Tahun : 2016
Dibaca : 25 Desember 2016 (via SCOOP)
Rating : ★★★
Sudah saatnya aku menuntaskan ulasan buku ini. Setelah berkali-kali memutar otak akan membahas apa selain mengulas, akhirnya aku memutuskan untuk berinteraksi langsung dengan sang penulis melalui email. Sekaligus mengajukan beberapa pertanyaan yang mengganjal seusai membaca "Playon". Inginnya kujadikan percakapan bagai wawancara. Tapi karena tidak banyak-banyak amat, aku hanya selipkan jawaban yang diberikan penulis. Salah satunya adalah pendapat penulis tentang sayembara sastra daerah selain Jakarta yang sepertinya kurang terasa gaungnya.
Satu hal yang pasti, aku tahu tentang "Playon" karena menjadi pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2016 kategori Puisi. Saat mengobrol bersama teman penyuka sastra, menanyakan kepadaku apakah buku tersebut mudah dipahami. Sebagai keturunan Jawa (yang pada akhirnya murtad karena hanya tahu sedikit-sedikit tentang bahasanya), aku mengerti isinya sedikit banyak. Dan itulah yang kujawab pada temanku tersebut. Ia yang orang Jakarta ragu untuk membaca "Playon" karena khawatir tidak mengerti puisi-puisi yang disampaikan. Aku jadi bertanya-tanya kenapa nuansa Jawa-nya kental sekali. Dan aku berasumsi, mungkinkah puisi-puisi di dalamnya dibuat untuk kalangan sendiri saja. Untungnya, aku mendapat jawabannya.
Menurut Mas Aziz, kumpulan puisi ini sejak awal dirancang untuk memenuhi persyaratan tema lomba Dewan Kesenian Jawa Timur yang mengangkat budaya provinsi tersebut. Ia pu tidak mengetahui apakah kemudian "Playon" hanya menjadi milik pembaca tertentu. Ia niatkan menulisnya dalam bentuk puisi dan bukan geguritan ataupun kakawin. Sehingga hal itu sudah menjawab bahwa sebisa mungkin Mas Aziz membuatnya lebih universal tanpa keluar dari syarat utama lomba DKJT. Untungnya, terdapat glosarium bahasa Jawa pada bagian akhir cetakan ulang terbitan Grasindo ini. Pada cetakan sebelumnya pun sebenarnya sudah ditambahkan, mengingat akan dijual secara bebas kepada penikmati puisi.
Setelah telusuri blognya, kudapati kumpulan puisi Mas Aziz ini sudah memiliki dua sampul yang berbeda. Sampul pertama berwarna cokelat pastel dan bercorak lingkaran yang di tengahnya terdapat ilustrasi seseorang. Sampul kedua bernuansa biru dengan gambar wayang. Menurutnya, sampul lingkaran itu merupakan cetakan pertama yang dicetak secara terbatas demi kepentingan acara di DKJT. Konon hanya dicetak 200 eksemplar saja. Dan sampul wayang adalah cetakan kedua terbitan Pagan Press yang berdomisili di Lamongan. Pada buku bersampul wayang inilah pertama kalinya ada tambahan glosarium bahasa Jawa.
Sebagai pembaca yang awam sastra, aku berpendapat "Playon" tidak akan seterkenal sekarang jika saja tidak memenangkan penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2016. Padahal sebelum itu, "Playon" sudah menang Sayembara Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur 2015. Berbeda dengan Sayembara Sastra Dewan Kesenian Jakarta, Sayembara Sastra DKJT sepertinya adem-ayem saja dari cakupan media nasional. Aku kemudian bertanya-tanya mengapa sayembara sastra dari daerah lain tidak mengemuka dibandingkan Sayembara Sastra Dewan Kesenian Jakarta yang begitu populer sampai-sampai karya pemenangnya diterbitkan oleh penerbit mayor.
"Barangkali benar pendapat sampeyan, Mas Raafi," ujar Mas Aziz. "Tapi mungkin hal ini tidak berhubungan dengan 'pusat' atau 'daerah' ataupun 'mutu'. Hanya persoalan manajemen," lanjutnya. Menurutnya, DKJ memiliki dukungan anggaran khusus untuk penerbitan karya pemenangnya, sementara di wilayah lain tidak. "Mungkin saya juga keliru," tutupnya.
"Playon" berarti berlari-larian. Judul buku sekaligus judul salah satu puisi yang terdapat di dalamnya itu sudah memberikan gambaran bahwa buku ini tentang aktivitas. Dari permainan tradisional Jawa sampai aktivitas sehari-hari. Bahkan beberapa judulnya sangat sederhana: "Ngupil" dan "Kerokan". Namun, jangan remehkan judul, Mas Aziz dapat membuatnya menjadi begitu filosifis dan tetap puitis. Kau bisa membuktikannya pada puisi di atas yang berjudul "Paku"—salah satu puisi yang paling kugemari.
Yang menjadi unik adalah bagaimana Mas Aziz membuat puisi-puisinya berparagraf. Tidak seperti puisi-puisi yang diajarkan oleh Guru Bahasa dan Sastra Indonesia saat sekolah dahulu, puisi-puisi dalam "Playon" adalah tanpa bait, tanpa sajak a-b-a-b, dan tanpa perlu menghabiskan spasi. Aku iseng bertanya kepadanya apakah "Playon" adalah puisi. Mas Aziz malah bertanya balik, "Apakah sebenarnya puisi?"
Terlepas dari pengetahuan bahasa Jawa-ku yang pas-pasan, aku amat senang membaca "Playon", apalagi pada bagian "Main". Permainan daerah yang diangkat sungguh membangkitkan kembali memori masa kanak-kanak. Saat ditanya apa yang tebersit dalam benak ketika membuat setiap puisinya, Mas Aziz menjelaskan, "Setiap puisi ini memang saya rancang sebagai rumah bagi kenangan masa kecil saya. Meski, saya memanfaatkan kenangan-kenangan itu hanya sebagai pintu masuk bagi tema-tema yang sedang saya hadapi saat ini."
Ulasan ini diikutsertakan dalam "Read and Review Challenge 2017" kategori Poetry.
Rating : ★★★
"sebuah paku menancap. kau membayangkan tangan yang kekar itu, martil itu, menghantamnya, menembuskannya, menancapkannya, dan membiarkannya. sebuah paku menancap. kau membayangkan jam atau pakaian atau kunci atau foto tergantung di situ. sebuah paku menancap. kau membayangkan apa yang harus terjadi antara sebuah besi, sebuah palu dan pakaian dan kunci dan jam penunjuk waktu itu bahkan foto kenanganmu. sebuah paku menancap. kau pun membayangkannya menancap di tengah telapak tangan di kayu palaing. sebuah paku menancap. sendirian dan tak terperhatikan." (Paku, hal. 30)
Sudah saatnya aku menuntaskan ulasan buku ini. Setelah berkali-kali memutar otak akan membahas apa selain mengulas, akhirnya aku memutuskan untuk berinteraksi langsung dengan sang penulis melalui email. Sekaligus mengajukan beberapa pertanyaan yang mengganjal seusai membaca "Playon". Inginnya kujadikan percakapan bagai wawancara. Tapi karena tidak banyak-banyak amat, aku hanya selipkan jawaban yang diberikan penulis. Salah satunya adalah pendapat penulis tentang sayembara sastra daerah selain Jakarta yang sepertinya kurang terasa gaungnya.
***
Satu hal yang pasti, aku tahu tentang "Playon" karena menjadi pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2016 kategori Puisi. Saat mengobrol bersama teman penyuka sastra, menanyakan kepadaku apakah buku tersebut mudah dipahami. Sebagai keturunan Jawa (yang pada akhirnya murtad karena hanya tahu sedikit-sedikit tentang bahasanya), aku mengerti isinya sedikit banyak. Dan itulah yang kujawab pada temanku tersebut. Ia yang orang Jakarta ragu untuk membaca "Playon" karena khawatir tidak mengerti puisi-puisi yang disampaikan. Aku jadi bertanya-tanya kenapa nuansa Jawa-nya kental sekali. Dan aku berasumsi, mungkinkah puisi-puisi di dalamnya dibuat untuk kalangan sendiri saja. Untungnya, aku mendapat jawabannya.
Menurut Mas Aziz, kumpulan puisi ini sejak awal dirancang untuk memenuhi persyaratan tema lomba Dewan Kesenian Jawa Timur yang mengangkat budaya provinsi tersebut. Ia pu tidak mengetahui apakah kemudian "Playon" hanya menjadi milik pembaca tertentu. Ia niatkan menulisnya dalam bentuk puisi dan bukan geguritan ataupun kakawin. Sehingga hal itu sudah menjawab bahwa sebisa mungkin Mas Aziz membuatnya lebih universal tanpa keluar dari syarat utama lomba DKJT. Untungnya, terdapat glosarium bahasa Jawa pada bagian akhir cetakan ulang terbitan Grasindo ini. Pada cetakan sebelumnya pun sebenarnya sudah ditambahkan, mengingat akan dijual secara bebas kepada penikmati puisi.
Setelah telusuri blognya, kudapati kumpulan puisi Mas Aziz ini sudah memiliki dua sampul yang berbeda. Sampul pertama berwarna cokelat pastel dan bercorak lingkaran yang di tengahnya terdapat ilustrasi seseorang. Sampul kedua bernuansa biru dengan gambar wayang. Menurutnya, sampul lingkaran itu merupakan cetakan pertama yang dicetak secara terbatas demi kepentingan acara di DKJT. Konon hanya dicetak 200 eksemplar saja. Dan sampul wayang adalah cetakan kedua terbitan Pagan Press yang berdomisili di Lamongan. Pada buku bersampul wayang inilah pertama kalinya ada tambahan glosarium bahasa Jawa.
Sebagai pembaca yang awam sastra, aku berpendapat "Playon" tidak akan seterkenal sekarang jika saja tidak memenangkan penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2016. Padahal sebelum itu, "Playon" sudah menang Sayembara Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur 2015. Berbeda dengan Sayembara Sastra Dewan Kesenian Jakarta, Sayembara Sastra DKJT sepertinya adem-ayem saja dari cakupan media nasional. Aku kemudian bertanya-tanya mengapa sayembara sastra dari daerah lain tidak mengemuka dibandingkan Sayembara Sastra Dewan Kesenian Jakarta yang begitu populer sampai-sampai karya pemenangnya diterbitkan oleh penerbit mayor.
"Barangkali benar pendapat sampeyan, Mas Raafi," ujar Mas Aziz. "Tapi mungkin hal ini tidak berhubungan dengan 'pusat' atau 'daerah' ataupun 'mutu'. Hanya persoalan manajemen," lanjutnya. Menurutnya, DKJ memiliki dukungan anggaran khusus untuk penerbitan karya pemenangnya, sementara di wilayah lain tidak. "Mungkin saya juga keliru," tutupnya.
***
"Playon" berarti berlari-larian. Judul buku sekaligus judul salah satu puisi yang terdapat di dalamnya itu sudah memberikan gambaran bahwa buku ini tentang aktivitas. Dari permainan tradisional Jawa sampai aktivitas sehari-hari. Bahkan beberapa judulnya sangat sederhana: "Ngupil" dan "Kerokan". Namun, jangan remehkan judul, Mas Aziz dapat membuatnya menjadi begitu filosifis dan tetap puitis. Kau bisa membuktikannya pada puisi di atas yang berjudul "Paku"—salah satu puisi yang paling kugemari.
Yang menjadi unik adalah bagaimana Mas Aziz membuat puisi-puisinya berparagraf. Tidak seperti puisi-puisi yang diajarkan oleh Guru Bahasa dan Sastra Indonesia saat sekolah dahulu, puisi-puisi dalam "Playon" adalah tanpa bait, tanpa sajak a-b-a-b, dan tanpa perlu menghabiskan spasi. Aku iseng bertanya kepadanya apakah "Playon" adalah puisi. Mas Aziz malah bertanya balik, "Apakah sebenarnya puisi?"
Terlepas dari pengetahuan bahasa Jawa-ku yang pas-pasan, aku amat senang membaca "Playon", apalagi pada bagian "Main". Permainan daerah yang diangkat sungguh membangkitkan kembali memori masa kanak-kanak. Saat ditanya apa yang tebersit dalam benak ketika membuat setiap puisinya, Mas Aziz menjelaskan, "Setiap puisi ini memang saya rancang sebagai rumah bagi kenangan masa kecil saya. Meski, saya memanfaatkan kenangan-kenangan itu hanya sebagai pintu masuk bagi tema-tema yang sedang saya hadapi saat ini."
Ulasan ini diikutsertakan dalam "Read and Review Challenge 2017" kategori Poetry.
Whoa, format review-nya unik sampe melibatkan penulisnya secara langsung :D
BalasHapusBukunya ada di SCOOP ya? Nanti mau nyoba baca ah~~
Ada dong, Bo! Yuk, baca!
Hapus