04 Mei 2014

Corat-Coret di Toilet

Sampul
Judul : Corat-Coret di Toilet
Pengarang : Eka Kurniawan
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2014
Dibaca : 26 April 2014
Rating : ★★

Sebagai lulusan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada pada masa itu, sudah barang tentu penulis memiliki kemampuan bersastra yang baik. Termasuk di kumpulan cerpen ini. Begitu kental dengan kritik sosial-politik di tahun 1999 dan 2000. Memang pada tahun-tahun itu adalah awal dari masa reformasi Indonesia.

Corat-Coret di Toilet adalah salah satu cerita pendek yang terdapat di kumpulan cerpen ini. Dan ada sepuluh cerpen lainnya karya penulis yang dibuat sekitar tahun 1999 dan 2000. Yang paling mengena adalah cerpen Corat-Coret di Toilet dan Kandang Babi.

***

Ceritanya begitu berbeda. Aku baru membaca jenis cerita pendek seperti ini. Kisahnya tak ada lakon utama, cuma ada setting utama yaitu toilet. Toilet ini adalah toilet umum biasa yang penuh dengan coretan sebagaimana yang sering kita lihat di sekolah, kampus, terminal, dan tempat-tempat umum lainnya.

Kalian yang tahu Bahasa Sunda, mungkin mengerti ini
Bagaimana ya. Aku yakin kalian akan merasakan hal berbeda dengan membaca cerpen ini. Singkatnya, toilet ini adalah toilet umum di suatu kampus. Mahasiswa yang buang air di situ saling berbalas argumen dengan mencorat-coret pada dinding toilet. Hal itu membuat dinding begitu penuh dengan tulisan yang tidak teratur.

Yang membuatku kagum adalah bagaimana penulis membuat cerita yang sederhana ini menjadi kritik politik yang pedas. Dengan mengandalkan hal-hal yang biasa dilakukan, penulis dapat mengantarkan pesannya dengan penuh cibiran keras terhadap pemerintahan masa itu. Pembaca mungkin saja kaget karena hal yang tidak begitu dipedulikan bisa menjadi ajang berorasi. Hal itu adalah: Corat-Coret di Toilet.

“Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya kepada dinding toilet.” (hal. 29)

***

Lagi. Aku dibuat heran bagaimana penulis mengambil kisah-kisah yang tidak banyak orang pedulikan. Kali ini dengan cerita seorang mahasiswa yang homeless (atau kost-less) bernama Edi. Tak punya tempat untuk bermalam, membuat Edi tidur di Kandang Babi yang masih berada di kompleks kampusnya setiap malam.

Kandang Babi ini tentu saja kiasan. Karena sebenarnya Edi menempati bekas ruangan yang dipakai untuk mengoperasikan mesin stensil yang belakangan tergusur setelah penemuan teknologi komputer yang edan-edanan. (hal. 104)

Ceritanya lagi-lagi sederhana. Hanya si Edi yang –sangat beruntung dia mendapat perhatian penulis– hidup sebagai mahasiswa biasa yang tiap hari hutang sana-sini untuk mengisi perutnya yang selalu bersuara lantang. Suatu ketika Kandang Babi Edi terkunci dan barang-barangnya tergeletak di luar. Edi bingung dan terpaksa mencari tempat lain untuk bermalam.

Edi juga menceritakan bagaimana ia bertemu kawan yang dulu seangkatan dan sudah lulus, Laura, yang menjadi dosen di kampus yang sama. Edi dengan kurang ajar berhutang pada Laura dengan berdalih untuk mencari kontrakan. Tapi, tidak. Edi Idiot tak melakukannya. Edi Idiot masih menempati Kandang Babi yang sama.

Mungkin ini kritik sosial. Mungkin ini pelajaran bagaimana menjadi seseorang yang berprinsip dan bertekad untuk mencapai tujuan. Mungkin ini cerita tentang bagaimana hidup harus dijalani dengan usaha keras dan kemauan yang sungguh. Dan aku bilang itu bukan kemungkinan, itu yang aku dapatkan setelah membaca ini.

"Dialah Edi Idiot. ... Hanya Tuhan yang tahu bagaimana orang yang menurut sistem pendidikan nasional dibilang goblok ini bisa masuk universitas." (hal. 106)

***
Bersanding dengan Pramoedya Ananta Toer dan Suharto
Eka Kurniawan. Sastrawan Indonesia yang mungkin saja berakhir seperti Chairil Anwar yang karya-karyanya masih terekam jelas hingga kini, walaupun hanya di buku teks pelajaran Bahasa Indonesia.

"... Huh, dasar laki-laki mata-ke-ranjang, kataku dalam hati." (hal. 44)

Tidak ada komentar :

Posting Komentar