Pengarang : Eka Kurniawan
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun : 2015
Dibaca : 16 Agustus 2015
Rating : ★★★★
Tahun : 2015
Dibaca : 16 Agustus 2015
Rating : ★★★★
Aku mendapatkan buku ini sebagai hadiah dari seseorang pada pertemuan komunitas Klub Buku Tangerang beberapa bulan lalu. Dan baru kali ini aku menyempatkan baca. Buku ketiga penulis yang kubaca setelah Corat-Coret di Toilet dan Lelaki Harimau. Tidak seperti karya-karya sebelumnya, hampir seluruh cerpen pada buku ini lebih mengedepankan latar tempat.
Sebenarnya aku mau mengulas kesemua cerpen pada buku ini. Tapi judulnya sungguh banyak. Sepuluh? Lebih. Buku ini berisi lima belas cerita pendek yang sebelumnya pernah dimuat di surat kabar nasional seperti: Kompas, Koran Tempo, dan Media Indonesia. Tapi anehnya buku ini tidak lebih dari 170 halaman. Jadi aku hanya akan membeberkan judul, kutipan, serta rating dari setiap cerpen. Monggo!
Sebenarnya aku mau mengulas kesemua cerpen pada buku ini. Tapi judulnya sungguh banyak. Sepuluh? Lebih. Buku ini berisi lima belas cerita pendek yang sebelumnya pernah dimuat di surat kabar nasional seperti: Kompas, Koran Tempo, dan Media Indonesia. Tapi anehnya buku ini tidak lebih dari 170 halaman. Jadi aku hanya akan membeberkan judul, kutipan, serta rating dari setiap cerpen. Monggo!
***
Gerimis yang Sederhana (3/5)
"Ya, ya, aku tahu. Aku juga pernah kenal seorang lelaki yang selalu mencopot cincin kawinnya setiap bertemu perempuan baru." (hal. 11)
-------
Gincu Ini Merah, Sayang (4/5)
"Memang sejak ia jatuh cinta kepada Rohmat Nurjaman, apalagi setelah mereka menikah, ia tak pernah membuat merah bibirnya untuk lelaki lain." (hal. 24)
-------
Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi (4/5)
"Maya, untuk kali pertama, tersenyum lebar. Air matanya mengucur, bukan karena sedih, melainkan karena bahagia. Ia yakin, ia tak mau pergi dari rumah itu. Ia telah menemukan lelaki itu. Ia telah melihat anjing mereka." (hal. 34)
-------
Penafsir Kebahagiaan (3/5)
"Tadinya aku mau tinggal di Four Seasons, sudah booking jauh-jauh hari. Aku datang ke apartemen hanya untuk menengokmu. Akhirnya, aku malah memutuskan untuk tinggal di kamar Siti. Jangan tertawakan aku. Meskipun hanya seorang pembantu, ia cantik dan tidak bodoh. Aku nyaris tak pernah keluar kamar maupun apartemen selama sepuluh hari itu. Ia memperlakukanku dengan sangat baik dan penuh kasih." (hal. 43)
-------
Membuat Senang Seekor Gajah (4/5)
"Membuatnya senang kupikir hal yang lebih penting daripada apa pun. Percuma ia hidup jika tidak senang." (hal. 50)
-------
Jangan Kencing di Sini (3/5)
"Saat itulah terpikir olehnya, barangkali tanda 'Jangan Kencing di Sini!' itu memang tak berguna sama sekali. Barangkali, kencing di sembarang tempat merupakan kenikmatan seseorang, yang tak sepatutnya ia halangi." (hal. 59)
-------
Tiga Kematian Marsilam (2.5/5)
"'Benar kata Karsam, kami sangat mirip,' katanya kepada diri sendiri. 'Barangkali karena kami berbagi kesedihan yang sama.' Sekarang namaku Marsilam, bukan Armantana, ia mengingatkan." (hal. 75)
-------
Cerita Batu (5/5)
"Tentu saja. Manusia tak pernah belajar mendengarkan batu, apalagi mengerti bahasa yang dipergunakan batu. Mereka hanya tahu, batu bisa dipergunakan untuk membenamkan seonggok mayat ke dalam sungai dan sejenisnya." (hal. 79)
-------
La Cage aux Folles (4/5)
"Ini perdebatan sama yang terus berulang dan jawaban Marni selalu seragam, 'Tapi, aku merasa lebih perempuan daripada lelaki.'" (hal. 92)
-------
Setiap Anjing Boleh Bahagia (5/5)
"Ronin tahu, untuk anjing selokan buduk dan bernanah, itu mimpi muluk. Ronin tak peduli, di muka bumi, setiap anjing boleh bermimpi setinggi bintang-bintang, setiap anjing boleh berbahagia." (hal. 110)
-------
Kapten Bebek Hijau (4/5)
"Ayo, Kapten, semangat, Kapten! Kamu pergi ke puncak bukit bukan untuk dimangsa ular belang. Kamu pergi untuk menemukan kunir raja dan pulang dengan kemenangan." (hal. 119)
-------
Teka-Teki Silang (3.5/5)
"Itulah yang membuatnya percaya bahwa teka-teki silang adalah sebuah metafor, atau bahkan peta terselubung dari kehidupan alam semesta, atau bahkan ia pernah menganggapnya sebagai lauh mahfuzh, kitab segala kitab." (hal. 125)
-------
Membakar Api (3/5)
"Maka, itulah yang harus dilakukan ayahku untuk membuat para tetua senang. Itu satu-satunya cara agar ia bisa tetap mempertahankan tempatnya di dalam organisasi, atau panggilan 'ketua' harus segera diberikan kepada orang lain." (hal. 144)
-------
Pelajaran Memelihara Burung Beo (3.5/5)
"Paling tidak, lama setelah itu, Mirah memperoleh pelajarannya yang paling berharga. Pelajaran di atas semua pelajaran: Jangan pernah menggantikan anakmu dengan burung beo." (hal. 155)
-------
Pengantar Tidur Panjang (4.5/5)
"Enggak mungkin. Kamu memang pintar, tapi tak akan seberani itu. Kamu penakut, dan itulah mengapa kamu tak pergi ke Afganistan. Kamu selalu takut dengan polisi dan tentara meskipun kamu tampaknya tak pernah takut dengan neraka." (hal. 163)
***
Bayangkan kalau aku ulas setiap cerpen di atas. Memberikan kutipan saja sudah melelahkan. Walaupun tidak setajam cerpen-cerpen pada Corat-Coret di Toilet, aku suka dengan pelajaran tersirat dari setiap cerpennya. "Cerita Batu" dan "Setiap Anjing Boleh Bahagia" menjadi favorit. Ah, aku semakin menikmati sastra Indonesia saja.
Rata-rata rating adalah sebagai berikut:
(3 + 4 + 4 + 3 + 4 + 3 + 2.5 + 5 + 4 + 5 + 4 + 3.5 + 3 + 3.5 + 4.5) / 15 = 3.73
dibulatkan ke atas menjadi 4.
Ulasan ini untuk tantangan 100 Hari Membaca Sastra Indonesia.
Selalu suka cara eka kurniawan bercerita, walaupun tak jarang harus mengernyitkan dahi, hehee. Salah satu bukunya yg wajib dibaca 'cantik itu luka'.
BalasHapusSalaam, www.ceritachia.com
Saya belum sempat membaca Cantik Itu Luka dan sudah banyak yang merekomendasikan buku itu pada saya. Semoga bisa cepat baca. Terima kasih sudah mampir.
Hapus