09 September 2014

Connwaer's Magic Stone

Sampul
Judul : Pencarian Batu Sihir
Judul Asli : The Magic Thief (Magic Thief, #1)
Pengarang : Sarah Prineas
Penerbit : BIP (Bhuana Ilmu Populer)
Tahun : 2010
Dibaca : 9 September 2014
Rating : ★★★★

Ah, beruntung sekali memiliki satu buku ini. Karena teman-teman lain ingin sekali membaca dan memilikinya, dan memang buku-buku dari seri ini sudah langka sehingga terlihat berharga. Aku juga harap-harap cemas ketika membaca; bagaimana untuk mencari buku selanjutnya. Dan sekarang aku cemas. Buku ini bagus banget, maksudku ceritanya. Eh, sampulnya juga bagus.

The Prophet

Sampul
Judul : Almustafa
Judul Asli : The Prophet
Pengarang : Kahlil Gibran
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun : 2011
Dibaca : 6 September 2014
Rating : ★★★★

Bisa dibilang, kisah klasik memiliki keindahan tersendiri dalam berbahasa. Seperti ada yang tidak terjamahkan oleh orang-orang masa kini; misterius. Itulah yang aku suka dengan kisah klasik. Dan begitu pula dengan buku ini.

Aku tahu buku ini sepertinya tidak begitu tebal, memang, hampir semua buku klasik di awal abad 19 tidak begitu tebal; seperti Just So StoriesThe Strange Case of Dr. Jekyll & Mr. Hyde, dan Siddhartha. Isinya yang aku tidak tahu; ternyata sajak-sajak penuh metafora yang sangat indah. Seperti kalimat-kalimat terkenal: "anakmu bukan anakmu" dan "mereka adalah putra putri kerinduan kehidupan terhadap dirinya sendiri".

04 September 2014

Where She Went

Sampul
Judul : Setelah Dia Pergi
Judul Asli : Where She Went (If I Stay, #2)
Pengarang : Gayle Forman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2012
Dibaca : 3 September 2014
Rating : ★★★★

"... Kalau ini membantu, setelah beberapa lama, ketika kebencian itu tidak lagi kurasa perlu, ketika yang tersisa hanya perasaan bersalah, yang tertinggal dalam diriku adalah perasaan betapa besarnya kesalahanku kepadamu, betapa aku merindukanmu. Dan aku harus melihatmu dari kejauhan, menyaksikanmu mencapai mimpi, menjalani kehidupan yang tampak sempurna." (hal. 208)

Sekarang kita berada di tiga tahun setelah kecelakaan itu. Dan sekarang, Adam-lah yang bercerita atas apa yang telah dan akan terjadi.

Ceritanya sepertinya mudah ditebak. Adam dan Mia bertemu kembali setelah tiga tahun yang sangat sulit dijalani bagi Adam (aku tidak tahu apakah Mia merasakan hal yang sama, karena cerita bersudut pandang Adam) di sebuah konser musik klasik di New York City. Dan itu... konser tunggalnya Mia.

The Couple
Aku tidak akan memberi tahu bagaimana romansa dalam buku ini berlangsung, bagaimana ketika Adam benar-benar merasa terpuruk karena "sebentar" kehilangan Mia, bagaimana Adam bertemu Mia dengan canggung. Dan pada akhirnya, ketika Mia masih menyimpan semua barang-barang tentang Adam. (kok malah diberi tahu ya?)

Aku suka betapa tidak membosankannya teknis penulisan buku ini, sama seperti buku sebelumnya. Penulis cerdas memberikan cuplikan-cuplikan itu lagi, kilas balik yang membuat pembaca menggali setiap karakter.

Bukunya bagus! Tapi aku meminjam buku ini dari teman grup. Sempat berpikir untuk mengoleksinya karena sampulnya yang juga bagus. Yah, membacanya saja sudah cukup kok.

***

Yang aku ingin tahu adalah tempat-tempat yang menjadi setting Adam dan Mia "mencari Telur Paskah di kota". Tentu saja di New York City. Berikut aku beri tahu dimana saja Mia menunjukkan pada Adam "semua sudut tersembunyi di kota" yang sangat Mia sukai, dan juga tempat pertemuan pertama Adam dan Mia sejak tiga tahun.

Carnegie Hall
Port Authority Bus Terminal
State Island Ferry
Brooklyn Bridge
Seri sebelumnya:

03 September 2014

Siddhartha

Sampul
Judul : Siddhartha
Pengarang : Hermann Hesse
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2014
Dibaca : 2 September 2014
Rating : ★★★

"Rupanya memang begitu. Semua mengambil, semua memberi, begitulah kehidupan." —Siddhartha (hal. 75)

Aku coba mencari persamaan cerita antara buku ini dengan kisah Siddhartha Gautama yang menjadi figur utama dalam Agama Buddha, tetapi ceritanya berbeda. Terang saja karena dalam buku ini Siddhartha dan Gautama merupakan dua karakter yang berbeda, walaupun pada akhirnya Siddhartha menjadi tubuh dari sang Gautama. Kamala yang menjadi pasangan Siddhartha pun tidak aku temukan dalam kisah Sang Buddha. Jadi, jangan samakan buku ini dengan kisah Sang Buddha.

Sang Buddha
Sepanjang membaca, aku sempat berpikir untuk menghentikannya karena aku tidak begitu mengerti jalan ceritanya. Dengan gaya bahasa dengan sudut pandang yang tidak konsisten (terdapat kata ganti orang ketiga dan pertama), membuatku semakin bingung. Sangat berat ya sepertinya, tetapi memang ini buku filsafat-agama yang isinya ungkapan-ungkapan yang hanya dimengerti sebagian orang. Selain itu, buku ini sudah ada sejak 1922 di Berlin sana, sudah sangat klasik. Tetapi aku ingin tahu akhir dari petualangan Siddhartha yang mencari arti hidupnya.

Tidak masalah bagiku dengan kesulitan-kesulitan itu, pada akhirnya aku menyelesaikan membaca buku ini. Dan aku mendapat pelajaran tentang bagaimana keserakahan dan nafsu adalah hal yang tidak patut dimiliki. Aku juga belajar tentang sungai yang dengan suara riaknya dapat menenangkan. Dan banyak lagi...

Om
Istilah-istilah Buddha juga aku dapatkan. Seperti kata "Om" yang berarti kesempurnaan, salah satu kata suci bagi penganut agama Buddha. Siddhartha menyadari kata itu adalah segalanya setelah sekian lama bersama Vasudeva, Tukang Tambang di sungai yang menjadi gurunya. Dan aku juga tahu simbol yang berada di sampul depan buku ini adalah simbol "Om".

Patut dibaca untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang bagaimana baik dan buruk dalam bertata krama.

"...cinta bisa diperoleh dengan mengemis, membeli, menerimanya sebagai hadiah, menemukan-nya di jalan, tetapi tak bisa dicuri. Dalam hal ini, kau sudah keliru. Tidak, akan sangat disesalkan, pemuda tampan seperti kau menanganinya dengan cara seperti itu." —Kamala (hal. 66-67)

26 Agustus 2014

Alif's Final Decision

Sampul
Judul : Rantau 1 Muara (Negeri Lima Menara, #3)
Pengarang : A. Fuadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2013
Dibaca : 25 Agustus 2014
Rating : ★★★★

Kutipan dari halaman 164 di atas sampai aku buat catatan di gadgetku, kukicaukan pada penulis dan penulis hanya merespon "hehe" saja. Entah apa maksudnya. Dari kutipan itu pulalah aku kembali dibuka mata hatinya untuk tidak sembarang bilang cinta pada perempuan bahkan bergonta-ganti pacar. Itu juga yang sedang aku alami saat ini. Mungkin karena sembarangan, aku merasa tidak menikmati hal itu.

Ini yang pertama dari sekian banyak pelajaran-pelajaran hidup yang aku ambil.

***

Alif kembali seusai kuliah sarjananya. Mencari pekerjaan, mencari beasiswa S2, mencari jodoh. Ceritanya lebih ke "mencari", ke keraguan-keraguan yang harus dihilangkan dan pilihan yang harus dipilih. Aku tahu ini sedikit mengganggu karena hampir dari kesemua itu alurnya tetap sama.

Tetapi gangguan itu sedikit terabaikan dengan latar cerita yang tidak membosankan. Alif berpindah-pindah, setelah menggalau di Bandung, lalu pergi ke Jakarta, hingga ke Washington DC dan New York City. Aku lebih terkesan ketika Alif berada di Amerika sana. Karena hal-hal baru yang teramat detail membuat pembaca serasa berada di lokasi. Mungkin karena penulis benar-benar pernah tinggal DC dan NYC.

George Washington University, Kampus S2 Alif
Aku tadi bilang pelajaran-pelajaran kan? Benar. Ceritanya mengalun sendu dengan makna kehidupan yang menginspirasi. Hampir di setiap babnya terdapat hal-hal yang aku harus sedia banyak bookmark untuk tidak melewatkannya di lain waktu. Bab favoritku adalah 28 Sutan Rangkayo Basa yang bercerita tentang bagaimana Alif berjuang menaklukan hati ayah Dinara untuk mendapatkan restu. Alif sudah serius untuk meminang Dinara. Indah.

Setelah semua itu, Alif ragu untuk pulang. Bagaimana sebagai kepala keluarga kecilnya harus meninggalkan hidup jayanya di negeri orang. Bagaimana ia harus memikirkan hal apa yang akan dilakukannya saat pulang. Tapi pada akhirnya Alif mengingatkan dirinya tentang petuah dari Pondok Madani: Man saara ala darbi washala. Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan. Sesuai judulnya, setelah berlama-lama merantau di negeri orang, pada akhirnya Alif pulang, kembali ke satu muara, tanah air.


***

Akhirnya, trilogi kehidupan Alif ini selesai kubaca. Masih mengunggulkan cerita Alif dan Sahibul Menara di Pondok Madani. Masih menjagokan Negeri 5 Menara.

Satu paragraf di bab 18 Antara Jakarta dan Bogor adalah yang terbaik bagiku, mungkin inilah yang aku harus lakukan ke depannya:

"Malah, ketika newsroom semakin senyap, semakin bergolak semangatku. Ketika malam makin gelap, semakin menyala tekadku. Aku tahu jika aku terus berjuang dalam sunyi, aku menuju sebuah tempat yang tidak semua orang akan sampai. Ke tempat orang-orang terpilih saja. Orang-orang yang kerap dianggap aneh oleh orang kebanyakan. Tuhan ini Maha Melihat siapa saja yang paling bekerja keras. Dan Dia adalah sebaik-baiknya penilai. Tidak akan pernah Dia menyia-nyiakan usaha manusia. Aku percaya setiap usaha akan dibalas-Nya dengan balasan sebaik-baiknya." (hal. 154)