25 Juni 2021

Menelisik Kemiskinan dari Mata The White Tiger

header ulasan buku the white tiger aravind adiga

Netflix harus menunggu sampai 2021 untuk mengalihwahanakan novel “The White Tiger” yang rilis 13 tahun sebelumnya menjadi sebuah film. Namun, itu bukan masalah. Film adaptasi kerap membuat orang-orang 'ngeh' dengan karya novelnya. Begitu juga dengan karya pemenang The Man Booker Prize 2008 ini. Aku yakin belum pernah menemukan buku ini ‘nangkring’ di rak toko buku sampai setidaknya beberapa bulan lalu. Novel ini diterjemahkan dan diterbitkan Penerbit ANDI bahkan sejak 2010 (alias dua tahun setelah versi aslinya terbit). Kini, si versi terjemahan ‘hadir kembali’ di toko buku dengan jaket sampul baru yang membalut sampul lamanya (dapatkan di toko buku online Andi Publisher). Sudah semestinya ini berhubungan dengan kehadiran film adaptasinya di Netflix. Betapa euforia film yang diangkat dari karya novel membuka kembali keran pengenalan tokoh Balram dalam novel ini sekaligus keran cuan untuk penerbit bukunya.

Balram. Itu bukan nama aslinya. Kedua orang tuanya tidak punya waktu untuk memberinya nama. Nama itu diberikan oleh guru sekolahnya yang konon merupakan nama kaki-tangan dewa Krishna. Suatu hari di sekolahnya, seorang inspektur datang untuk menginspeksi guru dan murid. Hanya Balram yang bisa membaca kata-kata yang dituliskan si inspektur di papan tulis. Balram jugalah yang bisa menjawab beberapa pertanyaan lanjutan si inspektur seperti ‘siapa Yang Maha Buddha’ dan ‘siapa pria paling penting dalam hidup kita’. Puas dengan jawabannya, si inspektur memberi julukan kepada Balram. Julukan karena Balram ‘cerdas, jujur, serta paling bersemangat di tengah segerombolan bocah lamban dan tolol’. Julukan yang disebut-sebut termasuk hewan paling langka dan hanya muncul sekali dalam satu generasi. Julukan yang terus melekat hingga ia dewasa bahkan menjadi identitasnya. Julukan itu adalah The White Tiger—harimau putih.

review buku the white tiger aravind adiga
Pengarang : Aravind Adiga
Penerjemah : Rosemary Kesauly
Penerbit : ANDI
Tahun : 2010
Dibaca : 13 Juni 2021

Seorang pengusaha sukses di Bangalore, India mengetahui bahwa perdana menteri Tiongkok akan datang ke India untuk ‘bertemu beberapa entrepreneur India dan mendengar langsung kisah sukses mereka’. Si pengusaha kemudian berinisiatif mengirimkan surel langsung kepada sang perdana menteri untuk menceritakan kisah hidupnya. Ia mengaku dirinya entrepreneur autodidak karena belajar menjadi pengusaha tanpa mengenyam pendidikan formal. Ia memiliki perusahaan taksi dengan puluhan sopir dan mobil yang mengantarkan banyak penumpang hanya melalui panggilan telepon. Dalam ceritanya yang begitu panjang, si pengusaha menjabarkan lika-liku kisah kehidupannya yang berasal dari Kegelapan dan menjadi seorang sopir untuk sebuah keluarga konglomerat. Selama menjadi sopir itulah, perspektif si pengusaha berubah yang membuatnya berhasil menjadi pengusaha sukses.

***

“Nah, dipuji inspektur sekolah di depan guru serta teman sekelas, disebut ‘Harimau Putih’, diberi hadiah buku, dan dijanjikan beasiswa: semuanya merupakan berita baik, dan satu hukum kehidupan yang selalu berlaku dalam Kegelapan adalah bahwa berita baik selalu berubah menjadi berita buruk—dalam waktu singkat.” (hlm. 39)

Kamu mungkin bertanya-tanya siapa sebenarnya tokoh dalam buku “The White Tiger”. Balram dan si pengusaha sukses itulah tokohnya. Begini, gaya penceritaan pada buku ini menganut gaya epistolary yang mana disusun sebagaimana seseorang mengirimkan surat kepada orang lain. Gaya epistolary memberi ruang bagi pengalaman penulis yang mungkin berubah dari satu pemikiran/tindakan ke pemikiran/tindakan berikutnya sehingga pembaca memahami perubahan karakter si penulis. Dalam novel ini, si pengusaha sukses menulis surat elektronik kepada perdana menteri Tiongkok, lalu menceritakan kisah hidupnya yang dulu bernama Balram itu. Pemilihan gaya penceritaan ini sungguhlah tepat sebab pengarang dapat dengan leluasa menjabarkan perkembangan karakter tokoh Balram yang berubah menjadi seorang pengusaha sukses.

Balram lugu, cerdas, dan punya impian sederhana—melanjutkan studinya seperti yang diiming-imingi sang inspektur sekolah itu. Sayangnya, hal itu tidak terjadi. Kondisi keluarga yang miskin membuatnya harus putus sekolah dan ikut bekerja bersama kakaknya di sebuah kedai teh. Ia pun dibenturkan kenyataan bahwa sang ayah yang kurus meninggal karena batuk darah meski sudah membawanya ke rumah sakit tanpa dokter. Lalu, sang kakak menikah dengan seorang perempuan dan harus menjadi tumpuan keluarga. Impian sederhananya itu semakin mengabur saat melihat kakaknya membanting tulang tanpa henti dan mungkin saja berakhir seperti sang ayah. Saat itulah Balram bertekad keluar dari rumah, mengikuti kursus sopir untuk menjadi seorang sopir pribadi dengan iming-iming akan mengirimkan uang kepada keluarganya di desa.

Keluguan Balram semakin diusik saat ia menjadi seorang sopir keluarga Bangau, salah satu keluarga konglomerat di desanya. Majikannya, Mr. Ashok, adalah anak si Bangau yang baru pulang dari Amerika Serikat. Mr. Ashok memiliki istri yang dipanggil Pinky Madam oleh Balram. Bagian Balram menjadi sopir untuk Mr. Ashok dan Pinky Madam mendominasi keseluruhan ceritanya. Semakin hari ia mengantar majikannya, semakin ia melihat ketimpangan yang terjadi antara dirinya dan sang majikan. Di sinilah puncaknya. Balram yang lugu itu perlahan berubah menjadi seseorang yang menganggap hal-hal kotor seperti bersikap culas dan mengorupsi itu biasa. Balram begitu murka, tapi pada saat yang sama ingin menciutkan jarak ketimpangan sopir-majikan itu. Pertanyaan bagaimana cara terlepas dari kekangan kemiskinan terus bergemuruh dalam dirinya.

“Kenapa ayah saya tidak pernah melarang saya menggaruk pelir? Kenapa ayah saya tidak pernah mengajari saya menyikat gigi sampai mulut saya penuh busa putih? Mengapa dia membesarkan saya untuk hidup seperti binatang? Mengapa semua orang miskin tetap hidup di tengah semua kejorokan dan keburukan?” (hlm. 161)

Teori Kandang Ayam dalam The White Tiger


Perkembangan karakter itu amat kentara disajikan dalam halaman demi halaman buku ini. Balram seakan-akan diminta untuk melihat segala hal untuk tahu bahwa ia miskin dan tidak akan menjadi kaya seperti majikannya. Itulah yang membuat dirinya murka. Orang miskin tidak peduli pada nama anak. Mereka terlalu miskin sampai-sampai tidak bisa mengakses kesehatan secara memadai. Kemiskinan juga membuat mereka harus terus terikat dengan keluarga; menjadi tulang punggung sampai mati. Nasib keluargamu juga ada di tanganmu. Bila perilakumu kepada majikan bagus, keluargamu akan aman. Bila kamu berperilaku buruk bahkan hingga mencuri dari majikan, tinggal tunggu waktu untuk keluargamu mendapat hal-hal mengerikan.

Keterikatan dan kekangan dalam kemiskinan itu diistilahkan dalam novel “The White Tiger” ini dalam Teori Kandang Ayam. Analoginya yaitu bahwa ayam-ayam untuk konsumsi kerap dimasukkan ke dalam kandang. Bila ada yang membutuhkan, ayam kemudian diambil dari kandang untuk selanjutnya disembelih. Ayam lainnya di dalam kandang melihat ‘kawan’-nya disembelih. Mereka tahu bahwa mereka akan mati disembelih pada kesempatan berikutnya. Hanya saja, mereka tidak bisa lari, tidak bisa keluar dari kandang. Mereka terkurung di sana sampai mereka mati. Itulah bagaimana orang-orang miskin dikekang oleh orang-orang kaya.

“Setiap sore, di kereta menuju Surat, pusat pemotongan dan pemolesan berlian yang terbesar di seluruh dunia, para pembantu pedagang berlian membawa koper-koper berisi berlian yang sudah dipotong dan harus mereka antarkan kepada seseorang di Mumbai. Kenapa si pembantu tidak mencuri koper penuh berlian tersebut? Dia bukan Gandhi, dia manusia, sama seperti Anda dan saya. Tapi, dia ada dalam Kandang Ayam.” (hlm. 187 - 188)

Mengetahui dirinya satu di antara ayam-ayam yang terkurung di dalam kandang itu, Balram merasa dirinya punya potensi untuk menjadi orang besar. Setelah melalui asam-garam kehidupan, ia teringat kembali pada julukan yang diberikan oleh inspektur di sekolahnya dulu. Ia berbeda dari segerombolan orang tolol. Ia berbeda dari mereka yang miskin. Ia mencari-cari jawaban untuk pertanyaan yang terus bergemuruh itu: Bagaimana cara terlepas dari kekangan ini? Dirundung murka sekaligus ketakutan akan kekangan, ia memutuskan untuk melakukan satu hal keji itu. Hal keji yang mungkin tidak akan terpikirkan oleh Balram kecil yang lugu. Hal keji yang ia akan memberikan nasib buruk kepada keluarganya di desa. Bagaimanapun, hal keji itu mengubah hidupnya dan ia tidak pernah menyesalinya.

Buku ini brilian: mencampuradukkan rasa murka dan kekonyolan yang hadir di sekelilingnya. Perkembangan karakter yang menohok pun terasa mudah dimengerti berkat cuplikan kisah-kisah di dalam surat. Salah satu keuntungan gaya penceritaan epistolary yakni membangkitkan suasana dramatis dan personal sebagaimana penulis yang meluapkan perasaannya saat menuliskan pengalamannya sehingga pembaca mengangguk-angguk setuju. Apa yang dilakukan Balram untuk menjadi seorang pengusaha sukses akan mengaburkan definisi benar dan salah di benak pembaca. Alih-alih hitam dan putih, karya yang memiliki 'efek abu-abu' seperti inilah yang mengagumkan!

“Tapi, bukankah wajar jika semua orang penting di dunia ini, termasuk perdana menteri kami (termasuk Anda, Mr. Jiabao), sempat membunuh satu-dua orang dalam perjalanan menuju puncak?” (hlm. 349)

3 komentar :

  1. Wah, aku kebetulan sedang mencari rekomendasi buku-buku epistolary. Buku ini terdengar menarik! Terima kasih ulasannya, Kak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama! Aku malah penasaran apa saja buku epistolary yang sudah Farah baca.

      Hapus
  2. Nah ini juga masuk Wish list saya... Terima kasih reviewnya, bikin tambah mantap untuk beli bukunya

    BalasHapus