20 Juni 2015

Wedding Rush

Sampul
Judul : Wedding Rush
Pengarang : Jenny Thalia Faurine
Penerbit : Elex Media Komputindo
Tahun : 2015
Dibaca : 20 Juni 2015
Rating : ★★

"Tidak semua orang turut berbahagia atas pernikahanmu. Dan maaf, aku adalah salah satu di antara orang-orang itu. Atau mungkin justru akulah satu-satunya." (hal. 264)

Ini pertama kalinya aku membuat ulasan dari buku yang tidak kuselesaikan. Begini, aku sebenarnya sangat ingin menyelesaikan buku ini. Tetapi setiap kali membuka buku dan membaca beberapa paragraf, aku merasa tidak nyaman membacanya. Bukankah membaca adalah kegiatan mengisi waktu luang yang berarti kita harus merasa rileks dan nyaman ketika membaca?

***

Empat sahabat. Dua pria dua wanita. Mereka berada dalam keadaan di mana terdapat cinta segi-empat di antara mereka dan sepasang dari mereka sudah menikah. Rajata dan Resita-lah yang sudah menikah. Padma dan Daka nama dua yang lain. Padma meninggalkan Indonesia dengan alasan sebenarnya tidak menyetujui pernikahan Rajata dan Resita. Bagaimana bisa setuju jika pria yang dicintainya itu menikah dengan orang lain: apa lagi sahabatnya sendiri?

***

Premisnya meyakinkan sekali. Aku tidak bilang tidak menyukai buku ini, aku hanya kurang sreg saja. Sejujurnya aku juga tidak senang dengan diriku yang merasa kurang sreg dengan sebuah buku yang ditulis seseorang yang kukenal. Tapi bagaimana bila tidak jujur? Aku pikir malah lebih tidak menyenangkan nantinya.

Pertanyaannya adalah kenapa aku kurang sreg dengan buku ini? Eksekusi cerita yang seperti sinetron dengan banyak tokoh dari kaum-kaum elitis. Padma seorang selebriti cantik dan Daka seorang pria tampan nan kaya. Aku masih bisa menikmati ini jika saja eksekusi cerita lebih realistis. Atau aku hanya tidak suka dengan cerita selebriti yang penuh semu? Entahlah.

Jadi, ketika tidak maju-maju ke halaman selanjutnya; halaman yang belum sampai angka 100, aku langsung memutuskan untuk membaca akhir buku. Dan, ada Riko! Oke, aku buka-buka lagi halaman awal hingga pertengahan untuk cari tahu siapa dia. Dan tadaaa ... adegan-adegan sinetron pun semakin terngiang-ngiang di kepala. Aku bagaikan pecundang di antara Riko dan Daka dan Rajata yang sempurna itu.

Ini kenapa aku seperti pakar sinetron ya? Atau aku sering menonton sinetron sehingga tahu seluk-beluk dunia persinetronan? Tidak, waktuku kebanyakan di jalan, menyetel televisi saja tidak sempat apalagi menontonnya. Kasian ya. Aku tahu saja, sinetron dibuat supaya banyak yang menonton dan rating stasiun televisi tersebut meninggi.

Jawaban kedua adalah bukunya yang tebal. 300 halaman lebih dengan paragraf yang kebanyakan dibuat panjang padahal bisa dikompres untuk mendapatkan inti sarinya. Jadi buku ini sebenarnya masih bisa kurang dari 300 halaman jika benar-benar bisa diambil inti sarinya. Atau aku hanya membuat alasan tak masuk akal saja? Entahlah.

Lalu kenapa diberi dua bintang? Karena (1) gaya bahasa penulis yang luwes—akhirnya aku tahu gaya menulis Jenny—dan (2) Layouting yang ciamik.

***

Pada akhirnya aku harus meminta maaf kepada penulis karena (1) tidak menyelesaikan bukunya yang kubaca pertama kali, (2) takutnya, aku menyakiti hatinya dengan ulasanku tentang karyanya, dan (3) jaga-jaga agar ketika bertemu kembali aku masih bisa melihat senyum manisnya.

Jadi, aku minta maaf ya, Jenny. Ulasan ini bukan apa-apa, hanya butiran upil belaka. Kamu masih punya banyak penggemar, terbukti dengan belasan buku yang kaubuat dalam kurun waktu yang tidak begitu lama juga. Teruslah berkarya, Jenny!

2 komentar :

  1. kl saya harus sampai selesai bacanya..baru bisa bikin reviewnya....bahkan kadang berkali-kali baca ..karena kadang msh belum ngeh..sama ceritanya ...masih amatiran sih :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya begitu. Semoga saya bisa menyelesaikan buku ini di lain waktu. Terima kasih sudah berkunjung :)

      Hapus