Tahun : 2016
Dibaca : 13 Agustus 2016 (via SCOOP)
Rating : ★★★★
Senang, akhirnya membaca buku berkultur Indonesia nan kental seperti buku ini. Tidak ada ekspektasi macam-macam perihal buku yang baru diluncurkan beberapa minggu lalu. Hanya alasan sederhana: ingin membaca fiksi bernuansa lokal yang begitu kurindukan. Mungkin terlalu penat dengan kehidupan kota yang serbacepat. Atau mungkin hanya rindu akan "rindu" yang sudah lama tak kurasakan. Yha~
Rating : ★★★★
"Nduk, anakku, dalam hidup jangan sekali pun kamu menggantungkan diri pada orang lain. Kamu hanya boleh bergantung padaku Dan aku akan berusaha sekuat tenaga agar kita bisa hidup." (hal. 25)
Senang, akhirnya membaca buku berkultur Indonesia nan kental seperti buku ini. Tidak ada ekspektasi macam-macam perihal buku yang baru diluncurkan beberapa minggu lalu. Hanya alasan sederhana: ingin membaca fiksi bernuansa lokal yang begitu kurindukan. Mungkin terlalu penat dengan kehidupan kota yang serbacepat. Atau mungkin hanya rindu akan "rindu" yang sudah lama tak kurasakan. Yha~
***
Genduk gerah dirinya selalu diejek bocah yatim karena sedari kecil ayahnya pergi entah ke mana. Hingga suatu ketika ia begitu naik pitam ketika biyungnya tidak bisa mengabulkan permintaan kecilnya: rok sayak warna oranye ubi jalar seperti yang baru dimiliki oleh Sumiati. Padahal Biyung sudah panen tembakau dan seharusnya sudah mendapatkan uang. Tak dinyana ternyata tembakau panenannya yang diserahkan kepada tengkulak dan tak ada kabarnya lagi.
Pikirannya membuncah. Tidak keruan perasaannya. Ia harus melakukan sesuatu. Ia harus ke Kota Parakan untuk mencari ayahnya. Sedari dulu ia yakin ayahnya masih hidup, tidak seperti ejekan orang-orang kepadanya kalau dia anak yatim. Ia berangkat pagi itu berbekal kantong kresek yang berisi satu lembar baju. Dengan perasaan gundah, ia melangkah menuju kota yang bahkan tak pernah ia jejaki selama hidupnya.
Pikirannya membuncah. Tidak keruan perasaannya. Ia harus melakukan sesuatu. Ia harus ke Kota Parakan untuk mencari ayahnya. Sedari dulu ia yakin ayahnya masih hidup, tidak seperti ejekan orang-orang kepadanya kalau dia anak yatim. Ia berangkat pagi itu berbekal kantong kresek yang berisi satu lembar baju. Dengan perasaan gundah, ia melangkah menuju kota yang bahkan tak pernah ia jejaki selama hidupnya.
***
Teduh. Itulah yang kurasakan saat membuka halaman pertama buku ini. Latar pedesaan yang begitu kental dengan nuansa kesederhanaan keluarga Genduk yang hanya berdua saja dengan biyungnya sangat terasa. Gambaran kebun-kebun tembakau yang tersebar di desa paling dekat dengan puncak Gunung Sindoro menjadi latar yang membuat setiap pembaca rindu kampung halaman.Tembakau
Tembakau. Itulah pundi-pundi kehidupan di lereng Gunung Sindoro. Buku ini memberikan pengetahuan terperinci seputar kehidupan petani tembakau. Musim-musimnya, jenis-jenis panennya, adat yang melingkupinya, hingga polemik yang terjadi yang disebabkan olehnya. Seperti apa yang Genduk dan biyungnya alami, hampir semua petani tembakau di daerah itu menjual hasil panen mereka kepada gaok dan tengkulak. Dalam catatan yang dibuat oleh penulis, ia butuh 4 tahun untuk menyelesaikan buku ini dengan melakukan riset langsung ke petani di Desa Mranggen Kidul, Parakan.
"Mbako srintil ini memang mengundang perhatian. Jangan teperdaya dengan rupanya yang tidak menawan. Hitam pekat, berair, menggumpal seperti tai kebo. Ketika dijemur, tampak dari kejauhan seperti berkilat hitam kebiru-biruan. Inilah emas hitam yang sesungguhnya. Nilai srintil ini luar biasa. Digadang serta diimpikan oleh setiap petani." (hal. 214)
Bahasa daerah yang digunakan pada percakapan-percakapan dalam buku ini memang kental. Hal itu memberikan sentuhan santun nan eksotis pada buku ini. Tidak perlu khawatir bagi pembaca yang tidak mengerti bahasa tersebut. Disediakan glosarium Bahasa Jawa di akhir cerita yang memudahkan pembaca mencari tahu lebih dalam makna setiap kata.
Sebenarnya penulis membuat kisah Genduk karena terinspirasi dari kisah ibunya yang ayahnya meninggal dunia saat berusia tiga tahun. Kerinduan akan sosok sang ayah bahkan sampai pada mimpinya yang terbilang aneh. Kisah tentang seorang anak dan sang ayah memang tak ada habisnya. Aku selalu terbawa perasaan dengan kisah-kisah seputar ayah. Dan buku ini menambah satu lagi referensi bacaan tentang ayah. Kisah kseorang anak mencari sang ayah terlihat sederhana, namun kegigihan yang tercermin pada Genduk akan meluapkan daya juang yang lama tersimpan dalam diri.
"Duit memang bisa membuat siapa saja senang. Nggak tua, nggak muda. Nggak mikir utang dan kebutuhan yang lain, sing penting senang-senang dulu. Tembakau itu barang panas, Nduk. Kalau tidak hati-hati, bisa rusak persaudaraan, rusak tatanan jagat. Iki barang ngeri!" (hal. 100)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar