Sampul |
Pengarang : Andina Dwifatma
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2013
Dibaca : 16 Oktober 2015
Rating : ★★★★
Tahun : 2013
Dibaca : 16 Oktober 2015
Rating : ★★★★
Malam itu di kamar hotel di Solo, Mas Yudhi masuk dan melihat buku ini tergeletak di meja di samping tempat tidur. Dia bertanya siapa yang sedang membacanya dan aku menjawab bahwa akulah yang sedang membacanya. Mas Yudhi bilang sudah membacanya tetapi tertahan pada 50 halaman awal lalu meninggalkan buku ini begitu saja. Aku samar-samar ingat dia bilang bahwa buku ini beralur lambat dan alasan lain yang aku lupa detailnya. Aku mengiakan, memang.
Gadis itu mendapatkan dua lembar surat dengan nama penerima dirinya. Satu surat dari universitas swasta tentang pendaftaran mahasiswa baru. Satu lagi surat beramplop cokelat tanpa nama pengirim. Surat yang isinya datang dari seseorang yang tak pernah diingat oleh gadis itu. Surat yang memintanya mengunjungi seseorang itu di kota S. Surat yang dalam beberapa bulan ke depan akan mengubah hidup gadis itu.
Paragraf yang rapat dengan diksi yang 'kaya' dan detail mengantarku menelusuri halaman demi halaman buku ini. Membuatku kesusahan untuk menyelesaikan buku yang seharusnya bisa kubaca dalam sehari karena tebalnya tak seberapa. Aku diajak menelusuri pikiran-pikiran liar si gadis yang skeptis dan tak acuh. Pengaruh sang ayah yang telah meninggalkannya sedari kecil dan ibunya yang sibuk bekerja sebagai dokter membuatnya menjadi anak yang tak pedulian dan selalu menyendiri.
Pembangunan karakter pun dimunculkan ketika si gadis mengikuti saran lembaran surat itu untuk pergi menemui seseorang di kota S. Dia menjadi punya secercah harapan. Setelah beberapa minggu tinggal di kota S, gadis itu bertemu dengan seseorang bernama Muara. Lelaki yang membuatnya lebih terbuka. Lama-kelamaan gadis itu menyukai Muara dan juga sebaliknya, hingga ia hilang keperawanannya karena berahi yang menggebu.
Tiba-tiba penulis seenaknya mengubah karakter gadis itu ketika ia bertemu dengan ikan mas koki raksasa yang bisa bicara—memang ada sedikit fantasi di sini. Entah apa maksudnya memunculkan tokoh ini, tapi yang jelas sungguh merusak pandangan si gadis tentang harapan. Ikan mas koki yang berbisik untuk melakukan hal keji. Ikan mas koki yang menyerahkan senjata agar si gadis dapat melukai seseorang hingga ia mendekam di sel tahanan.
Tiga keadaan si gadis dari suram, ceria, kemudian suram lagi membuatku menebak-nebak bagaimana akhir kisah ini. Bagaimana tidak, si gadis yang baru 17 tahun telah menerima keadaan yang sedemikian berat. Depresi, rasa takut, hilang harapan, menjadi kata kunci. Tapi apalah daya si pembaca dibandingkan sang penulis, aku dibuat ternganga bahagia ketika membaca tiga halaman terkahir. Sungguh tak sesuai tebakanku. Dan aku mengacungkan jempol untuk ini.
Hal yang mengganggu adalah bagaimana buku bersudut pandang orang pertama ini membuat karakter si gadis anonim. Tetapi lucunya, selalu ada slot untuk penyebutan namanya. Contoh pada satu kalimat langsung: "... (namaku), kau sudah berbohong selama ini." (hal. 216) Tidak usah saja memberikan kalimat langsung yang mengharuskan menyebutkan nama. Sungguh dipaksakan.
Terlepas dari itu, buku ini layak menjadi jawara karena tema yang diangkat begitu dalam. Walaupun, jujur, aku terkantuk-kantuk membacanya, aku dibikin penasaran dengan bagaimana si gadis mengakhiri kisahnya. Dan pada akhirnya, aku tersenyum bahagia karena gadis itu sudah melewatkan semusim kisah pilunya, dan akan melanjutkan semusim, dan semusim lagi untuk kisah bahagianya.
Baca ulasan Pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta lainnya:
Saman (1998)
Kambing dan Hujan (2014)
***
Gadis itu mendapatkan dua lembar surat dengan nama penerima dirinya. Satu surat dari universitas swasta tentang pendaftaran mahasiswa baru. Satu lagi surat beramplop cokelat tanpa nama pengirim. Surat yang isinya datang dari seseorang yang tak pernah diingat oleh gadis itu. Surat yang memintanya mengunjungi seseorang itu di kota S. Surat yang dalam beberapa bulan ke depan akan mengubah hidup gadis itu.
***
Paragraf yang rapat dengan diksi yang 'kaya' dan detail mengantarku menelusuri halaman demi halaman buku ini. Membuatku kesusahan untuk menyelesaikan buku yang seharusnya bisa kubaca dalam sehari karena tebalnya tak seberapa. Aku diajak menelusuri pikiran-pikiran liar si gadis yang skeptis dan tak acuh. Pengaruh sang ayah yang telah meninggalkannya sedari kecil dan ibunya yang sibuk bekerja sebagai dokter membuatnya menjadi anak yang tak pedulian dan selalu menyendiri.
Pembangunan karakter pun dimunculkan ketika si gadis mengikuti saran lembaran surat itu untuk pergi menemui seseorang di kota S. Dia menjadi punya secercah harapan. Setelah beberapa minggu tinggal di kota S, gadis itu bertemu dengan seseorang bernama Muara. Lelaki yang membuatnya lebih terbuka. Lama-kelamaan gadis itu menyukai Muara dan juga sebaliknya, hingga ia hilang keperawanannya karena berahi yang menggebu.
Tiba-tiba penulis seenaknya mengubah karakter gadis itu ketika ia bertemu dengan ikan mas koki raksasa yang bisa bicara—memang ada sedikit fantasi di sini. Entah apa maksudnya memunculkan tokoh ini, tapi yang jelas sungguh merusak pandangan si gadis tentang harapan. Ikan mas koki yang berbisik untuk melakukan hal keji. Ikan mas koki yang menyerahkan senjata agar si gadis dapat melukai seseorang hingga ia mendekam di sel tahanan.
Tiga keadaan si gadis dari suram, ceria, kemudian suram lagi membuatku menebak-nebak bagaimana akhir kisah ini. Bagaimana tidak, si gadis yang baru 17 tahun telah menerima keadaan yang sedemikian berat. Depresi, rasa takut, hilang harapan, menjadi kata kunci. Tapi apalah daya si pembaca dibandingkan sang penulis, aku dibuat ternganga bahagia ketika membaca tiga halaman terkahir. Sungguh tak sesuai tebakanku. Dan aku mengacungkan jempol untuk ini.
***
Hal yang mengganggu adalah bagaimana buku bersudut pandang orang pertama ini membuat karakter si gadis anonim. Tetapi lucunya, selalu ada slot untuk penyebutan namanya. Contoh pada satu kalimat langsung: "... (namaku), kau sudah berbohong selama ini." (hal. 216) Tidak usah saja memberikan kalimat langsung yang mengharuskan menyebutkan nama. Sungguh dipaksakan.
Terlepas dari itu, buku ini layak menjadi jawara karena tema yang diangkat begitu dalam. Walaupun, jujur, aku terkantuk-kantuk membacanya, aku dibikin penasaran dengan bagaimana si gadis mengakhiri kisahnya. Dan pada akhirnya, aku tersenyum bahagia karena gadis itu sudah melewatkan semusim kisah pilunya, dan akan melanjutkan semusim, dan semusim lagi untuk kisah bahagianya.
"Aku merasa semusim paling berat dalam hidupku telah terlewati, dan aku siap untuk musim selanjutnya. Lalu mungkin semusim, dan semusim lagi..." (hal. 230)
Baca ulasan Pemenang Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta lainnya:
Saman (1998)
Kambing dan Hujan (2014)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar