Sampul |
Pengarang : D. Wijaya
Penerbit : Ice Cube
Tahun : 2015
Dibaca : 11 Oktober 2015
Rating : ★★★★
Tahun : 2015
Dibaca : 11 Oktober 2015
Rating : ★★★★
Seri YARN termasuk seri fenomenal pada 2015 ini. Pada awal-awal terbit, aku kira bakal cuma 3-5 buku saja yang diterbitkan--selain sebagai pemenang juga supaya lebih eksklusif. Akan tetapi semakin ke sini, semakin banyak saja yang diterbitkan; kalau tidak salah ada lebih dari 10 buku seri YARN. Dan buntungnya, aku baru membaca 2 buku seri ini: Remedy dan Above the Stars. Itu berarti aku baru baca kurang dari sepuluh persen seri ini.
Will dan Danny pertama kali bertemu di kelas. Will selalu berpindah-pindah sekolah karena kelakuan nakalnya. Dia sudah ditinggal mati ibunya dan ayahnya tidak begitu memperhatikannya. Mungkin hal ini yang menyebabkan dia selalu mencari perhatian, walaupun caranya salah. Dan Will memiliki rahasia yang apabila diberitahukan kepada orang lain, akan membuat citranya hancur.
Danny buta—oh maaf—tidak bisa melihat. Dia selalu bersama Mia, sahabat sedari kecilnya, untuk pergi dan pulang ke dan dari sekolah. Mia selalu menjaganya, layaknya kakak perempuan yang protektif dan menganggapnya seperti guci mahal yang harus dirawat tanpa cela. Danny sebenarnya tidak menyukai hal ini, membuatnya seperti seorang yang tanpa daya dan selalu membutuhkan bantuan orang lain. Danny bertemu dengan Will dan mengenal lebih dekat satu sama lain. Pada akhirnya, Danny mengetahui rahasia Will; rahasia yang sulit untuk diterima, rahasia yang akan mengubah hidup keduanya.
Satu hal saja yang mengganggu dari buku ini adalah Danny. Bagaimana dia bisa belajar di sekolah bersama anak-anak normal lainnya? Bukankah dia memiliki "kelebihan" dan kebutuhannya pun khusus? Adakah sekolah yang repot-repot membuatkan buku teks pelajaran dengan huruf braille hanya untuk satu murid saja? Bayangkan dia berada di kelas praktikum dan harus meneliti warna berbagai cairan senyawa untuk berhipotesis dan membuat kesimpulan. Aku sudah mengira-ngira sanggahannya: kalau dia tidak bersekolah di sekolah normal, dia tidak akan bertemu dengan Will. Agak sedikit dipaksakan, menurutku.
Terlepas dari gangguan yang dijelaskan di atas, aku tahu aku bakal suka dengan buku ini—lebih tepatnya buku-buku yang bertema seperti ini. Aku hanya melihat bahwa cinta itu anugerah yang harus dipertahankan dan disampaikan; bukan disimpan. Aku yakin bila rasa itu didiamkan, malah akan menambah borok di dalam dirinya. Dan hal ini harus terlaksana, terlepas dari siapa dengan siapa yang saling berhubungan. Ini bukan bentuk persetujuan, ini hanya bentuk abstrak dari arti cinta yang diberikan-Nya. Kok malah ngelantur?
Walaupun memang mengangkat tema homoseksual yang masih dianggap tabu bagi kebanyakan orang, buku ini bisa jadi angin segar sebagai khazanah literatur Indonesia dalam bahasa yang ringan. Walaupun konflik dan penyelesaiannya masih yang itu-itu saja, kerealitasan pada buku ini benar-benar terasa. Tahukah kalau buku yang bagus adalah buku yang membuat pembaca bersimpati pada tokoh di dalamnya? Buku ini salah satunya.
Fiksi lokal rasa interlokal. Teman saya yang sudah membaca buku ini, Daniel, bilang bahwa sedikit kekurangan pada buku ini adalah latar luar negerinya yang kurang digambarkan. Memang aku setuju. Tapi mungkin kalau diberikan kelonggaran tebal halaman, aku yakin penulis bisa mengatasinya. Jadi, tidak masalah untuk buku seukuran kurang dari 250 halaman.
Jangan lupakan bahasa bakunya! Tidak ada satu kata pun pada buku ini yang menggunakan kata: "nggak", "ngapain", dan kata tidak baku lainnya. Seperti buku terjemahan! Dan aku lebih suka yang seperti ini. Kita diminta belajar untuk menjunjung tinggi bahasa persatuan, tapi kenapa malah diajak berbahasa tidak baku yang notabene bahasa kita sehari-hari?
Tentang buku ini mencontek atau termasuk plagiarisme, aku sungguh prihatin bila benar. Tapi bukankah ide datang dari mencontek? Bahkan Austin Kleon menulis "Steal Like an Artist" yang, kasarnya, berisi cara cerdik mencuri karya orang lain. Ada juga pendapat bahwa suatu ide dan gagasan di masa sekarang adalah buah dari ide dan gagasan yang tersimpan di masa lampau. Tapi dengan imajinasi dan kreatifitas tiap individu yang berbeda, membuat ide dan gagasan itu terlihat baru dan berbeda. Yah, intinya, berimajinasilah dan berkreasilah!
Ulasan ini untuk tantangan Young Adult Reading Challenge 2015.
***
Will dan Danny pertama kali bertemu di kelas. Will selalu berpindah-pindah sekolah karena kelakuan nakalnya. Dia sudah ditinggal mati ibunya dan ayahnya tidak begitu memperhatikannya. Mungkin hal ini yang menyebabkan dia selalu mencari perhatian, walaupun caranya salah. Dan Will memiliki rahasia yang apabila diberitahukan kepada orang lain, akan membuat citranya hancur.
Danny buta—oh maaf—tidak bisa melihat. Dia selalu bersama Mia, sahabat sedari kecilnya, untuk pergi dan pulang ke dan dari sekolah. Mia selalu menjaganya, layaknya kakak perempuan yang protektif dan menganggapnya seperti guci mahal yang harus dirawat tanpa cela. Danny sebenarnya tidak menyukai hal ini, membuatnya seperti seorang yang tanpa daya dan selalu membutuhkan bantuan orang lain. Danny bertemu dengan Will dan mengenal lebih dekat satu sama lain. Pada akhirnya, Danny mengetahui rahasia Will; rahasia yang sulit untuk diterima, rahasia yang akan mengubah hidup keduanya.
***
Satu hal saja yang mengganggu dari buku ini adalah Danny. Bagaimana dia bisa belajar di sekolah bersama anak-anak normal lainnya? Bukankah dia memiliki "kelebihan" dan kebutuhannya pun khusus? Adakah sekolah yang repot-repot membuatkan buku teks pelajaran dengan huruf braille hanya untuk satu murid saja? Bayangkan dia berada di kelas praktikum dan harus meneliti warna berbagai cairan senyawa untuk berhipotesis dan membuat kesimpulan. Aku sudah mengira-ngira sanggahannya: kalau dia tidak bersekolah di sekolah normal, dia tidak akan bertemu dengan Will. Agak sedikit dipaksakan, menurutku.
Terlepas dari gangguan yang dijelaskan di atas, aku tahu aku bakal suka dengan buku ini—lebih tepatnya buku-buku yang bertema seperti ini. Aku hanya melihat bahwa cinta itu anugerah yang harus dipertahankan dan disampaikan; bukan disimpan. Aku yakin bila rasa itu didiamkan, malah akan menambah borok di dalam dirinya. Dan hal ini harus terlaksana, terlepas dari siapa dengan siapa yang saling berhubungan. Ini bukan bentuk persetujuan, ini hanya bentuk abstrak dari arti cinta yang diberikan-Nya. Kok malah ngelantur?
Walaupun memang mengangkat tema homoseksual yang masih dianggap tabu bagi kebanyakan orang, buku ini bisa jadi angin segar sebagai khazanah literatur Indonesia dalam bahasa yang ringan. Walaupun konflik dan penyelesaiannya masih yang itu-itu saja, kerealitasan pada buku ini benar-benar terasa. Tahukah kalau buku yang bagus adalah buku yang membuat pembaca bersimpati pada tokoh di dalamnya? Buku ini salah satunya.
Fiksi lokal rasa interlokal. Teman saya yang sudah membaca buku ini, Daniel, bilang bahwa sedikit kekurangan pada buku ini adalah latar luar negerinya yang kurang digambarkan. Memang aku setuju. Tapi mungkin kalau diberikan kelonggaran tebal halaman, aku yakin penulis bisa mengatasinya. Jadi, tidak masalah untuk buku seukuran kurang dari 250 halaman.
Jangan lupakan bahasa bakunya! Tidak ada satu kata pun pada buku ini yang menggunakan kata: "nggak", "ngapain", dan kata tidak baku lainnya. Seperti buku terjemahan! Dan aku lebih suka yang seperti ini. Kita diminta belajar untuk menjunjung tinggi bahasa persatuan, tapi kenapa malah diajak berbahasa tidak baku yang notabene bahasa kita sehari-hari?
Steal Like an Artist (2010) |
Ulasan ini untuk tantangan Young Adult Reading Challenge 2015.
"Nanti, saat aku pergi, aku tidak ingin menjadi bintang. Bintang pasti jatuh. Bintang pasti meledak. Aku ingin pergi ke suatu tempat di atas bintang-bintang. Agar aku bisa terus mengamatimu dari atas. Tanpa jatuh. Tanpa meledak." (hal. 225-226)
Sudah umum kok Raaf di luar sana, anak buta bersekolah di sekolah reguler.
BalasHapusIseng nyari di internet, nemu ini: https://nfb.org/images/nfb/publications/fr/fr22/fr06sum13.htm
"Today about 85 percent of all blind children attend public schools."
waow. good to know, kang! terima kasih.
HapusHai, hai, Raafi. Trims ulasannya. Aku suka gambar "Steal Like An Artist"-nya omong-omong. ;)
BalasHapussama-sama. kutunggu karya selanjutnya ;)
Hapusaku mau baca bukunya Austin Kleon #salahfokus
BalasHapussebenernya, aku juga belum baca bukunya. tapi teorinya udah ada di mana-mana :D
Hapus