03 September 2019

Ulasan Buku: Flowers over the Bench + Tiga Tanya Tentangmu

Judul : Flowers over the Bench
Penulis: Gyanindra Ali
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2019
Dibaca : 1 Agustus 2019
Rating : ★

Seperti biasa, Indra duduk sendirian di sebuah bangku. Setidaknya seminggu dua kali bangku itu menjadi teman Indra selepas berlari mengelilingi taman yang kerap disinggahi untuk orang-orang yang berminat akan kebugaran mereka. Bangku itu sedikit tersembunyi, berada di balik pohon besar nan rindang yang konon ditunggui oleh makhluk halus entah apa. Cerita-cerita mistis berseliweran mengenai pohon itu yang merembet ke bangku yang jarang diduduki itu. Saat orang-orang menjauhi area itu karena takut akan akibat yang akan timbul dari cerita simpang-siur itu, Indra dengan senang hati mendekatinya karena jarang yang melewati area itu. Layaknya preman pangkalan yang punya kawasan, Indra bagai punya bangku itu untuk dirinya sendiri.

Indra sudah nyaman dengan kesendiriannya. Tiada orang yang mau mendekatinya dan tidak ada keinginan dirinya untuk mendekati orang lain. Berinteraksi dengan orang lain sebatas dengan teman kantor atau dengan orang asing yang menyapanya duluan di pinggir jalan. Ia kerap suka melakukan apa pun seorang diri; jalan-jalan di mal, menonton film di bioskop, berkaraoke, sampai melakukan operasi usus buntu. Berlari seorang diri di taman dan duduk untuk mengaso di bangku kebesarannya adalah hal yang paling tidak perlu ia khawatirkan.

Namun, sore itu berbeda. Saat Indra susah-payah mengatur napas setelah lima kilometer berlari di bangku kebesaran, seorang perempuan tiba-tiba duduk di sampingnya. Sama seperti Indra, perempuan itu juga memakai penyuara telinga nirkabel. Hanya saja, tak lama, perempuan itu melepas benda kecil dari kedua telinganya, mencolek Indra, dan bertanya, “Suka lari di sini juga?” Awalnya, pertanyaan basa-basi itu dijawab Indra dengan biasa saja—selayaknya merespons pertanyaan-pertanyaan orang asing lain yang memulai percakapan dengannya. Namun, Indra merasa aneh ketika percakapannya dengan perempuan itu berlangsung terus-menerus. Perasaan anehnya membuncah saat ia mengucapkan namanya dan perempuan itu juga melakukan hal yang sama. Ia bahkan mau saja bertukar nomor kontak dengan perempuan yang memperkenalkan dirinya dengan nama Nadine.

Saat itu Indra tahu ada secercah cahaya yang akan menuntunnya dan Nadine. Cahaya yang akan membawa mereka bersama-sama. Sekilas Indra menengok ke samping bangku dan melihat sekuntum bunga liar yang merah mekar. Bunga itu tak pernah dilihat Indra sebelumnya. Mungkin tanaman bunga itu memang sudah ada di sana sejak lama. Atau mungkin tanaman bunga itu sengaja semesta hadirkan untuk jiwa menemukan sesuatu yang dipikirnya tak akan pernah ia temukan.

***

Mungkin kamu bingung setelah membaca cerita di atas. Itu cerita amat pendek yang kubuat sebagai alih wahana dari sebuah puisi berjudul “Flowers over the Bench” karya Gyanindra Ali dalam bukunya yang berjudul sama. Dua kalimat yang hadir pada bait terakhir dalam puisi itu berbunyi: “We watched the day pulled the night and I was happier than I had ever been. For I knew I had found something that I thought I would never find.” Rasakan betapa eloknya kata-kata yang terangkai dalam dua kalimat itu! Aku pikir aku jatuh cinta dengan puisi yang satu ini. Maka dari itulah aku sengaja membuat cerita amat pendek itu. Dengan mengalihwahanakannya, kuharap pesan yang termaktub dalam puisi itu bisa tersampaikan melalui apa yang kutuliskan di atas.

Sejujurnya, aku kesulitan mengulas buku yang bertemakan cinta dan buku ini amat kental akan hal itu. Buku puisi berbahasa Inggris ini terbagi atas tiga bagian: Spring, Fall, dan Extras. Bagian Spring dikhususkan untuk puisi-puisi dengan rasa yang membahagiakan bagai bunga-bunga yang bermekaran kala musim semi. Sebaliknya, bagian Fall menyelami rasa yang kelam dengan puisi-puisi tentang perpisahan, patah hati, dan arti-arti cinta yang salah. Sedangkan bagian Extras berisikan puisi-puisi yang tidak begitu berkaitan dengan Spring atau Fall.


Your Artist (Spring)

Let me be your artist
and let me sculpt your heart
to fit into mine.

Calm down and don’t resist
and let my fingers start
to make us intertwine.


So-Called Love (Fall)

Your so-called love chained the essence of me;
All of my dreams and ambitions are locked
Just to satisfy all of your romantic fantasies.


Coba tebak apa kelebihan dari kedua puisi di atas! Mereka memiliki rima dalam setiap baitnya dan tetap terdengar indah. Bila tidak diberi tahu bahwa penulisnya bukan seorang Indonesia, mungkin aku akan menebak bahwa kedua puisi di atas dibuat oleh seseorang yang bahasa ibunya adalah bahasa Inggris. Aku sudah membaca beberapa buku puisi berbahasa Inggris yang dikarang oleh penulis Indonesia. Bisa dibilang, Gyanindra berada di atas rata-rata untuk menuliskan puisi dalam bahasa Inggris. Dan aku masih bisa menikmati tanpa perlu mengernyitkan dahi karena keanehan tata bahasa dan/atau diksi yang digunakan.

Di sisi lain, pembagian kumpulan puisi berdasarkan rasa di atas terasa membosankan. Bayangkan jika kamu sedang makan permen dan kamu terus disuguhi permen. Rasa manisnya pasti bikin giung. Aku malah lebih suka bagian Fall ketimbang Spring karena bentuk-bentuk kekelaman puisinya lebih beragam.

Omong-omong, buku ini kudapatkan langsung dari penulisnya. Aku dihubungi oleh Gyanindra melalui surel yang menawarkanku untuk membaca dan mengulas buku barunya ini. Responsku adalah aku akan dengan senang hati membacanya tapi tidak janji untuk mengulasnya. Hanya saja, setelah membacanya, aku merasa buku ini sangat sayang untuk tidak dibuatkan ulasannya. Aku juga bertanya pada Gyanindra apakah dia bersedia untuk masuk ke sesi Tiga Tanya Tentangmu. Dan dia tidak menolak. Jadi, berikut adalah Tiga Tanya Tentangmu bersama Gyanindra Ali.

Edited by Me

Tiga Tanya Tentangmu bersama Gyanindra Ali

1. Sejak kapan Gyanindra menyukai puisi sampai memulai menciptakan puisi-puisi sendiri?

Saya jatuh cinta pada puisi pada waktu saya berumur 12 tahun, lebih tepatnya setelah saya membaca puisi yang berjudul "On Children" karya Khalil Gibran. Saya sangat suka bagaimana kalimat-kalimat yang dirangkai dengan sedikit kata-kata dapat memainkan emosi saya (atau pembaca lainnya) dengan hebatnya. Tidak jauh setelah itu, saya mulai menulis puisi saya sendiri. Ya, walaupun pada waktu itu puisi-puisi yang saya tidak begitu memainkan emosi, tapi saya sangat suka bermain dengan rima-nya.

2. Ada referensi bacaan untuk memperkaya pemilihan kata-katamu dalam berpuisi? Bagaimana dengan buku-buku favorit?

Banyak referensi yang saya 'gunakan' untuk memperkaya kata-kata saya. Di antaranya ada: Rumi, Lang Leav, Michael Faudet. Biasanya saya juga memperkaya kata-kata dengan cara membaca karya-karya penulis dari Indonesia seperti Joko Pinurbo dan M. Aan Mansyur. Tidak hanya itu, saya juga terinspirasi dari lirik lagu-lagu yang saya suka. Namun, penulis yang saya paling suka dan yang tak pernah gagal menginspirasi saya adalah Pablo Neruda. Karena, menurut saya, dia dapat menyentuh emosi/perasaan yang sering di-overlooked oleh banyak orang. Dia juga dapat menggunakan perumpamaan yang hampir tidak pernah digunakan penulis lain.

Buku puisi favorit saya sampai saat ini adalah "Twenty Love Poems and A Song of Despair" oleh Pablo Neruda. Menurut saya puisi-puisinya mengandung kiasan dan perumpamaan yang unik dan indah. Kata-katanya selalu bisa menginspirasi saya untuk menulis hal-hal baru. Ini adalah buku yang membuat Pablo Neruda menjadi penulis yang paling saya kagumi.

3. Seberapa penting puisi dan apa artinya bagi Gyanindra?

Puisi sangat penting karena bagi saya menulis puisi adalah terapi. Saya bukan orang yang suka menceritakan apa yang saya rasa kepada teman-teman. Jadi, salah satu cara untuk meluapkan rasa yang dipendam adalah dengan menulis puisi.

4 komentar :