29 Mei 2016

Ulasan Buku: Tidak Ada New York Hari Ini

Pengarang : M. Aan Mansyur
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2016
Dibaca : 29 Mei 2016 (via SCOOP)
Rating : ★★★★

Penyesalan memang datang belakangan. Seperti saat ini, aku menyesal karena ragu dengan buku ini dan coba-coba membacanya melalui gawai. Harusnya tidak. Aku dibawa merasa; kau tahu kan tentang hal-hal sensitif dan kau diajak turut serta merasakan itu. Setelahnya aku tahu bahwa puisi bukan tentang kecepatan membaca, tetapi tentang menikmati setiap bait yang ada.

***

Kuselesaikan buku ini di dalam bus—perjalanan malam dari rumah menuju kost. Diiringi musik gitar-klarinet instrumen sang pengamen, membuatku semakin menikmati setiap bait di dalamnya. Siapa yang tidak suka dengan buku ini?

Aku tahu aku tidak suka puisi; bahasa yang digunakan biasanya begitu di luar nalar, begitu susah dicerna, begitu berat. Tapi kucoba untuk tak begitu memikirkannya. Hanya membaca, dan terus membaca. Siapa yang tidak suka dengan buku ini?

Dalam setiap buku, kau akan menemukan satu hal yang akan tersimpan dalam memori. Dan "Ciuman Perpisahan" menjadi satu dari sekian banyak favorit yang akan terpatri dalam memori. Lantas, siapa yang tidak suka dengan buku ini?

Jangan lupa hasil jepretan di setiap halamannya. Aku tahu bahwa New York memang sebesar 'itu'. Kau pernah mendengar 'Human of New York'? Ya. Sebesar itu. Tapi lewat buku, aku bisa melihat New York lebih besar dari itu. Lebih berperasaan.

Pada akhirnya, aku yakin tak ada yang tak suka dengan buku ini.

***

Ulasan singkat di atas sebenarnya sudah menggambarkan "Tidak Ada New York Hari Ini" secara keseluruhan. Tapi aku belum puas. Ada beberapa hal lain yang ingin—haruskusampaikan. Seperti betapa Aan sudah membawa gaya baru dalam literasi khususnya puisi. Layaknya puisi kontemporer yang tidak punya aturan. Selamat tinggal sajak berima atau puisi dengan ketentuan jumlah ketukan suku kata. Mungkin beberapa tahun lagi dalam pelajaran Bahasa Indonesia dasar terdapat aliran puisi bernama Aanisme.

Aku sudah membaca buku Aan lain. Tentu bukan "Melihat Api Bekerja" karena aku tidak begitu mendalami puisi—seperti yang tertulis di atas. "Kukila"-lah yang membuatku kenal dengan Aan. Dalam buku kumpulan cerita itu, aku melihat ada percik-percik mahakarya. Aku akan bilang bahwa buku yang kusesali karena keraguanku ini merupakan salah satu mahakaryanya.

Dari buku ini pulalah aku belajar membaca puisi. Sedikit-sedikit aku mulai tahu slahnya. Bahwa membaca puisi itu bukan seperti membaca cerita; kau harus mengosongkan pikiranmu. Jauh-jauhlah dari keriuhan. Jauh-jauhlah dari musik berlirik dan segala macam obrolan. Lalu baca. Baca saja. Dan kau akan merasakan setiap kata—pun bait—dari puisi-puisi di dalamnya begitu menyentilsetidaknya berlaku pada buku ini.

Sebagai pamungkas, aku mengapresiasi karya kolaborasi ini. Sang penyair dan sang fotografer sama-sama membuat "Tidak Ada New York Hari Ini" menjadi begitu penting, terutama bagi jiwa. Terlepas dari kebutuhan untuk film atau apalah-apalah, terlepas dari terbawa arus atau apalah-apalah, buku ini harus dibaca setiap manusia agar lebih merasa dan lebih peka. Terima kasih Aan dan Mo Riza.

Karena aku membacanya digital dan terdapat fitur corat-coret layar dalam geraiku, kulampirkan entah-apa-namanya-ini-pokoknya-ini. Mungkin ini sesuatu yang disebut pengingat. Cobalah. Dan mungkin kau akan merasakan hal yang sama denganku.


Puisi Tidak Menyelamatkan Apa Pun

5 komentar :

  1. wooooo, baguuus ya puisi-puisinya kak.
    Aku bukan penikmat puisi, tapi kayaknya aku bakal mulai suka deh setelah lihat cuplikan Tidak Ada New York Hari Ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan ekspektasi apa pun deh untuk baca buku ini. Pasti berakhir dengan "bahagia" (pakai tanda kutip).

      Hapus
  2. Makin gak sabar pengen segera baca buku ini

    BalasHapus
  3. Itu namanya puisi bebas, memang rima dan bait tidak pasti . Kalau yang tertaut oleh jumlah baris, bait dan rima itu jenis puisi lama meski puisi modern masih tetap banyak di pakai

    BalasHapus