Judul : Pulang
Pengarang : Leila S. Chudori
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun : 2012
Dibaca : 15 Maret 2014
Rating : ★★★★★
Sebelumnya, Sudah aku bilang kalau novel fiksi-sejarah memiliki nafsunya sendiri; punya gayanya sendiri hingga pembaca dibawa hanyut dalam keindahan masa-masa lalu di suatu tempat dengan segala masalah atau solusi yang sudah termaktub di masa itu. Begitu juga dengan novel ini; yang telah membuat air mataku mengalir karena akhir cerita yang ... emm ....
Bedanya novel ini dengan
novel fiksi-sejarah lain yang sudah (baru sedikit) aku baca adalah novel ini
bagai benar-benar hidup dan sejarah itu persis terjadi seperti tercerita di
novel ini. Ya. Novel ini berlatar di dua sejarah besar di Indonesia: 30
September 1965 dan Mei 1998; satu sejarah yang mungkin juga besar di Perancis
sana: Mei 1968.
“Tak terasa kami sudah berada di depan arena proyek Monumen Nasional yang masih berantakan karena belum selesai dibangun. Aku sendiri tak tahu kapan monumen ini akan selesai.” (hal. 42)
Sangat kental dengan
nuansa pada jaman itu, dengan penggambaran latar yang begitu dalam dan terasa
nyata. Selain itu, karakter tokohnya kuat, jadi kita serasa mengenal
tokoh-tokoh tersebut secara mendalam. Dimas Suryo, Lintang Utara, dan Segara
Alam.
***
Ceritanya sangat panjang
dan rumit. Tapi seperti itulah novel. Dimulai dari seorang lelaki berumur
dua-puluh tahunan yang hidup di tahun 1968 bernama Dimas Suryo. Seorang yang
tidak memilih ideologi yang sangat penting pada waktu itu. Dia menceritakan
dirinya bisa sampai di Paris. Bagaimana kehidupan dia sebelumnya. Bagaimana
kisah ketika dia masih di bangku kuliah dan bercinta monyet dengan Surti.
Bagaimana dia menjadi tahanan politik (tapol) yang luntang-lantung pergi dari
satu negara ke negara lainnya. Bagaimana kehidupannya setelah itu di Paris
bersama gadis cantik asli negeri Eiffel bernama Vivienne. Dan bagaimana dia
bisa hidup di kota mode dunia itu. Ah, sepertinya hidup Dimas begitu pelik.
Paris That Day! |
“Tentu saja bukan eksil politik jika tidak ada gangguan sehari-hari. Paspor dicabut, berpindah negara, berpindah kota, berubah pekerjaan, berubah keluarga...segalanya terjadi tanpa rencana. Semua terjadi sembari kami terengah-engah berburu identitas seperti ruh yang mengejar-ngejar tubuhnya sendiri.” (hal. 122)
Di bagian kedua, setelah
berganti generasi, anak Dimas Suryo, Lintang Utara mengutarakan ceritanya.
Dengan gagasan dosennya untuk membuat tugas akhir film dokumenter tentang
sejarah Indonesia, membawa Lintang pergi ke negeri yang baru pertama kali ia
pijak, I.N.D.O.N.E.S.I.A. Bagaimana pergulatan batin seorang anak dari
eks-tapol yang tak boleh kembali ke Tanah Air membuat ceritanya semakin
menegangkan. Bagaimana Lintang bisa mencapai Indonesia dengan embel-embel
“Suryo” di belakang namanya?
Jakarta, 1998 |
***
Aku tahu... Aku tahu...
Ulasan ini sedikit berantakan, saking bagusnya cerita, aku hampir ingin
menuangkan semuanya di ulasan ini. Tapi itu tidak etis. Jadi, bacalah! Aku
sangat ingin kalian tahu tentang sejarah Indonesia dari sisi eks-tapol
berdekade-dekade lalu. Aku yakin dan itu pasti, penulis sudah melakukan riset
dan bertanya kepada banyak narasumber supaya novel ini tidak asal-asalan dalam
bercerita. Karena ceritanya memang seperti fakta yang ada. Bukankah bangsa yang
besar adalah yang menghargai sejarah?
Tentu saja ini tetap
novel. Ada drama dan kisah cinta yang begitu menggairahkan sehingga kita
terbawa nafsu untuk terus mengakhirinya. Selain itu juga banyak cerita
pewayangan dan sastra klasik. Tokoh pewayangan Bima dan Ekalaya menjadi bahan
utama yang merepresentasikan seorang Dimas Suryo. Dan berbagai puisi dan syair
juga termaktub di dalamnya. Lengkap!
“Dimas, ingatkah kau pembicaraan kita tentang suatu ‘gelembung kosong’ di dalam kita, yang diisi hanya oleh kau dan Dia, untuk sebuah Persatuan antara kita dan Dia yang tak bisa diganggu oleh apa pun barang seusapan. Inilah saat yang tepat untukmu untuk melihat sepetak kecil dalam tubuhmu itu. Sendirian. Berbincang, jika kau ingin. Atau diam, jika kau ingin. Dia mendengarkan. Selalu mendengarkan.” - Moh. Amir Jayadi (hal. 251)
***
Glosarium:
Flâneur, sepatu kasual (French).
Borjuasi, golongan
masyarakat yg penghasilannya melebihi penghasilan rata-rata rakyat biasa;
golongan menengah ke atas.
Camaraderie, persahabatan
(English).
Virtuous, berbudi luhur
(English).
ingin pulang ke mana kau raf?
BalasHapusPulang ke haribaan-Nya
HapusHalo, kebetulan saya lagi melintang di bagian Lintang Utara lho, baca resensi ini jadi tahu bakal ada bagian selanjutnya hehehe :) saya setuju dengan opini: "saking bagusnya cerita, aku hampir ingin menuangkan semuanya di ulasan ini." Memang ceritanya apik tenan sih, baru baca halaman pertama saja langsung pengin baca yang selanjutnya, walaupun topiknya berat, tapi saya sangat suka dng gaya bahasa Leila S. Chudori dalam membuat permainan diksi dalam sebuah kalimat menjadi sangat unik dan tak pernah dijumpai selanjutnya.
BalasHapusResensi yang bagus :)
Ya. Aku setuju! Awalnya aku juga beranggapan novel ini bakal kayak novel lainnya yang mendayu-dayu dalam pembawaan diksi. Apalagi melihat penulisnya perempuan, yang aku selalu beranggapan kalau penulis perempuan itu lebih ke emosi dan ego serta perasaan yang ditonjolkan. Dan itu sungguh membosankan.
HapusTerima kasih, sekali lagi. Baca resensi yang lain juga ya. Hehehe.
One of the best Indonesian book i've ever read! Baca berkali-kali pun nggak bosan. Terlalu banyak kalimat menarik dalam buku ini.
BalasHapus