kesedihan hadir karena faktor lain yang membuat seseorang yang tidak membuatnya jadi memilikinya. Dan kesedihan juga bisa dibagikan bila perlu. Menyimpannya untuk diri sendiri kadang tidak berhasil dan malah menimbulkan efek negatif. Dan pemikiran-pemikiran tentang kesedihan terus bergulir saat membaca dan menikmati karya penyair satu ini. Pembicaraan tentang kesedihan tidak pernah sevulgar ini.

Kehadiran "Michael Rosen's Sad Book" terpicu oleh kematian Eddie, anak laki-lakinya yang berumur 18 tahun, karena terjangkit meningitis. Rasa sedih yang terus menggempur dirinya mungkin membuat Rosen menulis ini. Gambar-gambar dalam buku ini juga tidak asing—dibuat oleh Quentin Blake, ilustrator yang kerap digaet Roald Dahl untuk karya fiksi anak-anak. Namun, aku tidak yakin bahwa buku ini bisa dinikmati oleh anak-anak secara langsung. Butuh bimbingan orang tua untuk mengerti apa arti kesedihan dan bagaimana kesedihan terlihat begitu menyakitkan seperti yang digambarkan oleh Rosen. Sekali lagi, pembicaraan tentang kesedihan tidak pernah sevulgar ini.

***

"The Perks of Being a Wallflower" karya Stephen Chbosky
"Charlie, we accept the love we think we deserve."

Familier dengan kutipan di atas? Buku inilah sumber kutipan itu. Setelah hampir dua puluh terbit, akhirnya aku berkesempatan untuk membacanya. Sudah lama aku mengidam-idamkan bukunya, tepatnya sejak menonton filmnya beberapa tahun lalu yang bahkan aku lupa alur ceritanya. Yang kuingat hanya aktor-aktor yang membintangi filmnya: Logan Lerman, Emma Watson, dan Ezra Miller. Saat berkunjung ke Strand Bookstore, New York City beberapa hari lalu, aku melihat buku ini bersama karya-karya lain berjejer rapi di meja berlabel "Banned Books". Aku baru tahu bahwa buku ini termasuk karya-karya yang dilarang edar di sekolah-sekolah di Amerika Serikat, termasuk "Thirteen Reasons Why" karya Jay Asher dan "Looking for Alaska" karya John Green. Fakta itu membuatku semakin tidak sabar untuk segera melahapnya. Tanpa menunggu waktu lama, aku membeli satu kopinya dan membacanya selama jalan-jalan. Sedikit terdistraksi dengan vakansi musim dingin di New York City, Washington D.C., dan Chicago, aku menyelesaikannya di apartemen di Phoenix.

Membaca "The Perks of being A Wallflower" ternyata tidak sulit-sulit amat—aku pikir akan butuh setidaknya dua minggu untuk menyelesaikannya. Kemudahan itu dimungkinkan karena (1) sudah mulai terbiasa membaca buku berbahasa Inggris dan (2) diksi yang dipilih Chbosky yang gampang dicerna. Pemilihan diksi itu berhubungan dengan gaya bercerita yang Chbosky bentuk pada tokoh Charlie—pemuda kalem yang mencari teman selama tahun freshman-nya di sekolah menengah atas dan memiliki masa lalu yang terus membuntutinya. Seusai baca bukunya, aku langsung menonton filmnya yang kupinjam dari Scottsdale Public Library. Dan aku betul-betul tidak menyangka bahwa masa lalu kelam Charlie juga berkaitan dengan "hubungan terlarang" dengan salah satu orang terdekatnya. Dari situ aku angguk-angguk paham kenapa buku ini dimasukkan ke daftar "Banned Books". Dan dari situ pula aku melihat Charlie sebagai pemuda yang kuat. Terang saja, Patrick, sahabatnya (di film diperankan oleh Ezra Miller) menjulukinya a wallflower. "You see things. You keep quiet about them. And you understand," begitu ujar Patrick kepada Charlie. Sungguh buku yang memesona.

***

Mungkin kamu bertanya-tanya kenapa kesemuanya bukan karya lokal. Namun, aku sungguh merasa ketiga karya di atas memiliki pesan yang kuat dan aku merasa akan membacanya ulang suatu hari nanti. Dan memang ketiganya itu memiliki penilaian sempurna alias lima dari lima bintang. Lalu, cuma tiga buku saja yang lima bintang? Tidak! Ada yang lainnya juga. Mereka adalah “Aroma Karsa” karya Dee Lestari yang penjelasannya sudah terwakilkan dalam artikel “Buku Pilihan Redaksi 2018” di Ruang, “Rainbirds” karya Clarissa Goenawan yang mengejutkan karena merupakan karya debut, “Cara-Cara Tidak Kreatif untuk Mencintai” karya Theoresia Rumthe & Weslly Johannes, dan terakhir “Here We Are” karya Oliver Jeffers yang begitu manis karena didedikasikan untuk anaknya yang baru lahir dan berisi tentang kritik sosial. Kamu bisa mengeklik tautan pada setiap judul untuk mencari tahu ulasan lengkapnya.

Secara keseluruhan, 2018 menjadi tahun yang penuh kejutan dan aku masih menunggu kejutan-kejutan lainnya pada 2019. Selamat tahun baru!

Baca juga:
Buku Paling Berkesan 2017 dan Sedikit Racauan
Buku Paling Berkesan 2016 dan Sedikit Gunjingan
Year End Recap 2015

2 komentar :

  1. Sebenarnya bukan soal jumlah buku yang dibaca, tapi tentang membaca itu sendiri. Apa yang bisa didapat dari bacaan (bahkan jika hanya dapat hiburannya saja), perasaan saat membacanya.
    Btw, baca buku anak2 di sana sebanyak-banyaknya. Soalnya di sini susah nyarinya... hehe.
    Happy new year, Raaf

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, mbak. Tapi kadang kita melihat kuantitas lebih daripada kualitas. Happy new year to you too!

      Hapus