"Dengan ini saya menyatakan akan selalu memuja puisi-puisi TR dan WJ."
ujarku tahun lalu
usai tuntaskan buku
Cara-Cara Tidak Kreatif untuk Mencintai
tahun ini,
keduanya muncul lagi
alih-alih bersekutu,
mereka punya satu-satu
tiada lagi peraduan kata
tiada lagi selang-seling rasa
mulai lagi bagai awal jumpa
punya WJ biru malam sanding yuwana ungu
punya TR merah-oranye petang nan semu
milik WJ perihal rasa
melankolis dan melena
milik TR tentang dilema
kritis dan mengena
bagai helai kain
keduanya saling jalin
yang satu berbahaya
satu lagi penuh daya
***
Puisi di atas aku dedikasikan kepada Theoresia Rumthe (kemudian kusebut TR) dan Weslly Johannes (kemudian kusebut WJ) setelah membaca buku terbaru mereka. Sebagai seorang yang gandrung dengan puisi-puisi TR dan WJ, membaca “Selamat Datang, Bulan” dan “Bahaya-Bahaya yang Indah” menjadi sebuah kewajiban. Aku sempat sedih karena keduanya tidak lagi membuat buku bersama-sama—tak lagi mencampurkan puisi-puisi mereka seperti dua buku duet mereka sebelumnya. Namun, kalau “Tempat Paling Liar di Muka Bumi” dan “Cara-Cara Tidak Kreatif untuk Mencintai” warna nila, puisi-puisi TR dalam “Selamat Datang, Bulan” adalah merah magenta dan puisi-puisi WJ dalam “Bahaya-Bahaya yang indah” adalah biru cyan. Masing-masing punya ciri khas sendiri, tapi bercampur pun membentuk karakter yang berbeda.
Penulis : Theoresia Rumthe
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2019
Dibaca : 23 September 2019
Mari mulai dengan “Selamat Datang, Bulan”. Judul tersebut diambil dari salah satu puisi yang ada di dalam buku ini. Karakternya terlihat dari puisi-puisinya yang tanpa huruf kapital tapi masih tetap menggunakan tanda baca seperti titik, koma, dan tanda seru. Bait-bait dengan cetak miring pun masih bertebaran. Puisi-puisinya pendek dengan pemilihan kata yang lugas tanpa basa-basi. Yang paling menarik, tema-tema yang diangkat dalam puisi-puisi TR mengandung berbagai macam isu seperti agama, sosial, politik, dan tentu saja perempuan. Aku tidak pernah melihat isu ini diangkat dalam dua buku puisi gabungan TR dan WJ, mungkin karena tema yang diangkat di keduanya memang tidak memungkinkan untuk membahas isu-isu tersebut.
Salah satu puisi singkat TR dalam “Selamat Datang, Bulan” adalah “Ibu Kota” pada halaman 44 yang menceritakan ibu kota yang baru saja menyelenggarakan pilkada dan dipenuhi—mengutip dari puisinya--“sampah kata-kata”. Pada halaman 48 terdapat puisi singkat “Nasihat Akhir Tahun”. Puisi itu menceritakan “perempuan berbaju mini // diperkosa di bus mini” dan setelah masih media massa yaitu koran dan televisi. Namun, “katanya salah baju mini”. Puisi diakhiri dengan hardikan keras yang menganalogikan otak seperti terasi. Kedua puisi tersebut mewakili mayoritas puisi-puisi TR dalam buku ini yang padat isu, berisi, dan tanpa tedeng aling-aling. Beberapa puisi lainnya berbicara tentang cinta dan beberapa yang lainnya lagi terasa tidak terlalu otentik.
Penulis : Weslly Johannes
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2019
Dibaca : 23 September 2019
Berbeda dengan TR yang mengambil sebuah judul puisi menjadi judul bukunya, WJ mengambil judul “Bahaya-Bahaya yang Indah” entah dari mana alias tidak ada satu pun judul puisi dalam buku yang sama dengan judul bukunya. Selama menikmati puisi di dalamnya, pertanyaan tentang dari mana “Bahaya-Bahaya yang Indah” itu berasal terngiang dalam benak. Sampai seusai membacanya, aku berhenti sejenak dan merenung akan puisi-puisi yang tersaji. Aku punya teori bahwa bahaya-bahaya itu terletak dari puisi-puisi di sana yang dipenuhi perasaan-perasaan tentang cinta yang perlu diantisipasi: jatuh cinta, patah hati, memaafkan, menerima. Aku tidak pasti tentang itu, tapi after taste-nya membuatku berkesimpulan begitu.
Terimalah
Selalu ada peti untuk semua cerita. Meski tak selalu sanggup kau-
makamkan, sebab ada yang tetap di situ, tak pernah berubah walau
sudah kautimbun dengan ribuan kali lupa
Di atas adalah bait pertama puisi “Sesudah Hatimu Dipatahkan” pada halaman 103. Dilihat dari situ, WJ adalah penyair sejati. Puisi-puisi di dalam “Bahaya-Bahaya yang Indah” benar-benar puitis dengan kata-kata yang indah, dalam, dan memiliki banyak makna serta tafsir. Beberapa puisinya panjang-panjang bagai cerita amat pendek, beberapa yang lainnya sulit untuk dipahami dalam satu kali baca. Kamu mungkin akan mengutip beberapa puisinya untuk kamu berikan ke pasangan/calon pasangan/mantanmu dan mereka akan berpikir secara mendalam atas arti puisi-puisi itu. Oh, aku amat merekomendasikan hal itu! Dan keindahan itulah yang sepertinya WJ harapkan akan puisi-puisinya—untuk disebarluaskan, untuk diberikan kepada orang yang tepat, atau sekadar untuk direnungi.
***
Lihat, betapa perpisahan ini sungguh baik untuk TR dan WJ! Mereka jadi bisa mengeksplorasi gaya dan karakter puisinya masing-masing tanpa perlu berkiblat pada tema yang sama atau sekadar sahut-sahutan yang seirama—sebagaimana yang kerap terjadi pada dua buku duet mereka sebelumnya. Dengan perpisahan ini pula akhirnya TR dan WJ punya buku tunggal sendiri-sendiri. Dan perlu diingat, walaupun mereka berpisah, “Selamat Datang, Bulan” dan “Bahaya-Bahaya yang Indah” masih bersama-sama: setidaknya dalam tanggal rilis mereka yang serentak dan nuansa sampul buku yang senada.
Biasanya aku bisa dengan mudah memilih puisi terfavorit dalam sebuah buku kumpulan puisi atau cerpen terfavorit dalam sebuah buku kumpulan cerpen. Untuk yang dua ini sepertinya aku mendapati kesulitan. Pada akhirnya, seperti kata-kata pertama yang kuucapkan pada puisi yang kuciptakan di atas: aku masih memuja puisi-puisi TR dan WJ.
Baca juga:
Ulasan Buku: Cara-Cara Tidak Kreatif untuk Mencintai
Pantai, Tempat Paling Liarku di Muka Bumi
Baca juga:
Ulasan Buku: Cara-Cara Tidak Kreatif untuk Mencintai
Pantai, Tempat Paling Liarku di Muka Bumi
Tidak ada komentar :
Posting Komentar