08 Agustus 2015

Malam Terakhir

Sampul
Judul : Malam Terakhir
Pengarang : Leila S. Chudori
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun : 2012
Dibaca : 6 Agustus 2015
Rating : ★★★★

Setelah "Pulang" yang membuatku kesengsem dengan gaya bercerita Leila, aku coba membaca kumpulan cerpennya dengan buku ini. Sembilan cerpen masuk dalam buku cetak ulang ini; cetakan pertama terbit pada 2009. Hampir kesemuanya ditulis Leila sejak tahun 80-an, hanya satu cerpen yang ditulisnya pada 1996. Cerita-ceritanya begitu menggugah, bahkan indah. Serius. Aku akan memberikan detailnya.

***

Paris, Juni 1988 (3/5)

Bercerita tentang seorang wanita yang sedang berkunjung ke Paris pada masa itu. Dia mencari penginapan di sana bagai mencari jarum dalam jerami. Dia menemukan penginapan yang tidak layak huni. Parahnya lagi dia bersebelahan kamar dengan Marc yang memperkenalkan dirinya sebagai seniman. Anehnya wanita itu sering mendengar hal-hal aneh dalam kamarnya. Hingga suatu saat, wanita itu menggebrak pintu kamar Marc.

Sederhana. Mungkin Leila ingin menyampaikan bahwa kebebasan setiap makhluk itu berbeda. Ada yang mencap kamar adalah batas kebebasannya. Lebih banyak orang mencap kamar adalah ruang sempit yang harus dibebaskan. Keluar dan cari kebebasan. Aku menangkapnya seperti itu.

"Kamu tahu... Ada sesuatu dalam hati, satu sekat ruang yang tak bisa dimiliki siapa-siapa barang seusapanpun?" (hal. 13)
-------

Adila (5/5)

Cerita pendek terfavorit yang pernah kubaca. Paling sempurna. Bercerita tentang seorang gadis bernama Adila yang memiliki tekanan batin. Tokoh-tokoh fiksi dari dunia buku yang dibacanya kerap muncul dan memberinya masukan atas apa yang harus dipilihnya. Dan pilihannya dua: bertahan dengan bentakan ibunya yang tak henti atau menyudahinya selamanya.

Kata Baygon muncul di awal cerita. Tanpa ada ekspektasi apa pun, Baygon terus muncul hingga akhir cerita. Dan berkat Baygon-lah aku mengelu-elukan cerpen ini.

"Ursula, aku tak mengerti kenapa aku lahir untuk harus selalu menjadi bayang-banyang ibuku. Semua tindakan dan pemikiran yang lahir dari diriku selalu salah. Karena itu, aku merasa, kamar mandi ini adalah tempat yang menyenangkan. Bak kamar mandi, gayung, odol, sabun, air, dan bahkan taik di dalam jamban itu tak akan berteriak-teriak sekalipun aku ingin telanjang selama lima jam. Mereka semua memahami dan mentolerir keganjilanku..." (hal. 21)
-------

Air Suci Sita (3/5)

Aku sedikit gagal paham dengan yang ini. Hal terakhir yang aku tangkap dari cerita ini adalah tentang kesetiaan. Bagaimana seseorang ditinggal lama oleh sang kekasih dan masih tetap menunggunya. Kini sering disebut long distance relationship (LDR). Tapi dengan gaya bahasa kerajaan yang santun dan kaku, malah membuatku pening untuk mencari intisari cerita.

-------

Sehelai Pakaian Hitam (4/5)

Seorang bernama besar memang selalu memiliki dua sisi kehidupan. Satu digunakan untuk menghadapi orang lain dan dunia luar, satu lagi untuk menghadapi bagian dari diri sendiri yang dikenalinya. Biasanya mereka berseberangan.

Seseorang yang selalu mengenakan pakaian putih sangat ingin mengenakan pakaian hitam sesekali. Karena tuntutan nama besar itulah Hamdani menjadi idola. Hingga pada akhirnya ia menyerah; ia sangat ingin mengenakan pakaian hitam.

"Aku didikte oleh masyarakat untuk berbicara dan menulis apa yang ingin mereka baca dan dengar. Mereka telanjur melihatku sebagai sebuah sosok, tokoh, idola, atau sebutan apapun yang memberikan beban luar biasa." (hal. 56)
-------

Untuk Bapak (3/5)

Dituturkan dengan gaya seorang anak yang sedang berdialog dengan bapaknya. Anak yang mengenang ketika sang bapak menembang bahkan menceritakan dongeng wayang untuknya. Juga ketika berada di pengadilan sang bapak. Anak bercerita tentang keyakinan dan juga kepemilikan. Bagaimana sang bapak menjadi orang yang taat hingga ajal menjelangnya.

"Kau pernah mengatakan bahwa antara Tuhan dan umatnya ada rasa saling memiliki. Namun, menurutmu, hubungan antara orangtua dan anak, suami-istri, bukanlah hubungan kepemilikan mutlak. Ada hal-hal yang begitu halus, lembut, dan sangat pribadi pada setiap diri manusia yang tak dapat diganggu sesentuhanpun oleh manusia lain." (hal. 68)
-------

Keats (4/5)

Keats diambil dari John Keats, seorang penyair Inggris awal abad ke-19. Dari petikan sajak "Tentang Mati"-nya yang berbunyi: "Dan walau hidup serba sengsara, namun masih saja setia di jalannya yang keras", Leila menghubung-hubungkannya dengan pilihan Tami untuk pulang kampung. Tami sudah lama tidak pulang. Ia hanya risau jika keluarganya menuntut yang tidak sesuai dengan keinginannya, hingga Tami memutuskan pilihannya sendiri.

"Saya kira Tuhan punya maksud tertentu untuk memutuskan saya menjadi manusia. Bukan malaikat. Dan saya tetap akan menjadi manusia di muka siapapun. Saya merasa berhak penuh untuk mencari kenikmatan jasmani dan spiritual dengan cara saya..." (hal. 79)
John Keats (1795-1821)
-------

Ilona (4/5)

Ilona alias Ona sudah memiliki anak sekarang. Anaknya sedang memijiti ayahnya hingga sang ayah mengenang ketika Ona masih SMA. Pilihan Ona-lah yang membuat ayahnya mengenang kembali. Saat-saat sulit di mana pilihan yang sangat jarang dipilih dan diterima masyarakat itu benar-benar dipilih Ona. Hingga suatu saat Ona bilang ia tak akan mau menikah.

"Rasa sepi itu selalu menyerang setiap orang yang menikah maupun yang tidak menikah. Barangkali rasa sepi akan terasa lebih perih bagi mereka yang mengalami kegagalan dalam perkawinan. Mereka terbiasa berbagi, lalu mereka terpaksa menjadi sendiri." (hal. 90-91)
-------

Sepasang Mata Menatap Rain (4/5)

Tak ada yang menyangka bahwa si cerdas ini belum mencapai usia 5 tahun, bahkan orangtuanya. Rain selalu ingin pergi di akhir pekan. Dan hari Minggu ini dia ingin ke toko buku. Kejadian itu terjadi di lampu merah. Mata bocah berumur sekitar tujuh atau delapan tahun menatap langsung pada Rain. Dan kejadian itu menampar hati dan pikiran kedua orangtuanya.

R: Matanya... Matanya...

B: Kenapa sih matanya...? Sejak tadi kau meributkan matanya...

R: Matanya menangis, tapi tidak ada air matanya... Itu pasti karena dia sudah kehabisan air mata, karena dia sudah lelah menangis. (hal. 104)
-------

Malam Terakhir (4/5)

Inilah klimaksnya. Ditaruh di akhir bagian supaya pembaca sepertiku tergiang-ngiang akan ceritanya. Bagaimana tidak? Cerita tentang kekejian dan kegetiran yang dialami mahasiswa yang dibui setelah membakar kereta api. Mereka akan menjemput ajal di hadapan umum besok dan malam ini adalah malam terakhir mereka.

Ironisnya, sebagian orang menanti-nanti hari esok, ingin tahu wajah para biang onar yang akan menebus kesalahan mereka. Dan aku diingatkan pada memasyarakatkan masyarakat. Ketika ada yang tidak sesuai, musnahkan. Ketika semua baik-baik saja, biarkan. Semacam itu.

"Tapi, Papa, tak mungkin manusia yang kompleks ini disederhanakan menjadi satu garis yang linier. Jangankan masyarakat kita, di dalam rumah ini pun ternyata antara engkau dan aku terdapat hubungan 'engkau' dan 'aku'. Aku belum tentu sama dengan Papa..." (hal. 112)
***

Akumulasi rating sebagai berikut:
(3 + 5 + 3 + 4 + 3 + 4 + 4 + 4 + 4) / 9 = 3,78 dibulatkan ke atas menjadi 4.

Ulasan ini untuk tantangan 100 Hari Membaca Sastra Indonesia.

Baca juga: Pulang

Tidak ada komentar :

Posting Komentar