Judul : Apa Pun selain Hujan
Pengarang : Orizuka
Penerbit : GagasMedia
Tahun : 2016
Dibaca : 27 Agustus 2016
Rating : ★★★
Beberapa waktu lalu aku memantau salah satu akun Twitter penggemar film yang membahas soal ketakutan. Akun tersebut mencoba mengemukakannya dengan badut yang mengerikan dari "It", sebuah mini-seri tahun 1990 dan si admin mengaku trauma dengan badut setelah menontonnya. Lalu ia melempar pertanyaan tentang apa hal yang paling menakutkan bagi followers-nya dan jawabannya sungguh beragam. Ada yang takut dengan kolong tempat tidur sehingga sebisa mungkin ia harus tidur di kasur yang tak berkolong. Lalu, bagaimana dengan mereka yang trauma dengan hujan?
Rating : ★★★
"Sering kali, Wira berharap bisa tinggal di suatu tempat di mana hujan tidak pernah turun." (hal. 19)
Beberapa waktu lalu aku memantau salah satu akun Twitter penggemar film yang membahas soal ketakutan. Akun tersebut mencoba mengemukakannya dengan badut yang mengerikan dari "It", sebuah mini-seri tahun 1990 dan si admin mengaku trauma dengan badut setelah menontonnya. Lalu ia melempar pertanyaan tentang apa hal yang paling menakutkan bagi followers-nya dan jawabannya sungguh beragam. Ada yang takut dengan kolong tempat tidur sehingga sebisa mungkin ia harus tidur di kasur yang tak berkolong. Lalu, bagaimana dengan mereka yang trauma dengan hujan?
***
Adalah Wira, cowok yang sangat takut dengan hujan. Saking takutnya, ia sampai tidak mau memakai payung untuk menerjang hujan. Tentu hal itu beralasan, ia tak pernah lupa pada masa lalu yang dilaluinya kala hujan. Ia melihat sahabatnya, Faiz, yang tak sadarkan diri dibawa mobil ambulans. Bersama Nadine, ia mengejar sia-sia mobil ambulans tersebut bersama hujan yang membasahi dobok-nya dengan kuyup.
Wira tahu ia tidak akan sama lagi setelah kejadian itu. Beberapa waktu setelahnya, ia dan Nadine berjanji untuk tidak lagi mengenakan dobok dan membakar seragam taekwondo mereka berdua. Wira memilih tinggal bersama sang nenek di Malang untuk melanjutkan studinya di Fakultas Teknik Sipil Universitas Brawijaya. Satu hal saja yang ia simpan rapat-rapat: ia meninggalkan Jakarta untuk menghapus masa lalunya. Apakah ia berhasil?
***
Diceritakan dengan sudut pandang ketiga, buku karya penulis yang kubaca ini tidak bisa membuatku berhenti membaca. Plot yang menarik tentang trauma akan hujan menjadi alasan. Walaupun sebenarnya alur ceritanya sedang-sedang saja, aku penasaran dengan bagaimana Wira berdamai dengan dirinya sendiri. Selain itu, gaya penulisannya pun enak dibaca dan beragam. Ada bagian yang bertensi tinggi seperti adegan aksi pertarungan taekwondo, ada pula humor-humor minor yang menetralkan suasana.
Namun sayangnya, aku tidak menyukai dengan dramatisasi yang diusung oleh buku ini. Bolehlah jika itu hal wajar seperti hujan yang anehnya selalu turun ketika Wira sedang jatuh-jatuhnya. Tapi aku muak ketika adegan Wira yang mendekam di kamar dan memeluk kakinya, juga adegan Wira yang berlama-lama dengan ponselnya yang mati dan bimbang beribu bimbang untuk menyalakannya. Aku tahu hal semacam ini penting untuk rasa simpati pembaca kepada sang tokoh. Tapi, Wira ini cowok! Bukan, ini bukan seksis. Hanya kurang masuk akal. Andai saja penulis lebih mengerti tentang perilaku-perilaku cowok.
Lalu tentang sudut pandang orang ketiga serba tahu yang dipilih buku ini. Aku tidak masalah dengan sudut pandang orang ketiga asal jelas siapa yang akan melakukan apa. Namun buku ini memberikan hal yang lebih dari itu, seperti narasi yang dicampur aduk dalam satu adegan dan membuat tidak nyaman untuk dibaca.
Terlepas dari dua hal mengganjal tersebut, aku salut bagaimana penulis mengemas ceritanya dengan baik. Yakin bahwa ia melakukan risetnya tentang Kota Malang, Batu, dan sekitarnya dengan tidak asal-asalan. Penjabaraan tentang kampur UB, Jatim Park, dan Batu Night Spectacular membuatku ingin berkunjung ke sana. Juga tentang detail mata kuliah Teknik Sipil-nya. Lebih-lebih tentang taekwondo! Banyak hal yang baru kutahu tentang taekwondo dari buku ini. Seperti aba-aba sebelum bertarung hingga poin yang didapat. Penggambaran pertarungannya pun detail tapi tidak njelimet.
Seperti yang tertulis pada sampul belakangnya, buku ini adalah tentang melepaskan mimpi di bawah hujan, tentang cinta yang diam-diam bersama luka, dan tentang memaafkan diri sendiri. Dan setelah sepanjang ini aku menulis, aku tidak menyebut sekalipun nama Kayla, gadis yang akan mengubah hidup Wira. Juga Sarang, kucing yang secara tidak sengaja mempertemukan mereka berdua.
Ulasan ini untuk tantangan Young Adult Reading Challenge 2016.
Namun sayangnya, aku tidak menyukai dengan dramatisasi yang diusung oleh buku ini. Bolehlah jika itu hal wajar seperti hujan yang anehnya selalu turun ketika Wira sedang jatuh-jatuhnya. Tapi aku muak ketika adegan Wira yang mendekam di kamar dan memeluk kakinya, juga adegan Wira yang berlama-lama dengan ponselnya yang mati dan bimbang beribu bimbang untuk menyalakannya. Aku tahu hal semacam ini penting untuk rasa simpati pembaca kepada sang tokoh. Tapi, Wira ini cowok! Bukan, ini bukan seksis. Hanya kurang masuk akal. Andai saja penulis lebih mengerti tentang perilaku-perilaku cowok.
Lalu tentang sudut pandang orang ketiga serba tahu yang dipilih buku ini. Aku tidak masalah dengan sudut pandang orang ketiga asal jelas siapa yang akan melakukan apa. Namun buku ini memberikan hal yang lebih dari itu, seperti narasi yang dicampur aduk dalam satu adegan dan membuat tidak nyaman untuk dibaca.
Lampion Garden, Batu Night Spectacular |
Terlepas dari dua hal mengganjal tersebut, aku salut bagaimana penulis mengemas ceritanya dengan baik. Yakin bahwa ia melakukan risetnya tentang Kota Malang, Batu, dan sekitarnya dengan tidak asal-asalan. Penjabaraan tentang kampur UB, Jatim Park, dan Batu Night Spectacular membuatku ingin berkunjung ke sana. Juga tentang detail mata kuliah Teknik Sipil-nya. Lebih-lebih tentang taekwondo! Banyak hal yang baru kutahu tentang taekwondo dari buku ini. Seperti aba-aba sebelum bertarung hingga poin yang didapat. Penggambaran pertarungannya pun detail tapi tidak njelimet.
Seperti yang tertulis pada sampul belakangnya, buku ini adalah tentang melepaskan mimpi di bawah hujan, tentang cinta yang diam-diam bersama luka, dan tentang memaafkan diri sendiri. Dan setelah sepanjang ini aku menulis, aku tidak menyebut sekalipun nama Kayla, gadis yang akan mengubah hidup Wira. Juga Sarang, kucing yang secara tidak sengaja mempertemukan mereka berdua.
"Ada studi yang bilang kalau kewan peliharaan bisa mengurangi stres dan memperbaiki mood. Dengan membelai bulunya atau memperhatikan mereka bermain, kita bisa terhibur." (hal. 86)
Ulasan ini untuk tantangan Young Adult Reading Challenge 2016.
keren, jd pengen baca
BalasHapus