Sampul |
Judul : Flip-Flop
Penerbit : Elex Media Komputindo
Tahun : 2015
Dibaca : 29 Juni 2015
Rating : ★★★
"And then, they were misuh-misuh for a long while." (hal. 46)
Ada beberapa alasan aku membeli buku ini. Alasan pertama: aku kenal salah satu penulis buku ini, walaupun baru kenalan beberapa waktu lalu. Terus kita jadi dekat tapi gak sampai menjalin hubungan khusus. Masalahnya, penulisnya sejenis denganku. Dan awalnya aku minta buku ini langsung dari penulisnya, sampe bikin kode via twitter juga. Tapi si penulis tidak peka. Jadi aku beli buku ini.
Alasan kedua: blurb tentang LDR yang sepertinya sering terjadi pada mereka yang sedang pacaran. Yang jomblo sih gak perlu tau apa itu LDR. Aku pernah gak jomblo, serius deh. Aku pernah mengalaminya sendiri dan tidak berakhir bahagia. Nyatanya, kenyataan berbeda dengan pernyataan kan? Jadi aku beli buku ini.
Alasan ketiga: hari minggu lalu ada promo potongan harga dalam rangka HUT salah satu koran harian. Tentu saja, sebagai buruh pabrik yang gajinya hanya cukup beli makan dengan lauk ayam bakar tiga kali sehari dan sebagai manusia yang tak pernah merasa cukup, aku mengambil kesempatan emas ini. Jadi aku beli buku ini.
***
Bobby dan Anggun sama-sama gemuk dan doyan makan. Mereka sudah kenal sejak SMA dan mereka pacaran. Pada saat kuliah, mereka terpisah jarak karena Bobby harus pindah ke Malang untuk jadi kuli apel—kuliah—sedangkan Anggun tetap di Jakarta. Pada saat itulah mereka berdua diterpa angin-badai-topan-tornado-puting-beliung dalam hubungan asmara mereka.
Sebenarnya Bobby masih bisa bertahan demi hubungan yang sudah mereka pupuk bersama. Tetapi sepertinya Anggun tidak berpikiran sama setelah Sufjan Stevens—bohong, namanya Steven—yang bereputasi buruk satu kampus dengan Anggun. Bagaikan udang di ujung tanduk, apakah hubungan Bobby dan Anggun tetap baik-baik saja?
***
Diceritakan dari sudut pandang Bobby dan Anggun secara bergantian, lagi, aku membaca novel dengan lebih dari satu penulis. Pada ulasan sebelumnya, aku merasa ragu dengan karya "keroyokan", tetapi pada akhirnya membuatku mengacungkan pistol—jempol. Aku mencoba menimang-nimang lagi; meyakinkanku untuk mengacungkan pistol atau jempol. Dan untuk kali kedua, aku mengacungkan jempol.
Satu kalimat untuk novel ini: begitu natural, membuat kulit terasa kencang, dan berseri. Yah, maafkan aku yang buntu ide sehingga harus meminjam kata-kata iklan kosmetik. Tapi memang begitulah adanya. Humor yang tidak berlebihan dengan inti cerita yang bisa membuat kita merenung tentang arti cinta sesungguhnya.
Hanya saja, sangat disayangkan, semakin ke belakang, porsi sudut pandang Bobby semakin berkurang. Sepertinya si penulis Bobby terlalu sibuk mengurus panti LDR atau malah si penulis Bobby berencana busuk dengan makan gaji buta dan membiarkan si penulis Anggun menyelesaikan semuanya. Aku butuh Bobby. Aku butuh bagaimana pergulatan hati Bobby menghadapi detik-detik Ujian Nasional—kisah LDR-nya.
Flip-Flop |
Lalu, tentang judul bukunya sendiri. Flip-Flop. Apa sih maksudnya? Hingga usai membaca, aku masih bertanya-tanya hubungan judul dengan isi buku ini. Yang pasti bukan anak pungut atau anak yang ditukar. Secara harfiah, flip-flop artinya "sandal jepit". Ah, sudahlah. Mungkin pepatah "pertanyaan terkadang tidak memiliki jawaban" itu benar. Termasuk yang satu ini.
***
Satu untuk duet yang sukses, tambah satu untuk humor yang tidak berlebihan, tambah satu untuk pelajaran tersirat tentang manajemen cinta, dan tambah setengah untuk porsi Bobby. Dikurangi setengah untuk porsi Bobby yang semakin berkurang—tidak konsisten. Jadi berapa, anak-anak?
"Ketampanan itu cuma delusi massal di mana posisi relatif matahari terhadap rasi bintang seolah-olah berpengaruh ke wajah seseorang." (hal. 127)
Ulasan ini untuk tantangan Young Adult Reading Challenge 2015.
Makasih udah ngirimin Flip Flop, kak Raafi. Aku suka bacanya. Baguuuss xD
BalasHapus