Sampul |
Pengarang : Puthut EA
Penerbit : INSISTPress
Tahun : 2009
Dibaca : 7 April 2015
Rating : ★★★★
Aku belum pernah mendengar nama Puthut EA sampai beberapa waktu lalu seorang teman memaksaku untuk coba membaca bukunya. Aku datang ke rumahnya dan aku dipinjami buku ini. Terang saja, waktu itu aku tidak janji mengabulkan permohonannya, sampai aku membuka halaman pertama.
Buku ini berisi lima belas cerita pendek penulis yang sebagian besar sudah pernah dimuat di media massa seperti Kompas dan Media Indonesia. Lima cerita pendek pertama belum pernah dipublikasikan. Aku mengulas setiap cerpennya singkat.
Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali (belum dipublikasi sebelumnya)
Bercerita tentang dua pria yang sudah lama kenal dan sedang mengobrolkan masa lalu. Ketika salah satu dari mereka memiliki pengalaman yang membuatnya tidak mau lagi makan makanan dari bebek, bahkan peristiwa itu membawanya ke nasib buruknya.
Kawan Kecil (belum dipublikasi sebelumnya)
Mereka berdua berkawan sejak kecil; bersahabat. Dua pria yang memilih jalur hidupnya masing-masing. Yang satu merantau ke kota mencari peruntungan. Satu lagi tetap di kampung halamannya, mengelola tanahnya yang menghasilkan. Mereka kembali bertemu; si kota pulang ke kampung. Dan si kampung bercerita tentang tanahnya yang hampir habis karena orang-orang di situ menjual tanah untuk keberlangsungan anak-anak mereka di kota. Dan si kampung tetap mempertahankan apa yang sudah seharusnya.
Obrolan Sederhana (belum dipublikasi sebelumnya)
Dua pria ini bertemu musabab hujan. Yang satu mencari tempat berteduh di sebuah rumah dan satu lagi tinggal di dalamnya. Salah satu mencurahkan isi hatinya tentang hidupnya yang ternyata palsu; yang ternyata tidak menyukai apa yang dilakukannya padahal benar; yang ternyata tidak bahagia. Kebahagiaan bukanlah apa yang kaulihat, tapi apa yang kaurasakan.
Rahasia Telinga Seorang Sastrawan Besar (belum dipublikasi sebelumnya)
Seorang reporter sangat ingin tahu ada apa di balik telinga seorang sastrawan tersohor yang selalu mengucapkan kalimat lantang ketika bercakap-cakap. Apakah pendengarannya benar-benar terganggu karena dipopor oleh tentara, yang selalu diucapkannya itu? Ataukah itu hanya semacam gerutuan atas apa yang pernah dialaminya? Kau tahu, ada hal-hal yang sebaiknya kau tidak tahu dan tetap misterius.
Doa yang Menakutkan (belum dipublikasi sebelumnya)
Anak ini selalu mengeluh ketika mendengar doa; mendengar sesuatu dari pengeras suara masjid. Ketakutan, lebih tepatnya. Tragedi yang terjadi hampir setiap malam di masjid yang biasa dia datangi untuk ibadah dan ngaji. Sesuatu seperti ini sering terjadi, ketika waswas datang setiap saat dan membuatnya menjadi rasa takut, hingga kau tak akan melakukannya lagi.
Di Sini Dingin Sekali (Kompas, 26 November 2006)
Bocah ini adalah korban bencana, hidup di tenda bersama seluruh keluarganya. Ketika orangtua dan kakaknya dirundung masalah masing-masing, begitupun bocah ini yang harus mengurusi adiknya. Ketika masalah-masalah seperti tak bisa terbendung lagi, dia harus menyingkir, hingga suatu ketika dia dan adiknya tidur beratap langit pada malam yang sangat dingin.
Sambal Keluarga (Kompas, 20 Agustus 2006)
Keluarganya memiliki tradisi sarapan dengan sambal. Hingga pria ini beranjak dewasa, tradisi itu tak pernah luput di meja makan orangtuanya setiap pagi. Suatu hari dia mengajak sang calon menginap di rumah. Ketika tradisi itu diketahui orang luar, ketika tradisi itu dirusak orang tersebut dengan menambah atau mengurangi, apa lagi yang harus dilakukan selain bersikap wajar?
Dongeng Gelap (Jawa Pos, 23 April 2006)
Apa yang harus dilakukan seorang wanita mengetahui kekejian di balik jeruji yang bahkan dirinya tidak seharusnya berada di dalamnya? Ketika keperawanan menjadi harga murah dan luka-luka adalah hidangan sehari-sehari yang harus dijalani. Apa lagi yang harus dilakukan? Mungkin dengan melupakannya.
Anak-Anak yang Terampas (Media Indonesia, 4 Februari 2006)
Favorit. Anak-anak itu tidak seharusnya seperti itu; berada di sana. Jeruji besi nan dingin yang terus melingkupinya hanya karena ibu-ibu mereka juga di sana. Ketika cerita terus berkisah dan waktu terus bergulir, mereka bahkan akan tetap di sana. Peristiwa-peristiwa adalah rentetan batu uji agar ke depan, langkah tak gampang goyah. Tapi anak-anak itu? (hal. 88)
Retakan Kisah (Kompas, 19 Maret 2006)
Favorit. Seorang janda berkisah apa yang terjadi di masa lalunya. Ditelanjangi, dicabuli, dipotong rambutnya, dipindah-pindah penjara, hanya karena mengajar dan ikut perkumpulan. Ketika ketidakjelasan adalah wajar. Ketika masa lalu adalah sebuah retakan kehidupan yang harus dibebat dengan keikhlasan.
Koh Su (Kompas, 15 April 2007)
Penjual nasi goreng itu pergi entah ke mana dan membuat gempar orang-orang karena dagangannya yang juara tidak lagi ada. Hal itu dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk coba peruntungan, menjual nasi goreng dengan dalih bumbu yang sama. Kebodohan tidak untuk mereka yang mengenal originalitas.
Ibu Tahu Rahasiaku (Kompas, 26 Agustus 2008)
Seseorang terkesan baik bagi seseorang, bisa juga terkesan buruk bagi yang lainnya. Itulah Bido bagi pria itu dan ibunya. Bido diaku kakak olehnya dan diaku anak oleh ibunya. Tetapi orang-orang menganggapnya kriminal cerdik karena tak kunjung dibui, padahal dia melakukan banyak hal. Lepaskan topengmu pada sebagian orang, tapi pakailah ketika bertemu yang lain.
Rumah Kosong (Suara Merdeka, 27 Januari 2008)
Sebuah desa geger karena rumah kosong itu dihancurkan atas perintah kakek Agus Mbeler karena katanya bekas PKI. Tapi kini Agus Mbeler-lah yang menempati lahan itu, dengan gaya rumah yang lebih anyar. Ada masalah?
Bunga Pepaya (Jawa Pos, 20 April 2008)
Seorang wanita yang sibuk dengan pekerjaannya ingin mengundurkan diri. Ia ragu hingga bertemu seorang pria yang sedang makan oseng bunga pepaya di desa tempatnya melakukan kunjungan kerja. Mendengar sang pria berceloteh tentang apa yang sebenarnya perusahaan wanita itu lakukan pada penduduk setempat, wanita itu akhirnya yakin melakukannya. Kadang, kebenaran datang tepat waktu.
Berburu Beruang (Kompas, 3 Maret 2008)
Kakak-beradik itu tidak benar-benar melakukannya. Beruang hanya pelepah pisang, dan senjata hanya batang bambu. Si adik melakukannya untuk menyenangkan hati sang kakak.
Kata ganti orang pertama "aku" adalah kesamaan setiap karakter di setiap cerpen. Jarang ada nama, hanya sahutan akrab sebagai penanda siapa-siapa "aku" pada buku ini. Hal ini membuat cerpennya lebih dalam menggali karakter. Membuatku terbuai untuk menyelesaikannya.
Kosakata unik dan jarang ditemui meramaikan buku ini. Aku sampai membuka KBBI tapi tetap tidak menemukan di sana. Aku tidak sempat menandai kata-kata itu. Tapi kebanyakan diserap dari Bahasa Jawa. Mungkin ini jadi ciri khas penulis.
Buku ini adalah momentum penulis setelah 10 tahun berkiprah dalam dunia literasi sastra sejak 1999. Pada bagian Ucapan Terima Kasih, penulis mengakui bahwa lakonnya sebagai penulis memang tidak mulus. Kadang dia berpikir bahwa menulis bukanlah dunia yang menjanjikan. Tapi pada akhirnya dia terus mendapat motivasi dan inspirasi sehingga membuatnya terus menulis.
Secara keseluruhan cerpen-cerpen di dalamnya bercerita tentang kekisruhan sosial dan ketidakadilan. Kita bisa belajar banyak dari pesan-pesan tersirat di dalamnya. Sampai sekarang aku masih ragu membandingkannya dengan Eka Kurniawan. Tapi untuk apa? Masing-masing dari kita punya keunikan tersendiri.
Temui penulis di sini.
***
Seekor Bebek yang Mati di Pinggir Kali (belum dipublikasi sebelumnya)
Bercerita tentang dua pria yang sudah lama kenal dan sedang mengobrolkan masa lalu. Ketika salah satu dari mereka memiliki pengalaman yang membuatnya tidak mau lagi makan makanan dari bebek, bahkan peristiwa itu membawanya ke nasib buruknya.
Kawan Kecil (belum dipublikasi sebelumnya)
Mereka berdua berkawan sejak kecil; bersahabat. Dua pria yang memilih jalur hidupnya masing-masing. Yang satu merantau ke kota mencari peruntungan. Satu lagi tetap di kampung halamannya, mengelola tanahnya yang menghasilkan. Mereka kembali bertemu; si kota pulang ke kampung. Dan si kampung bercerita tentang tanahnya yang hampir habis karena orang-orang di situ menjual tanah untuk keberlangsungan anak-anak mereka di kota. Dan si kampung tetap mempertahankan apa yang sudah seharusnya.
Obrolan Sederhana (belum dipublikasi sebelumnya)
Dua pria ini bertemu musabab hujan. Yang satu mencari tempat berteduh di sebuah rumah dan satu lagi tinggal di dalamnya. Salah satu mencurahkan isi hatinya tentang hidupnya yang ternyata palsu; yang ternyata tidak menyukai apa yang dilakukannya padahal benar; yang ternyata tidak bahagia. Kebahagiaan bukanlah apa yang kaulihat, tapi apa yang kaurasakan.
Rahasia Telinga Seorang Sastrawan Besar (belum dipublikasi sebelumnya)
Seorang reporter sangat ingin tahu ada apa di balik telinga seorang sastrawan tersohor yang selalu mengucapkan kalimat lantang ketika bercakap-cakap. Apakah pendengarannya benar-benar terganggu karena dipopor oleh tentara, yang selalu diucapkannya itu? Ataukah itu hanya semacam gerutuan atas apa yang pernah dialaminya? Kau tahu, ada hal-hal yang sebaiknya kau tidak tahu dan tetap misterius.
Doa yang Menakutkan (belum dipublikasi sebelumnya)
Anak ini selalu mengeluh ketika mendengar doa; mendengar sesuatu dari pengeras suara masjid. Ketakutan, lebih tepatnya. Tragedi yang terjadi hampir setiap malam di masjid yang biasa dia datangi untuk ibadah dan ngaji. Sesuatu seperti ini sering terjadi, ketika waswas datang setiap saat dan membuatnya menjadi rasa takut, hingga kau tak akan melakukannya lagi.
Di Sini Dingin Sekali (Kompas, 26 November 2006)
Bocah ini adalah korban bencana, hidup di tenda bersama seluruh keluarganya. Ketika orangtua dan kakaknya dirundung masalah masing-masing, begitupun bocah ini yang harus mengurusi adiknya. Ketika masalah-masalah seperti tak bisa terbendung lagi, dia harus menyingkir, hingga suatu ketika dia dan adiknya tidur beratap langit pada malam yang sangat dingin.
Sambal Keluarga (Kompas, 20 Agustus 2006)
Keluarganya memiliki tradisi sarapan dengan sambal. Hingga pria ini beranjak dewasa, tradisi itu tak pernah luput di meja makan orangtuanya setiap pagi. Suatu hari dia mengajak sang calon menginap di rumah. Ketika tradisi itu diketahui orang luar, ketika tradisi itu dirusak orang tersebut dengan menambah atau mengurangi, apa lagi yang harus dilakukan selain bersikap wajar?
Dongeng Gelap (Jawa Pos, 23 April 2006)
Apa yang harus dilakukan seorang wanita mengetahui kekejian di balik jeruji yang bahkan dirinya tidak seharusnya berada di dalamnya? Ketika keperawanan menjadi harga murah dan luka-luka adalah hidangan sehari-sehari yang harus dijalani. Apa lagi yang harus dilakukan? Mungkin dengan melupakannya.
Ilustrasi (hal. 86) |
Favorit. Anak-anak itu tidak seharusnya seperti itu; berada di sana. Jeruji besi nan dingin yang terus melingkupinya hanya karena ibu-ibu mereka juga di sana. Ketika cerita terus berkisah dan waktu terus bergulir, mereka bahkan akan tetap di sana. Peristiwa-peristiwa adalah rentetan batu uji agar ke depan, langkah tak gampang goyah. Tapi anak-anak itu? (hal. 88)
Retakan Kisah (Kompas, 19 Maret 2006)
Favorit. Seorang janda berkisah apa yang terjadi di masa lalunya. Ditelanjangi, dicabuli, dipotong rambutnya, dipindah-pindah penjara, hanya karena mengajar dan ikut perkumpulan. Ketika ketidakjelasan adalah wajar. Ketika masa lalu adalah sebuah retakan kehidupan yang harus dibebat dengan keikhlasan.
Koh Su (Kompas, 15 April 2007)
Penjual nasi goreng itu pergi entah ke mana dan membuat gempar orang-orang karena dagangannya yang juara tidak lagi ada. Hal itu dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk coba peruntungan, menjual nasi goreng dengan dalih bumbu yang sama. Kebodohan tidak untuk mereka yang mengenal originalitas.
Ibu Tahu Rahasiaku (Kompas, 26 Agustus 2008)
Seseorang terkesan baik bagi seseorang, bisa juga terkesan buruk bagi yang lainnya. Itulah Bido bagi pria itu dan ibunya. Bido diaku kakak olehnya dan diaku anak oleh ibunya. Tetapi orang-orang menganggapnya kriminal cerdik karena tak kunjung dibui, padahal dia melakukan banyak hal. Lepaskan topengmu pada sebagian orang, tapi pakailah ketika bertemu yang lain.
Rumah Kosong (Suara Merdeka, 27 Januari 2008)
Sebuah desa geger karena rumah kosong itu dihancurkan atas perintah kakek Agus Mbeler karena katanya bekas PKI. Tapi kini Agus Mbeler-lah yang menempati lahan itu, dengan gaya rumah yang lebih anyar. Ada masalah?
Bunga Pepaya (Jawa Pos, 20 April 2008)
Seorang wanita yang sibuk dengan pekerjaannya ingin mengundurkan diri. Ia ragu hingga bertemu seorang pria yang sedang makan oseng bunga pepaya di desa tempatnya melakukan kunjungan kerja. Mendengar sang pria berceloteh tentang apa yang sebenarnya perusahaan wanita itu lakukan pada penduduk setempat, wanita itu akhirnya yakin melakukannya. Kadang, kebenaran datang tepat waktu.
Berburu Beruang (Kompas, 3 Maret 2008)
Kakak-beradik itu tidak benar-benar melakukannya. Beruang hanya pelepah pisang, dan senjata hanya batang bambu. Si adik melakukannya untuk menyenangkan hati sang kakak.
***
Kata ganti orang pertama "aku" adalah kesamaan setiap karakter di setiap cerpen. Jarang ada nama, hanya sahutan akrab sebagai penanda siapa-siapa "aku" pada buku ini. Hal ini membuat cerpennya lebih dalam menggali karakter. Membuatku terbuai untuk menyelesaikannya.
The Author |
Buku ini adalah momentum penulis setelah 10 tahun berkiprah dalam dunia literasi sastra sejak 1999. Pada bagian Ucapan Terima Kasih, penulis mengakui bahwa lakonnya sebagai penulis memang tidak mulus. Kadang dia berpikir bahwa menulis bukanlah dunia yang menjanjikan. Tapi pada akhirnya dia terus mendapat motivasi dan inspirasi sehingga membuatnya terus menulis.
Secara keseluruhan cerpen-cerpen di dalamnya bercerita tentang kekisruhan sosial dan ketidakadilan. Kita bisa belajar banyak dari pesan-pesan tersirat di dalamnya. Sampai sekarang aku masih ragu membandingkannya dengan Eka Kurniawan. Tapi untuk apa? Masing-masing dari kita punya keunikan tersendiri.
Temui penulis di sini.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar