Edited by Me |
Aku masih SMP. Kala itu, jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh. Aku harus berjalan kaki sekitar 5-10 menit untuk sampai di alun-alun kecamatan. Aku harus menunggu bus tanggung atau angkot yang kadang-kadang butuh 15 menit lalu menempuh waktu 15-20 menit untuk sampai di sekolah. Beberapa teman yang rumahnya berdekatan menggunakan sepeda motor ke dan dari sekolah tapi aku terlalu mandiri untuk berangkat dan pulang bersama mereka. Suatu hari—lupa apa penyebabnya—aku terpaksa harus pulang petang. Ponsel masih belum zaman. Aku tidak memberi tahu ibuku bahwa aku akan pulang terlambat. Aku ingat hari menjelang gelap. Azan magrib berkumandang. Beberapa puluh meter dari rumah, aku melihat ibu dan adikku berdiri di jalan depan rumah. Mereka menungguku. Saat sudah dekat, ibuku bilang bahwa ia mengkhawatirkanku. Aku yakin hari itulah pertama kalinya aku pulang hampir malam.
Aku lahir dan besar dari keluarga yang mayoritas laki-laki—ayahku, aku, dan dua adikku. Ibuku satu-satunya perempuan. Aku sempat berharap adik bungsuku perempuan tapi ternyata laki-laki. Aku bertanya-tanya apakah ibuku punya harapan yang sama. Lalu, bertanya-tanya apa yang akan beliau lakukan jika anak perempuannya mengalami hal yang sama denganku di atas. Bagaimana jika anak perempuannya pulang menjelang malam tanpa ada kabar apa pun? Ibuku mungkin akan meminta salah seorang kerabat yang memiliki sepeda motor untuk menjemputnya. Mungkinkah beliau akan memarahinya karena tidak memberi info apa pun dan sudah membuatnya khawatir? Bisa jadi akan lebih berlebihan. Aku bertanya-tanya apakah ibuku akan bersikap lebih keras atau lebih lemah lembut jika salah satu anaknya adalah perempuan.
Judul Asli : 82년생 김지영 (Kim Ji-young, Born 1982)
Pengarang : Cho Nam-joo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2019
Dibaca : 26 November 2019
Kim Ji-young adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya perempuan dan adiknya laki-laki. Ayahnya seorang pegawai negeri dan ibunya seorang ibu rumah tangga. Sebagai kakak dari seorang adik, Kim Ji-young sudah diajarkan untuk mengalah. Membiarkan adiknya makan lebih banyak, menyiapkan bekal makan siang untuk adiknya, dan berbagai tugas-tugas kakak untuk adik yang sadar atau tidak sadar menjadi rutinitas hariannya. Saat itu, Kim Ji-young belum paham bahwa adiknya lebih diistimewakan dari dirinya dan kakaknya. Nenek dari ayah Kim Ji-young memang tinggal bersama mereka tapi terlihat sekali bahwa sang nenek amat menyayangi cucu laki-lakinya ketimbang cucu perempuannya. Kim Ji-young kerap sembunyi-sembunyi makan susu bubuk milik adiknya agar tidak ketahuan neneknya. Karena bila ketahuan, ia akan dimarahi.
Bertahun-tahun berlalu dan Kim Ji-young sudah memiliki buah hati perempuan yang cantik dan menggemaskan dan memiliki suami bernama Jeong Dae-hyeon yang berusaha keras memahaminya. Pada suatu hari, Kim Ji-young berbicara kepada Jeong Dae-hyeon dengan kata-kata yang mirip sekali dengan ibunya. Jeong Dae-hyeon merasa keheranan dan melontarkan gurauan sebagai respons. Hanya saja, keanehan-keanehan berikutnya terjadi pada Kim JI-young. Apa yang sebetulnya terjadi sampai-sampai sang suami tak lagi mengenali sang istri?
***
Aku tahu buku ini sejak Oktober ketika editor akuisisi sebuah penerbit memberi tahu bakal ada terjemahan dari “Kim Ji-young, Born 1982” karya Cho Nam-joo yang juga akan rilis pada November ini. Beberapa waktu kemudian, aku melakukan wawancara singkat dengannya dan bertanya kenapa menerbitkan buku ini. Jawabannya: tema feminisme dan perempuan jadi salah satu tujuan pemilihan buku-buku terjemahan dua tahun belakangan ini. Aku kemudian mencari tahu apa isi buku ini dan isu feminisme seperti apa yang diangkat olehnya. Melakukannya tidak sulit. Beberapa media Korea terutama yang berbahasa Inggris sudah mengangkat topik tentang buku ini yang kemudian aku rangkum dan tuliskan menjadi artikel yang tayang di Gramedia Blog. Salah satu bagian yang masih terngiang di kepalaku adalah adanya proyek crowdfunding dari kaum pria Korea Selatan untuk membuat buku tandingan dengan judul “Kim Ji-hoon, Born 1990”. Are you kidding me?
Mungkin mayoritas orang melihat Korea Selatan sebagai negara hiburan dengan berjibun budaya K-pop dan drama Korea-nya. Itu tentu hanya apa yang terlihat di permukaan saja—yang kerap disorot saja. Korea Selatan juga punya beragam problem. Salah satu yang paling krusial adalah budaya patriarki yang masih mandarah daging. Dan itu digambarkan secara naratif dan gamblang dalam “Kim Ji-young, Born 1982” karya Cho Nam-joo ini. Bagaikan bilah pisau bermata dua, buku ini tidak hanya kisah fiksi kehidupan Kim Ji-young dari kecil sampai dewasa yang terimpit patriarki. Secara lihai, buku ini juga menyelipkan fakta dan data seputar perempuan pada setiap narasi yang berhubungan. Hal tersebut ditandai dengan catatan kaki sumber yang bisa ditelusuri kalau mau. Salah satunya adalah angka 29,6% jumlah perempuan yang diterima bekerja di lebih dari 100 perusahaan besar pada 2005 (halaman 94). Aku merasa yakin bahwa menjadi perempuan itu sulit dan menjadi laki-laki itu privilese.
Berdebar-debar, menyakitkan, menggelisahkan. Itulah tiga kata yang mewakili perasaanku saat membaca buku ini. Aku tahu kisah Kim Ji-young dan keluarganya itu menyedihkan dan menyesakkan tetapi aku tidak menangis. Cho Nam-joo terlihat begitu paham tentang apa yang dirasakan oleh perempuan yang hidup di tengah-tengah konstruksi patriarki. Namun, ia juga begitu hati-hati dalam menyampaikan kisah Kim Ji-young sehingga terasa natural dan masuk akal untuk dibaca semua orang termasuk kaum laki-laki—setidaknya aku merasakannya. Namun, betapa pun seorang perempuan menulis kisah dengan tokoh seorang perempuan pasti ada bagian atau detail yang tidak dipahami pembaca laki-laki—dan itu pun aku rasakan. Yah, perempuan dan laki-laki memang diciptakan berbeda. Hanya saja, konstruksi sosial dan stigma membuat pembedanya semakin parah. Perempuan harus tekun, rapi, penuh kasih sayang. Laki-laki harus kuat, rajin bekerja, melindungi. Konstruksi seperti itu disebut dengan gender. Dan mereka yang feminis berpedoman bahwa sex (berpenis dan bervagina) berbeda dengan gender (konstruksi sosial dan stigma pria dan wanita).
Aku bukan feminis. Terlepas dari istilah sex dan gender, aku percaya bahwa memang laki-laki dan perempuan diciptakan berbeda. Namun setelah baca “Kim Ji-young, Born 1982”, kepercayaanku menjadi kekhawatiran karena aku yakin bahwa menjadi laki-laki lebih memiliki privilese ketimbang menjadi perempuan. Berikut beberapa poin pendukung yang disarikan dari buku ini.
1. Pekerja. Jumlah laki-laki lebih banyak ketimbang perempuan di perusahaan dan gaji pekerja laki-laki lebih besar daripada pekerja perempuan.
2. Kecerdasan. Perempuan tidak boleh lebih pintar dan cerdas ketimbang laki-laki karena ia akan menakutkan dan bersifat intimidatif yang mana bukan sifat perempuan pada umumnya.
3. Dominasi. Laki-laki memegang kendali atas keputusan keluarga dan perempuan hanya bisa memberi saran dan peringatan yang kadang direspons sekenanya oleh laki-laki. Itu baru di lingkup keluarga.
4. Lelucon. Laki-laki bisa menciptakan lelucon tentang perempuan dan menyampaikannya di depan perempuan tetapi perempuan tidak bisa melakukan hal sebaliknya karena dianggap tidak pantas.
5. Mata-mata. Laki-laki menaruh kamera tersembunyi di ruang pribadi perempuan seperti toilet dan menggunakannya untuk hal-hal yang tidak menyenangkan perempuan. Sekalinya ketahuan, laki-laki akan meminta perempuan untuk bungkam.
Sumber Gambar: Variety.com |
Setelah menyelesaikan bukunya, aku begitu menggebu-gebu untuk segera menonton adaptasi filmnya gubahan Kim Do-young. Aku memiliki ekspektasi yang lumayan lantaran pemain filmnya adalah artis terkenal Korea: Gong Yoo dan Jung Yu-mi. Aku sudah tahu bahwa buku dan film adalah dua medium berbeda dan seperti yang sudah kuduga—jalan ceritanya sedikit berbeda. Setidaknya, aku tetap merasakan debar-debar, gelisah, dan sesak serupa saat aku membaca bukunya. Ada satu adegan yang membuatku menitikan air mata sampai sesenggukan dan itu sungguh-sungguh memukau. Hanya saja, aku berharap ada adegan burberry man saat Kim Ji-young SMP yang aku pikir itu krusial dan itu tidak ditampilkan dalam film. Setidaknya, filmnya menghibur—akhirannya menyelamatkan dan menginspirasi.
Akhir kata, aku bakal bilang buku ini penting—terutama untuk dibaca laki-laki. Walaupun kamu sudah menonton filmnya, tidak sah rasanya kalau tidak membaca bukunya. Sekali lagi, ini bukan hanya tentang kelengkapan kisah hidup Kim Ji-young dalam buku yang mengakibatkan dirinya punya “keanehan” seperti itu. Ini juga tentang fakta dan data yang Cho Nam-joo sertakan dalam kisah Kim Ji-young dalam buku—dan itu, sekali lagi, penting untuk diketahui. Seperti yang kutulis singkat dalam kolom ulasan Goodreads: kisah Kim Ji-young tidak hanya tentang perempuan di Korea Selatan, tetapi juga tentang perempuan-perempuan di Asia atau bahkan di seluruh dunia. Selama budaya patriarki itu masih terjaga, selama stigma tentang perempuan dan laki-laki tetap ada, perempuan akan tetap menjadi orang nomor dua. Karena menjadi perempuan itu sulit dan menjadi laki-laki adalah privilese.
Membaca resensi buku ini jadi merasa perlu untuk membacanya juga. Sesaat setelah membaca blog ini saya cek jadwal film di biskop di kota saya dan kok belum ada film ini. Bertambah penasaran untuk visualisasinya, sebab ada yang bilang kalau di film lebih dramatis dibandingkan di buku walau di buku lebih detail.
BalasHapusTerima kasih sudah luangkan waktu untuk baca ulasan ini. Sempatkan baca atau nonton filmnya ya!
HapusUntuk poin nomor empat, aku pernah dibercandai teman perempuan dengan cara menyentil puting susuku. Mereka menganggap itu sebagai candaan. Namun ketika aku ingin melakukan bercandaan yang sama ke mereka, mereka tidak mengizinkan dan mengatakan itu tidak pantas.
BalasHapusPertanyaannya: apa pasal membalas perlakuan yang sama ke perempuan? Kenapa tidak sampaikan kalau kamu tidak suka dengan hal itu?
HapusTentu saja sudah kusampaikan, tetapi mereka mengabaikannya. :)
Hapus