Sampul |
Judul : Januari: Flashback
Penerbit : Grasindo
Tahun : 2015
Dibaca : 24 Juni 2015
Rating : ★★★
"Aku tidak mau lagi sendirian. Aku tidak mau lagi merasakan penolakan. Aku butuh seseorang. Aku butuh kamu, Gara." (hal. 125)
Aku mendapatkan buku ini ketika perayaan ulang tahun BBI yang ke-4 di Blok M. Salah satu penulisnya, Mput alias Petronela Putri, adalah member BBI dan dia menjadi koordinator sekaligus pembicara pada acara tersebut. Aku senang pada akhirnya Mput memberiku salah satu karyanya. Dia berpesan padaku untuk menebak sudut pandang siapa yang dia tulis. Sedikit ragu, karena aku belum pernah membaca karyanya yang lain sebelum ini. Tapi akan kucoba tebak.
***
Malam tahun baru pada Januari 1980 terjadi kecelakaan maut yang menewaskan sepasang suami-istri. Pasangan yang menggunakan motor itu tertabrak sebuah mobil yang untungnya—celakanya—empat orang di dalamnya tidak meregang nyawa. Empat orang yang pada malam itu sedang dalam jalan pulang setelah merayakan malam pergantian tahun. Empat orang sahabat karib.
Pada malam tahun baru meriah berpuluh-puluh tahun kemudian terjadi sebuah tragedi hebat. Satu dari empat sahabat itu meninggal secara tragis. Arumi, Era, dan Alana kemudian mendapatkan teror tak jelas. Tanpa disadari, tragedi masa silam kembali kepada mereka berempat; mengharuskan mereka bertiga—generasi selanjutnya—melakukan kilas balik dengan satu pertanyaan besar: apa yang sebenarnya terjadi pada 1 Januari 1980?
Diceritakan dari sudut pandang Arumi, Era, dan Alana, serial pertama Monthly Series ini memberikan rasa kelam dan mendebarkan. Aku pikir buku ini bertemakan romens remaja yang berbunga-bunga. Tapi ternyata sangat thriller dengan bumbu pergolakan batin satu dari tiga tokoh itu dan sedikit romens yang menyesakkan. Aku mengacungkan jempol untuk ide cerita thriller-nya yang "nge-twist banget".
Aku bertanya-tanya, apa tidak "kagok" sebuah karya dibuat lebih dari satu orang, dengan alur dan plot yang harus disinkronkan. Aku pikir itu malah membuat ruang eksplorasi menulis dibatasi. Apa lagi buku ini tidak mencapai 200 halaman, mungkin hanya 60-an halaman saja untuk masing-masing. Tapi, aku salut dengan karya semacam ini. Penulis ditantang menulis dengan "batasan-batasan" tersebut.
Aku mencoba mengapresiasi lebih karya ini, tapi suntingan yang tidak terlalu mulus membatasiku. Banyak kalimat tidak efektif yang membuat bahasanya menjadi bertele-tele. Juga teknis penulisan yang harusnya seorang penyunting mengerti maksud dari tanda baca dan yang lain-lain. Misalnya pada kalimat: "Terima kasih pada bajingan—siapa pun—orangnya itu, yang berhasil mengantarku masuk ke rumah Gara dan mengetahui tentang rahasianya." (hal. 132) Apakah penempatan tanda hubung itu tepat?
Bila saja ceritanya tidak penuh tanda tanya yang mengharuskan membaca hingga selesai, aku mungkin tidak akan melanjutkan buku ini mengingat gaya bahasa yang kurang ciamik. Semoga Monthly Series lainnya bakal lebih baik lagi, terutama dalam hal penyuntingan yang merupakan modal utama untuk memikat hati pembaca.
***
Pada akhirnya, aku harus menerka sudut pandang siapa yang Mput tulis. Salah satu tokohnya sangat menyukai kopi hingga memiliki kafe favorit yang selalu didatanginya. Karena hanya tahu dia suka kopi saja, dan karena tidak dekat-dekat amat dengan si penulis, aku menerka bahwa Mput menulis sudut pandang Arumi. Bener gak, Mput? Kalau salah, salahkan Arumi si sempurna itu!
Ini Juni, tapi aku baca Januari.
"Kamu nggak harus percaya aku kalau kamu nggak mau. Tapi yang harus kamu tahu, aku sudah menceritakan yang sebenarnya. Aku nggak tahu apa aku masih pantas mengatakan ini, tapi aku sayang kamu, Arumi." (hal. 152)
tebakanmu bener, Fi. Aku nulis Arumi :p
BalasHapusTapi seperti yang sudah aku bilang, membaca reviewmu membuatku merasa gagal menciptakan tokoh yang realistis. Hahaha. Memangnya Arumi sesempurna itu ya, di mata pembaca? *masih nggak terima* *lha* :)))
As I said. Aku pikir di mana yang lainnya (Era dan Alana), Arumi adalah sosok yang seperti itu.
Hapus