Tahun : 2017
Dibaca : 12 September 2017 (via SCOOP)
Rating : ★★★★
Halo! Apa kabar, kawan? Menjadi orang yang punya resolusi dan harus menyesuaikan diri dengan keinginan tersebut sungguh melelahkan ya. Resolusi tahun ini untuk mempos ulasan lebih sering ternyata, bisa dibilang, gagal total. Tapi setidaknya, aku berusaha melakukannya minimal sekali sebulan. Tentu aku tidak menganggap resolusi dan menggenapinya adalah hal yang enteng. Malah aku hampir bertanya-tanya kenapa aku semakin jarang menulis padahal itulah keahlian yang seharusnya lebih banyak diasah. Bagaimana bisa terampil bila tidak dilakukan secara rutin dan kontinu? Lihat betapa hal itu harus dipikirkan. Aku tidak bisa tidak mengindahkan apa saja yang kuhadapi lebih-lebih masalah yang datang. Segalanya harus dipikirkan matang-matang. Rencana hari ini harus benar-benar jelas, harus ditulis di secarik kertas, agar tidak terlewat. Kalau tiba-tiba masalah datang, aku harus memiliki banyak jurus untuk menghadapinya dan menyelesaikannya.
Pandangan diriku yang kaku dan serius ditonjok begitu saja oleh "Belajar Lucu dengan Serius". Dinding kekakuan itu penyok dan membuatku harus cepat-cepat memilih jurus yang tepat untuk memperbaikinya. Itu yang seharusnya kulakukan. Tapi, dinding penyok itu sedikit demi sedikit kubiarkan. Toh hanya penyok kan? Tidak runtuh seluruhnya. Aku tidak bisa menjadikannya seperti semula. Pun ketika diperbaiki, pasti tidak akan sempurna seperti sedia kala. Aku hanya butuh membiarkannya, menerimanya, dan melanjutkan apa yang seharusnya kukerjakan. Atau bisa saja aku membuatnya lelucon. Atau membuat gambar dari hal penyok itu. Perlu rasanya untuk menertawakan diri sendiri bak Gusdur. Atau "menikmatinya dengan ringan sebagaimana punakawan" seperti yang disampaikan Hasta.
Buku ini berisi kurang lebih 60 puisi yang teramat nyeleneh. Tiada satu pun yang serius dari segi tata bahasa maupun pemahaman maknanya. Hal yang jarang terjadi saat bertemu dengan puisi yang berdiksi tingkat tinggi. Tahukah kamu, bahwa semakin ke sini, aku semakin ingin membaca yang ringan-ringan saja. Membaca puisi dengan makna tersirat yang rumit dan harus membacanya berulang-ulang untuk memahaminya sungguh bukan yang sekarang ini ingin kunikmati. Ada beberapa penyair yang bilang, "baca saja puisinya tanpa memperhatikan makna." Kupikir itu omong kosong belaka karena keindahan puisi terletak pada makna yang tersirat di baliknya. Aku tahu sejak awal buku ini terbit bahwa aku harus membacanya. Dari judulnya saja sudah terkesan nyeleneh. Dan membacanya, ternyata membuatku tidak hanya menikmatinya. Lebih dari itu. Dinding kaku dan serius yang mengadangku sedikit demi sedikit sudah mulai kuabaikan.
Majas personifikasi yang membuat setiap kata sifat atau nomina menjadi begitu hidup adalah hal brilian yang paling menonjol dari buku ini. Yang paling impresif adalah bagaimana Hasta mengorangkan Maaf dalam puisinya yang berjudul "Teman-Teman Maaf" pada halaman 28-29. "Maaf, apakah teman-teman tahu / Ke mana maaf pergi? Apakah pagi / Tadi ia mampir ke rumahmu? / Ke dadamu yang pintunya terbuat / Dari penyesalan dan baja yang keras?" Alih-alih lelucon, personifikasi tersebut membuatnya menjadi begitu gamblang menegur si pembaca karena bila dibaca dengan saksama, bait-bait tersebut menyampaikan maksud tersurat. Bagaimana bisa kamu tahu tentang memaafkan bila "dadamu terbuat dari baja yang keras"?
Masih ada hal brilian lain yang membuatku tercenung, merasakan rekreasi rasa dalam buku ini. Sebuah puisi berjudul "Bagaimana Membaca Puisi Ini?" pada halaman 78 menjadikan buku ini amat tidak serius. "Lawan atau kawan sebagai mereka bahasa dengan / Membahasakanmu orang-orang agar pergilah maka / Salam berucap kita nanti selesai apabila". Terlihat tidak bermakna sampai kamu menemukan pola membacanya. Walaupun tidak butuh waktu lama, aku harus membacanya berulang kali untuk memahami teka-teki yang tertulis dalam puisi itu. Baru kali ini aku mendapati permainan di dalam bait-bait puisi. Begitu main-main.
Hal brilian lain lagi? Perhatikan tweet berikut.
Dalam "Pengiring" yang adalah pengantar penulis di awal buku ini, Hasta memberikan maksud tentang apa yang disebutnya sebagai "mentertawakan kepahitan-kepahitan agar 'merasa sehat'". Ia secara terang-terangan menceritakan bagaimana ia hanya terjaga dan dengan serius menikmati adegan punakawan yang jenaka saat diajak ayahnya menonton wayang kulit. Punakawan yang tokoh-tokohnya jenaka, "kalau ngomong kadang ngelantur, memelesetkan keadaan, terkesan semaunya, ringan menghadapi hidup, dan tiap-tiap masalah dibawa enjoy." Seperti itulah pengaruh yang mengiring Hasta dalam hidupnya, begitu pula dalam karya-karyanya. Hal itulah yang membuatku berpikir. Bahwa hidup seharusnya tidak dibawa kaku dan selalu serius. Bahwa hidup akan terasa lebih santai dan menyenangkan. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana caranya? Aku tidak bisa serta merta menonton pertunjukan wayang dengan adegan punakawan di sela-selanya. Mencari bahan tontonannya saja susah, apalagi menyaksikan punakawan berkelakar.
Terlepas dari itu, "Belajar Lucu dengan Serius" memberikan gambaran konkret bahwa hidup harus seimbang. Jangan terlalu serius. Jangan pula terlalu membawanya enteng. Ini membuatku teringat petuah ibuku, bahwa masalah-masalah pasti akan teratasi bagaimanapun caranya. Tugas kita hanya menjalaninya. Entah kenapa buku yang ringan ini membuatku berpikir bagaimana mengemban kehidupan secara "ringan". Dan semoga aku tidak lagi merasa "lelah" akan segala hal.
Oh ya, buku ini diselipi ilustrasi-ilustrasi Fuad Nurhadi. Begitu pula dengan gambar sampulnya. Saat ingin cari tahu tentang sang ilustrator, aku tidak menemukannya di sudut dunia maya mana pun. Bukunya juga tidak memberikan informasi atau profilnya. Jadi, siapa pun Fuad Nurhadi di sana, tanpa ilustrasimu, rasa "lucu" dan "main-main" dalam buku ini tidak akan utuh.
Aku suka sekali dengan kata-kata Joko Pinurbo yang dicantumkan pada sampul belakang buku ini. Beberapa kata di dalamnya adalah judul-judul puisi karangan Hasta. Coba tebak kata apa saja itu: "Kita ini memang mudah baper menghadapi perkembangan zaman. Kita suka menghibur dan mengagumi diri sendiri dengan selfie, suka kepo dan lebay dalam menanggapi berbagai fenomena, suka cemen menghadapi persoalan, dan gampang dirundung php. Itulah colekan sajak-sajak gokil Hasta Indriyana: parodi mengenai situasi kekinian." Sebagai pemungkas ulasan ini, berikut adalah puisi terfavorit dari buku ini yang terletak pada halaman 58.
Rating : ★★★★
"O, maaf, bagaimana kalian akrab
Dengan maaf? Apakah kalian
Teman-teman maaf?"
—Teman-Teman Maaf (hal. 29)
Halo! Apa kabar, kawan? Menjadi orang yang punya resolusi dan harus menyesuaikan diri dengan keinginan tersebut sungguh melelahkan ya. Resolusi tahun ini untuk mempos ulasan lebih sering ternyata, bisa dibilang, gagal total. Tapi setidaknya, aku berusaha melakukannya minimal sekali sebulan. Tentu aku tidak menganggap resolusi dan menggenapinya adalah hal yang enteng. Malah aku hampir bertanya-tanya kenapa aku semakin jarang menulis padahal itulah keahlian yang seharusnya lebih banyak diasah. Bagaimana bisa terampil bila tidak dilakukan secara rutin dan kontinu? Lihat betapa hal itu harus dipikirkan. Aku tidak bisa tidak mengindahkan apa saja yang kuhadapi lebih-lebih masalah yang datang. Segalanya harus dipikirkan matang-matang. Rencana hari ini harus benar-benar jelas, harus ditulis di secarik kertas, agar tidak terlewat. Kalau tiba-tiba masalah datang, aku harus memiliki banyak jurus untuk menghadapinya dan menyelesaikannya.
Pandangan diriku yang kaku dan serius ditonjok begitu saja oleh "Belajar Lucu dengan Serius". Dinding kekakuan itu penyok dan membuatku harus cepat-cepat memilih jurus yang tepat untuk memperbaikinya. Itu yang seharusnya kulakukan. Tapi, dinding penyok itu sedikit demi sedikit kubiarkan. Toh hanya penyok kan? Tidak runtuh seluruhnya. Aku tidak bisa menjadikannya seperti semula. Pun ketika diperbaiki, pasti tidak akan sempurna seperti sedia kala. Aku hanya butuh membiarkannya, menerimanya, dan melanjutkan apa yang seharusnya kukerjakan. Atau bisa saja aku membuatnya lelucon. Atau membuat gambar dari hal penyok itu. Perlu rasanya untuk menertawakan diri sendiri bak Gusdur. Atau "menikmatinya dengan ringan sebagaimana punakawan" seperti yang disampaikan Hasta.
Buku ini berisi kurang lebih 60 puisi yang teramat nyeleneh. Tiada satu pun yang serius dari segi tata bahasa maupun pemahaman maknanya. Hal yang jarang terjadi saat bertemu dengan puisi yang berdiksi tingkat tinggi. Tahukah kamu, bahwa semakin ke sini, aku semakin ingin membaca yang ringan-ringan saja. Membaca puisi dengan makna tersirat yang rumit dan harus membacanya berulang-ulang untuk memahaminya sungguh bukan yang sekarang ini ingin kunikmati. Ada beberapa penyair yang bilang, "baca saja puisinya tanpa memperhatikan makna." Kupikir itu omong kosong belaka karena keindahan puisi terletak pada makna yang tersirat di baliknya. Aku tahu sejak awal buku ini terbit bahwa aku harus membacanya. Dari judulnya saja sudah terkesan nyeleneh. Dan membacanya, ternyata membuatku tidak hanya menikmatinya. Lebih dari itu. Dinding kaku dan serius yang mengadangku sedikit demi sedikit sudah mulai kuabaikan.
Majas personifikasi yang membuat setiap kata sifat atau nomina menjadi begitu hidup adalah hal brilian yang paling menonjol dari buku ini. Yang paling impresif adalah bagaimana Hasta mengorangkan Maaf dalam puisinya yang berjudul "Teman-Teman Maaf" pada halaman 28-29. "Maaf, apakah teman-teman tahu / Ke mana maaf pergi? Apakah pagi / Tadi ia mampir ke rumahmu? / Ke dadamu yang pintunya terbuat / Dari penyesalan dan baja yang keras?" Alih-alih lelucon, personifikasi tersebut membuatnya menjadi begitu gamblang menegur si pembaca karena bila dibaca dengan saksama, bait-bait tersebut menyampaikan maksud tersurat. Bagaimana bisa kamu tahu tentang memaafkan bila "dadamu terbuat dari baja yang keras"?
Masih ada hal brilian lain yang membuatku tercenung, merasakan rekreasi rasa dalam buku ini. Sebuah puisi berjudul "Bagaimana Membaca Puisi Ini?" pada halaman 78 menjadikan buku ini amat tidak serius. "Lawan atau kawan sebagai mereka bahasa dengan / Membahasakanmu orang-orang agar pergilah maka / Salam berucap kita nanti selesai apabila". Terlihat tidak bermakna sampai kamu menemukan pola membacanya. Walaupun tidak butuh waktu lama, aku harus membacanya berulang kali untuk memahami teka-teki yang tertulis dalam puisi itu. Baru kali ini aku mendapati permainan di dalam bait-bait puisi. Begitu main-main.
Hal brilian lain lagi? Perhatikan tweet berikut.
— Abduraafi Andrian (@raafian) September 12, 2017
***
Dalam "Pengiring" yang adalah pengantar penulis di awal buku ini, Hasta memberikan maksud tentang apa yang disebutnya sebagai "mentertawakan kepahitan-kepahitan agar 'merasa sehat'". Ia secara terang-terangan menceritakan bagaimana ia hanya terjaga dan dengan serius menikmati adegan punakawan yang jenaka saat diajak ayahnya menonton wayang kulit. Punakawan yang tokoh-tokohnya jenaka, "kalau ngomong kadang ngelantur, memelesetkan keadaan, terkesan semaunya, ringan menghadapi hidup, dan tiap-tiap masalah dibawa enjoy." Seperti itulah pengaruh yang mengiring Hasta dalam hidupnya, begitu pula dalam karya-karyanya. Hal itulah yang membuatku berpikir. Bahwa hidup seharusnya tidak dibawa kaku dan selalu serius. Bahwa hidup akan terasa lebih santai dan menyenangkan. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana caranya? Aku tidak bisa serta merta menonton pertunjukan wayang dengan adegan punakawan di sela-selanya. Mencari bahan tontonannya saja susah, apalagi menyaksikan punakawan berkelakar.
"Belajar Lucu dengan Serius" halaman 21 |
Terlepas dari itu, "Belajar Lucu dengan Serius" memberikan gambaran konkret bahwa hidup harus seimbang. Jangan terlalu serius. Jangan pula terlalu membawanya enteng. Ini membuatku teringat petuah ibuku, bahwa masalah-masalah pasti akan teratasi bagaimanapun caranya. Tugas kita hanya menjalaninya. Entah kenapa buku yang ringan ini membuatku berpikir bagaimana mengemban kehidupan secara "ringan". Dan semoga aku tidak lagi merasa "lelah" akan segala hal.
Oh ya, buku ini diselipi ilustrasi-ilustrasi Fuad Nurhadi. Begitu pula dengan gambar sampulnya. Saat ingin cari tahu tentang sang ilustrator, aku tidak menemukannya di sudut dunia maya mana pun. Bukunya juga tidak memberikan informasi atau profilnya. Jadi, siapa pun Fuad Nurhadi di sana, tanpa ilustrasimu, rasa "lucu" dan "main-main" dalam buku ini tidak akan utuh.
Aku suka sekali dengan kata-kata Joko Pinurbo yang dicantumkan pada sampul belakang buku ini. Beberapa kata di dalamnya adalah judul-judul puisi karangan Hasta. Coba tebak kata apa saja itu: "Kita ini memang mudah baper menghadapi perkembangan zaman. Kita suka menghibur dan mengagumi diri sendiri dengan selfie, suka kepo dan lebay dalam menanggapi berbagai fenomena, suka cemen menghadapi persoalan, dan gampang dirundung php. Itulah colekan sajak-sajak gokil Hasta Indriyana: parodi mengenai situasi kekinian." Sebagai pemungkas ulasan ini, berikut adalah puisi terfavorit dari buku ini yang terletak pada halaman 58.
SAJAK TUKANG DERMA
Alhamdulillah, begitu melimpah
Pengemis dan orang-orang papa
Di negeri ini
Jalan ke surga tiba-tiba terasa lebar
Mulus dan terang
Ulasan ini diikutsertakan dalam "Read and Review Challenge 2017" kategori Poetry.
waaaah keren. great note!
BalasHapusTerima kasih, Mbak!
Hapus