Edited by Me |
Bila ditanya apakah Dee Lestari adalah salah satu pengarang favoritku, secara kilat kujawab iya. Namun, itu jawaban bersyarat. Berbeda dengan karya-karya fantasi Rick Riordan atau karya-karya-karya puisi Theoresia Rumthe dan Weslly Johannes yang kubaca hampir semua sehingga aku bisa menobatkan mereka sebagai pengaang favorit, aku luluh dan menjadikan Dee Lestari sebagai pengarang favorit hanya dengan membaca “Aroma Karsa”. Awalnya, melihat buku setebal lebih dari 700 halaman itu sudah bikin ketakutan dan bertanya-tanya apakah aku bisa menyelesaikannya. Namun, malam pertama memegang kopinya, aku sudah menghabiskan setidaknya sepertiga bagian buku. Aku begitu terlena. Saking sukanya, aku—yang jarang membaca buku nonfiksi—memutuskan untuk membaca buku “Di Balik Tirai Aroma Karsa” yang berisi pengalaman Dee Lestari dalam meriset dan menciptakan kisah “Aroma Karsa” serta petuah-petuahnya sebagai penulis profesional selama 17 tahun.
Tahun : 2019
Dibaca : 4 Oktober 2019
“Riset perlu dilakukan penulis bukan sebagai pengganti kekuatannya bercerita, melainkan untuk memperkuat cerita yang ditulisnya.” (hlm. 65)
Kutipan di atas sepertinya serius, tapi memang begitulah isi buku ini. Dibuka dengan alasan dan inspirasi awal membuat karya fiksi bertemakan aroma, Dee Lestari kemudian menjabarkan tentang proses kreatif dari Aroma Karsa dalam buku ini. Perjalanan risetnyalah yang membuat pembaca Aroma Karsa ingin tahu dan itu dijabarkan secara naratif dalam buku ini. Pengalamannya pergi ke kursus meracik parfum di Singapura dan ke tempat pembuangan akhir (TPA) Bantar Gebang di Bekasi, bertemu dengan kolektor anggrek dan pebalap profesional, hingga berziarah sejarah ke rumah juru kunci Gunung Lawu. Selain itu, Dee juga bercerita tentang kisahnya berkolaborasi dengan dua editor, perancang dan ilustrator sampul, serta orang-orang yang ingin membantu pemasaran karyanya.
Pertanyaannya, apa yang diharapkan dari sebuah buku nonfiksi yang dibuat oleh pengarang fiksi? Jawabannya: kisah di balik proses kreatif karya fiksinya. Dan kita tidak bisa meremehkan Dee Lestari. Sebagaimana dia begitu lihai menulis fiksi dari adegan ke adegan sehingga membuat pembaca tersihir untuk mengikuti jalan cerita buatannya, Dee juga melakukan hal yang sama dengan karya nonfiksi pertamanya ini. Dia tidak hanya menceritakan pengalamannya dengan gaya naratif yang bikin penasaran, “Di Balik Tirai Aroma Karsa” juga memberikan penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul pasca membaca “Aroma Karsa”. Saking detailnya, aku yang membaca “Aroma Karsa” setahun sebelumnya sedikit tidak mengerti dengan apa yang dijabarkan Dee—malah ingin membaca ulang kisah Jati Wesi dan Tanaya Suma.
Yang unik dari buku ini adalah penyertaan fanart buatan pembaca dari tokoh-tokoh dalam “Aroma Karsa”. Selain itu, buku ini juga menyelipkan contoh-contoh suntingan ke dalamnya—yang perlu dibaca oleh para editor tapi sepertinya akan dilewatkan begitu saja bagi penikmat “Aroma Karsa”. Dan itulah yang mau kubahas lebih lanjut dari buku ini: tidak hanya untuk pembaca yang begitu gandrung dengan “Aroma Karsa” dan ingin mengetahui proses kreatif di balik penciptaannya. Seperti paket lengkap, buku ini juga ditujukan untuk penulis dan penyunting. Bagaimana bisa? Biar aku kupas masing-masing peruntukannya.
1. Di Balik Tirai Aroma Karsa untuk Pembaca
“Menulis ‘Aroma Karsa’ juga menghidupkan sekian banyak kenangan olfaktori, yang ketika teraktivasi, ikut memicu berbagai kenangan peristiwa dan perasaan. Koleksi aroma di memori masa kecil saya terangkat ke permukaan seperti endapan di dasar laut yang terempas arus kencang. Kesimpulan indra penciuman sebagai jendela memori terkuat bukan sekadar teori.” (hlm. 12)
Sudah barang tentu sebuah buku diciptakan untuk dinikmati oleh pembaca. Aku yakin mereka yang membaca “Aroma Karsa” lalu melanjutkannya dengan “Di Balik Tirai Aroma Karsa” akan merasa puas dan bahagia. Alasannya sudah diterangkan sebagian di atas. Namun, bagiku sebagai pembaca, yang paling memikat adalah awalan buku ini yang menjelaskan tentang indra penciuman yang jarang dibahas dalam sebuah karya fiksi, terutama lokal (koreksi aku bila salah). Dee menulis pentingnya indra penciuman untuk suku-suku yang tersebar di seluruh dunia. Dee juga menempelkan beberapa referensi bacaan soal indra penciuman sekalian dengan jawabannya atas pertanyaan apakah “Aroma Karsa” terinspirasi dari novel klasik “Perfume” karya Patrick Süskind. “Di Balik Tirai Aroma Karsa” memang untuk pembaca.
2. Di Balik Tirai Aroma Karsa untuk Penulis
“Karakter adalah mimik dari manusia dalam kehidupan nyata, tetapi telah dikurasi sedemikian rupa sehingga sifat, kebiasaan, tendensi, dan fisiknya, punya tujuan serta fungsi spesifik bagi cerita. Jadikan karakter kita semanusia mungkin, sekaligus sedramatis mungkin.” (hlm. 129)
Sebagai penulis pemula, penting rasanya untuk mendengar kisah para penulis tersohor yang sudah menerbitkan banyak buku—apalagi yang bukunya laris manis. Dee mengakomodasi hal itu dalam buku ini. Dengan pengalamannya sebagai penulis yang sudah menerbitkan lebih dari lima buku laris manis yang beberapa di antaranya juga sudah dialihwahanakan menjadi film layar lebar, Dee berbaik hati membeberkan kiat-kiat menulisnya. Ada beberapa kata kunci tentang kepenulisan secara umum yang diberikan Dee: tekanan yang diperlukan, peta dinamis, momen trampolin, orkestra fiksi. Dee juga menjelaskan pembuatan karakter dalam “Aroma Karsa” sehingga bisa memikat pembaca. Semua itu ada di dalam “Di Balik Tirai Aroma Karsa” yang juga untuk penulis.
3. Di Balik Tirai Aroma Karsa untuk Penyunting
“’Editor seharusnya tak mudah terkesan, apalagi terbuai dan larut dalam jalan cerita. Semua itu akan membuatnya kurang awas melihat naskah,’ begitu kata Pak Mula.” (hlm. 284)
Bagian yang ini mungkin terlihat aneh. Dee bukan penyunting atau editor, tentu saja. Namun, Dee merasa penting untuk membagikan pengalamannya saat berhubungan dengan dua editor: Windy Ariestanty dari Bookslife (penerbit digital “Aroma Karsa”) dan Dhewiberta dari Bentang Pustaka (penerbit fisik “Aroma Karsa”). Dalam buku ini, ia bilang merasa repot karena alih-alih mmeriksa satu hasil suntingan, ia harus memeriksa dua sekaligus menyelaraskannya. Dan hasilnya bisa dibuktikan sendiri. Dee juga bercerita tentang pertemuannya dengan mendiang Mula Harahap yang merupakan editor senior. Dan kutipan di atas adalah petuah dari Pak Mula kepada Dee yang juga disertakan dalam buku ini. “Di Balik Tirai Aroma Karsa” juga untuk penyunting.
***
Sebetulnya buku ini juga patut dibaca oleh ilustrator, desainer buku, staf penjualan buku, dan orang-orang yang berkecimpung di industri penerbitan buku. Dee memang menceritakan secara lengkap terciptanya “Aroma Karsa”: dari awal inspirasi, proses penerbitan buku ini yang dibagi menjadi dua versi, hingga bagaimana ia memasarkannya. Namun, mayoritas isi yang paling kentara dari buku ini adalah untuk tiga bidang profesi di atas (yah, kecuali kalau kamu berpendapat kalau pembaca bukanlah profesi). Aku tentu beruntung karena menyempatkan baca buku penting ini. Oh, satu elemen lain yang membuat buku ini penting: bagian 9 dengan judul “Akhir dan Masa Depan ‘Aroma Karsa’”. Mungkin kamu bisa menemukan jawaban singkat di sebuah situs web. Namun di buku ini, kamu akan menemukan alasan yang cukup meredakan kobaran nafsu menikmati kisah lanjutan Jati Wesi dan Tanaya Suma.
Baca juga: Menghidu Aroma Karsa
Saya malah belum selesai membaca buku Aroma Karsa dan menyerah. Ada yang nggak singkron saja dengan rasa saya. Hahaha. Mungkin bakal saya coba lagi di lain waktu.
BalasHapus