Tahun : 2014
Dibaca : 21 Januari 2016 (via SCOOP)
Rating : ★★★★
Rating : ★★★★
Seseorang mengajakmu keliling kota. Tak perlu risau, ia menjanjikan kali ini tak mengeluarkan uang sepeser pun. Ia mengajakmu ke toko perbelanjaan tingkat lima untuk melihat-lihat. Yah, masuk pun tak bayar kan. Lalu, ia juga bisa mengajakmu ke gedung bioskop untuk melihat-lihat poster atau ke diskotek untuk mendengar detak musik dan denting botol. Pasti banyak tawa di sana. Atau kamu bisa ke hotel baru bintang lima. Ada peresmian yang dibuka pejabat tinggi di sana. Sudah merasa capek? Maka pulanglah. Ia akan mengajakmu kembali ke rumah kontrakan dan bersiap untuk kerja di pabrik esok hari. Jangan lupa sarapan nasi bungkus terlebih dahulu, agar kuat bekerja sampai sore. Yah, ngutang juga tidak apa-apalah.
Kamu akan mengira tulisan di atas adalah fiksi buatanku sendiri. Namun, tidak. Tulisan di atas merupakan cerita yang disarikan dari puisi "Nonton Harga" karya Wiji Thukul. Dalam buku ini, ada pada halaman 156-157. Dari gubahan di atas, dapat disimpulkan bahwa bait-bait karyanya sangat mudah dibaca dan dicerna. Pilihan diksinya yang tak mendayu-dayu dan ringkas menjadikan puisi-puisi Sang Wiji berbeda dengan karya penyair lain. Sehingga bisa kubilang bahwa bersama buku ini, aku mendapatkan pengalaman baca puisi yang berbeda dengan yang lain.
Penggal-penggal bait yang dibawakannya berbeda dari yang dilontarkan para penyair-penyair lain. Puisinya murni tentang perlawanan. Yang membacanya diajak untuk mengenal suara yang dielu-elukan orang-orang bawah. Selain itu, Wiji Thukul kentara sekali melakukan perlawanan pada pemerintahan kala itu. Dalam pengantar buku ini disebutkan bahwa Wiji Thukul dengan tepat menggambarkan keterwakilan kelas sosialnya sebagai aktivis dan seniman rakyat. Kalimat "Maka hanya ada satu kata: lawan!" pun menjadi begitu populer melebihi sang penyair itu sendiri dan berhasil menemukan api bagi simbol perlawanan.
Paragraf sebelum ini adalah ulasan singkat yang kutulis untuk SCOOP Berita. Saat menuliskannya, aku bahkan belum selesai membacanya. Usai membacanya, bisa dibilang bahwa paragraf tersebut sedikit-banyak masih menggambarkan tentang keseluruhan buku yang diceritakan. Terbagi menjadi tujuh bagian, puisi-puisi dalam setiap bagiannya memiliki bidang tersendiri. Aku paling ingat pada bagian terakhir berjudul "Para Jenderal Marah-Marah". Puisi-puisi di dalam bagian itu sangat berani dalam arti sungguhan. Tiap baitnya seperti merasuk dalam diri. Seperti memiliki daya magis untuk bisa menggerakkan siapa pun yang membacanya. Begitu bengis. Begitu tajam.
Bisa dibilang, aku dipaksa membaca "Nyanyian Akar Rumput" demi film "Istirahatlah Kata-Kata" yang tayang bulan ini. Dipaksa karena awalnya aku tidak tertarik sama sekali dengan bukunya tapi aku tertarik dengan filmnya, Membacanya, aku berharap mengenal sosok Wiji Thukul, pemeran utama dalam film tersebut. Paling tidak, aku tahu Wiji Thukul pernah bilang soal penyair. Bahwa, katanya, penyair haruslah berjiwa "bebas dan aktif". Sebelum berseteru dengan puisi-puisinya, pada awal buku ini juga terdapat esai Munir tentang Wiji Thukul. Walaupun terlihat subjektif karena esai adalah sebuah opini sang pembuat, melaluinya aku tahu siapa Wiji Thukul secara ringkas. Usai mengenyam buku ini, aku siap menonton "Istirahatlah Kata-Kata".
Banyak pro dan kontra tentang film ini. Sebagian berpendapat, filmnya begitu mengeksploitasi sosok Wiji Thukul. Ada juga yang bilang bahwa film tersebut tidak menyampaikan siapa ia sebenarnya. Bagi ekstremis, akan ada dampak besar setelah film ini tayang. Mengadakan unjuk rasa untuk berjuang mengembalikan hak Wiji Thukul yang sampai sekarang belum tahu di mana rimbanya. Temanku melalui status di media olah pesannya mengatakan, "Saya pikir Wiji tidak ingin wajah dan puisi-puisinya ada di beranda-beranda sosial media."
Mungkin temanku benar. Faktanya, sejak film diputar, banyak sekali berseliweran tulisan-tulisan tentang Wiji Thukul. Di beranda Facebook, di linimasa Twitter, di pos terbaru blog, di headline media daring nasional. Dari pendapat mereka tentang filmnya, penjabaran tentang siapa Wiji Thukul itu sendiri, sampai opini manifestasi setiap puisi-puisinya. Terlepas dari itu, sang sutradara membuat filmnya sebagai pengingat. Menurutnya, anak muda sekarang butuh tahu tentang sosok Wiji Thukul yang pernah begitu tak gentar melawan rezim kala itu melalui goresan kata-kata.
Aku tidak pandai membuat ulasan film. Tapi biarkan aku menuliskan pendapatku tentang film ini. Menurutku, "Istirahatlah Kata-Kata" bukanlah pengenalan Wiji Thukul tentang dirinya yang sebenarnya, tetapi tentang bagian dari dirinya yang lain. Alur yang begitu lambat membuat penonton harus dengan sabar mengikuti kisah pelariannya di Kalimantan. Tak banyak percakapan yang terjadi antartokoh. Dari 97 menit pemutaran, paling-paling hanya beberapa belas menit saja terjadi interaksi di antara para tokoh. Hal ini benar-benar merepresentasikan judulnya. Kata-kata seolah dibungkam oleh keadaan. Sepi, sunyi, dan penuh perenungan.
Dan, bisa dibilang, film ini tidak hanya tentang Wiji Thukul, tetapi juga tentang Sipon, sang istri. Betapa perasaan seorang istri yang ditinggalkan suami untuk mengasingkan diri begitu kentara terlihat di dalamnya. Aku ingat kata-kata terakhir pada film ini yang diucapkan Sipon kepada Wiji, "Aku ra pengin kowe lungo. Aku yo ra pengin kowe mulih. Aku mung pengin kowe ono." Dalam bahasa Indonesia berarti, "Aku tidak ingin kamu pergi. Aku juga tidak ingin kamu pulang. Aku cuma ingin kamu ada."
Pada akhirnya, aku menyarankan untuk membaca puisi-puisi Wiji Thukul dahulu sebelum menonton "Istirahatlah Kata-Kata". Beberapa puisinya dinarasikan di dalam filmnya. Kenali hawa puisi yang dibuat Wiji Thukul sebelum ikut tenggelam dalam kesunyian pelariannya. Aku bertanya-tanya beberapa orang yang memiliki ekspektasi tinggi tentang filmnya dan kecewa tidak lebih dulu membaca puisi-puisi karyanya. Ada kesunyian dan rintihan pada bait-bait perlawanan sang aktivis.
***
Kamu akan mengira tulisan di atas adalah fiksi buatanku sendiri. Namun, tidak. Tulisan di atas merupakan cerita yang disarikan dari puisi "Nonton Harga" karya Wiji Thukul. Dalam buku ini, ada pada halaman 156-157. Dari gubahan di atas, dapat disimpulkan bahwa bait-bait karyanya sangat mudah dibaca dan dicerna. Pilihan diksinya yang tak mendayu-dayu dan ringkas menjadikan puisi-puisi Sang Wiji berbeda dengan karya penyair lain. Sehingga bisa kubilang bahwa bersama buku ini, aku mendapatkan pengalaman baca puisi yang berbeda dengan yang lain.
Penggal-penggal bait yang dibawakannya berbeda dari yang dilontarkan para penyair-penyair lain. Puisinya murni tentang perlawanan. Yang membacanya diajak untuk mengenal suara yang dielu-elukan orang-orang bawah. Selain itu, Wiji Thukul kentara sekali melakukan perlawanan pada pemerintahan kala itu. Dalam pengantar buku ini disebutkan bahwa Wiji Thukul dengan tepat menggambarkan keterwakilan kelas sosialnya sebagai aktivis dan seniman rakyat. Kalimat "Maka hanya ada satu kata: lawan!" pun menjadi begitu populer melebihi sang penyair itu sendiri dan berhasil menemukan api bagi simbol perlawanan.
Paragraf sebelum ini adalah ulasan singkat yang kutulis untuk SCOOP Berita. Saat menuliskannya, aku bahkan belum selesai membacanya. Usai membacanya, bisa dibilang bahwa paragraf tersebut sedikit-banyak masih menggambarkan tentang keseluruhan buku yang diceritakan. Terbagi menjadi tujuh bagian, puisi-puisi dalam setiap bagiannya memiliki bidang tersendiri. Aku paling ingat pada bagian terakhir berjudul "Para Jenderal Marah-Marah". Puisi-puisi di dalam bagian itu sangat berani dalam arti sungguhan. Tiap baitnya seperti merasuk dalam diri. Seperti memiliki daya magis untuk bisa menggerakkan siapa pun yang membacanya. Begitu bengis. Begitu tajam.
***
Bisa dibilang, aku dipaksa membaca "Nyanyian Akar Rumput" demi film "Istirahatlah Kata-Kata" yang tayang bulan ini. Dipaksa karena awalnya aku tidak tertarik sama sekali dengan bukunya tapi aku tertarik dengan filmnya, Membacanya, aku berharap mengenal sosok Wiji Thukul, pemeran utama dalam film tersebut. Paling tidak, aku tahu Wiji Thukul pernah bilang soal penyair. Bahwa, katanya, penyair haruslah berjiwa "bebas dan aktif". Sebelum berseteru dengan puisi-puisinya, pada awal buku ini juga terdapat esai Munir tentang Wiji Thukul. Walaupun terlihat subjektif karena esai adalah sebuah opini sang pembuat, melaluinya aku tahu siapa Wiji Thukul secara ringkas. Usai mengenyam buku ini, aku siap menonton "Istirahatlah Kata-Kata".
Banyak pro dan kontra tentang film ini. Sebagian berpendapat, filmnya begitu mengeksploitasi sosok Wiji Thukul. Ada juga yang bilang bahwa film tersebut tidak menyampaikan siapa ia sebenarnya. Bagi ekstremis, akan ada dampak besar setelah film ini tayang. Mengadakan unjuk rasa untuk berjuang mengembalikan hak Wiji Thukul yang sampai sekarang belum tahu di mana rimbanya. Temanku melalui status di media olah pesannya mengatakan, "Saya pikir Wiji tidak ingin wajah dan puisi-puisinya ada di beranda-beranda sosial media."
Mungkin temanku benar. Faktanya, sejak film diputar, banyak sekali berseliweran tulisan-tulisan tentang Wiji Thukul. Di beranda Facebook, di linimasa Twitter, di pos terbaru blog, di headline media daring nasional. Dari pendapat mereka tentang filmnya, penjabaran tentang siapa Wiji Thukul itu sendiri, sampai opini manifestasi setiap puisi-puisinya. Terlepas dari itu, sang sutradara membuat filmnya sebagai pengingat. Menurutnya, anak muda sekarang butuh tahu tentang sosok Wiji Thukul yang pernah begitu tak gentar melawan rezim kala itu melalui goresan kata-kata.
Istirahatlah Kata-Kata (2017) |
Aku tidak pandai membuat ulasan film. Tapi biarkan aku menuliskan pendapatku tentang film ini. Menurutku, "Istirahatlah Kata-Kata" bukanlah pengenalan Wiji Thukul tentang dirinya yang sebenarnya, tetapi tentang bagian dari dirinya yang lain. Alur yang begitu lambat membuat penonton harus dengan sabar mengikuti kisah pelariannya di Kalimantan. Tak banyak percakapan yang terjadi antartokoh. Dari 97 menit pemutaran, paling-paling hanya beberapa belas menit saja terjadi interaksi di antara para tokoh. Hal ini benar-benar merepresentasikan judulnya. Kata-kata seolah dibungkam oleh keadaan. Sepi, sunyi, dan penuh perenungan.
Dan, bisa dibilang, film ini tidak hanya tentang Wiji Thukul, tetapi juga tentang Sipon, sang istri. Betapa perasaan seorang istri yang ditinggalkan suami untuk mengasingkan diri begitu kentara terlihat di dalamnya. Aku ingat kata-kata terakhir pada film ini yang diucapkan Sipon kepada Wiji, "Aku ra pengin kowe lungo. Aku yo ra pengin kowe mulih. Aku mung pengin kowe ono." Dalam bahasa Indonesia berarti, "Aku tidak ingin kamu pergi. Aku juga tidak ingin kamu pulang. Aku cuma ingin kamu ada."
Pada akhirnya, aku menyarankan untuk membaca puisi-puisi Wiji Thukul dahulu sebelum menonton "Istirahatlah Kata-Kata". Beberapa puisinya dinarasikan di dalam filmnya. Kenali hawa puisi yang dibuat Wiji Thukul sebelum ikut tenggelam dalam kesunyian pelariannya. Aku bertanya-tanya beberapa orang yang memiliki ekspektasi tinggi tentang filmnya dan kecewa tidak lebih dulu membaca puisi-puisi karyanya. Ada kesunyian dan rintihan pada bait-bait perlawanan sang aktivis.
"sekarang rasakan kembali jantung / yang gelisah memukul-mukul marah / karena darah dan otak jalan / kapitalis / dia hidup / bahkan berhadap-hadapan / kau-aku buruh, mereka kapitalis" — bukan kata baru (hal. 206)
Ulasan ini diikutsertakan dalam "Read and Review Challenge 2017" kategori Poetry.
Jadi pengen baca dan nonton juga
BalasHapusLaksanakan, Mine!
HapusPas nonton filmnya, aku baru pernah baca sedikit puisinya Wiji Thukul. Dan setelah nonton film merasa wajib beli buku Nyanyian Akar Rumput ini haha
BalasHapusSemoga bisa segera membacanya, Mbak. 😊
Hapus