Judul : Rantau 1 Muara (Negeri Lima Menara, #3)
Pengarang : A. Fuadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2013
Dibaca : 25 Agustus 2014
Rating : ★★★★
hehe RT @raafian: nasihat Bang Togar ini tidak hanya untuk Alif kan Bang @fuadi1? disarikan dari #Rantau1Muara. pic.twitter.com/9vJVftZFU9
— Fuadi Negeri5Menara (@fuadi1) August 23, 2014
Kutipan dari halaman 164 di atas sampai aku buat catatan di gadgetku, kukicaukan pada penulis dan penulis hanya merespon "hehe" saja. Entah apa maksudnya. Dari kutipan itu pulalah aku kembali dibuka mata hatinya untuk tidak sembarang bilang cinta pada perempuan bahkan bergonta-ganti pacar. Itu juga yang sedang aku alami saat ini. Mungkin karena sembarangan, aku merasa tidak menikmati hal itu.
Ini yang pertama dari sekian banyak pelajaran-pelajaran hidup yang aku ambil.
Alif kembali seusai kuliah sarjananya. Mencari pekerjaan, mencari beasiswa S2, mencari jodoh. Ceritanya lebih ke "mencari", ke keraguan-keraguan yang harus dihilangkan dan pilihan yang harus dipilih. Aku tahu ini sedikit mengganggu karena hampir dari kesemua itu alurnya tetap sama.
Tetapi gangguan itu sedikit terabaikan dengan latar cerita yang tidak membosankan. Alif berpindah-pindah, setelah menggalau di Bandung, lalu pergi ke Jakarta, hingga ke Washington DC dan New York City. Aku lebih terkesan ketika Alif berada di Amerika sana. Karena hal-hal baru yang teramat detail membuat pembaca serasa berada di lokasi. Mungkin karena penulis benar-benar pernah tinggal DC dan NYC.
Aku tadi bilang pelajaran-pelajaran kan? Benar. Ceritanya mengalun sendu dengan makna kehidupan yang menginspirasi. Hampir di setiap babnya terdapat hal-hal yang aku harus sedia banyak bookmark untuk tidak melewatkannya di lain waktu. Bab favoritku adalah 28 Sutan Rangkayo Basa yang bercerita tentang bagaimana Alif berjuang menaklukan hati ayah Dinara untuk mendapatkan restu. Alif sudah serius untuk meminang Dinara. Indah.
Setelah semua itu, Alif ragu untuk pulang. Bagaimana sebagai kepala keluarga kecilnya harus meninggalkan hidup jayanya di negeri orang. Bagaimana ia harus memikirkan hal apa yang akan dilakukannya saat pulang. Tapi pada akhirnya Alif mengingatkan dirinya tentang petuah dari Pondok Madani: Man saara ala darbi washala. Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan. Sesuai judulnya, setelah berlama-lama merantau di negeri orang, pada akhirnya Alif pulang, kembali ke satu muara, tanah air.
***
Akhirnya, trilogi kehidupan Alif ini selesai kubaca. Masih mengunggulkan cerita Alif dan Sahibul Menara di Pondok Madani. Masih menjagokan Negeri 5 Menara.
Satu paragraf di bab 18 Antara Jakarta dan Bogor adalah yang terbaik bagiku, mungkin inilah yang aku harus lakukan ke depannya:
Ini yang pertama dari sekian banyak pelajaran-pelajaran hidup yang aku ambil.
***
Tetapi gangguan itu sedikit terabaikan dengan latar cerita yang tidak membosankan. Alif berpindah-pindah, setelah menggalau di Bandung, lalu pergi ke Jakarta, hingga ke Washington DC dan New York City. Aku lebih terkesan ketika Alif berada di Amerika sana. Karena hal-hal baru yang teramat detail membuat pembaca serasa berada di lokasi. Mungkin karena penulis benar-benar pernah tinggal DC dan NYC.
George Washington University, Kampus S2 Alif |
Setelah semua itu, Alif ragu untuk pulang. Bagaimana sebagai kepala keluarga kecilnya harus meninggalkan hidup jayanya di negeri orang. Bagaimana ia harus memikirkan hal apa yang akan dilakukannya saat pulang. Tapi pada akhirnya Alif mengingatkan dirinya tentang petuah dari Pondok Madani: Man saara ala darbi washala. Siapa yang berjalan di jalannya akan sampai di tujuan. Sesuai judulnya, setelah berlama-lama merantau di negeri orang, pada akhirnya Alif pulang, kembali ke satu muara, tanah air.
***
Akhirnya, trilogi kehidupan Alif ini selesai kubaca. Masih mengunggulkan cerita Alif dan Sahibul Menara di Pondok Madani. Masih menjagokan Negeri 5 Menara.
Satu paragraf di bab 18 Antara Jakarta dan Bogor adalah yang terbaik bagiku, mungkin inilah yang aku harus lakukan ke depannya:
"Malah, ketika newsroom semakin senyap, semakin bergolak semangatku. Ketika malam makin gelap, semakin menyala tekadku. Aku tahu jika aku terus berjuang dalam sunyi, aku menuju sebuah tempat yang tidak semua orang akan sampai. Ke tempat orang-orang terpilih saja. Orang-orang yang kerap dianggap aneh oleh orang kebanyakan. Tuhan ini Maha Melihat siapa saja yang paling bekerja keras. Dan Dia adalah sebaik-baiknya penilai. Tidak akan pernah Dia menyia-nyiakan usaha manusia. Aku percaya setiap usaha akan dibalas-Nya dengan balasan sebaik-baiknya." (hal. 154)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar