Baru delapan tahun blog ini berdiri, aku sudah diminta menjadi pembicara dalam acara komunitas buku Kumpulbaca. Ini bermula awal Februari lalu saat dikontak panitia acara ulang tahun Kumpulbaca berkonsep webinar dan ditawari menjadi pembicara dengan bahasan perkembangan literasi di dunia digital. Medium digital yang utama bagi mereka yaitu blog, podcast, dan YouTube. Muncul tiga anggapan yang kureka sendiri perihal alasan Kumpulbaca memilihku untuk berpartisipasi dalam perayaan HUT mereka: (1) aku kenal salah satu penggawa Kumpulbaca, (2) aku mudah dikontak melalui media sosial, atau (3) aku termasuk segelintir blogger buku yang masih beredar di platform maya. Terlepas mana alasan yang benar, aku putuskan untuk menyanggupi tawaran dari teman-teman Kumpulbaca.
Seminggu sebelum acara, aku tampil dalam IG Live bersama Kumpulbaca dalam rangka promosi acara dengan membahas pengalaman membaca. Aku kaget saat tahu mereka menayangkan rangkuman IG Live-nya di sebuah akun Medium milik Kumpulbaca. Tidak ada info apa pun dari pihak panitia perihal ini karena selama IG live aku cuma asal ceplos. (Tahu begitu kan aku bakal lebih mempersiapkan diri.) Kadung mengunjungi blog Medium Kumpulbaca, aku sekalian berselancar dan membaca beberapa artikelnya. Blog tersebut terbilang baru, entri tulisan pertamanya terbit pada September 2019. Meski begitu, jumlah tulisannya lumayan banyak dengan konten yang beragam. Selain ulasan buku, ada postingan artikel trivial seperti cara mengulas buku dan cara memotivasi diri untuk membaca. Mereka juga membagikan pengantar dan/atau ringkasan kegiatan acara yang mereka selenggarakan, termasuk acara yang kuhadiri sebagai pembicara bertajuk “Serunya Literasi di Media Digital”.
Sebagaimana konsepnya, pembicara lain dalam acara yang mengharuskan peserta donasi sekadarnya itu juga aktif di media digital: bookstagrammer Wahyu Novianto di @awaywithbooks, booktuber Kak Aya dengan kanal YouTube Kanaya Sophia, dan podcaster I Think I Wanna Date You Idha Umamah. Aku secara pribadi meminta waktu kepada panitia untuk membagikan pengalaman dan hasil temuan seputar blogging melalui sebuah presentasi. Sesi itu membahas seputar kegiatan blogging, trennya pada masa ini, dan alasan aku bertahan nge-blog. Setelah dipikir-pikir, rasanya perlu juga membagikan sesi presentasi tersebut di blog. Jadi, inilah ringkasan paparan seputar blogging yang sebelumnya kusampaikan kepada teman-teman peserta acara Kumpulbaca akhir Februari lalu.
Presentasi perihal definisi
Aku memulai presentasi dengan definisi kegiatan blogging. Blogging adalah kegiatan yang mengandung tiga elemen utama. Pertama, text-based content yang berarti output dari blog pasti memiliki unsur teks atau tulisan. Kedua, self-published yang mana setiap pemilik blog cenderung membagikan konten dengan gaya penyampaian masing-masing dan pada waktu yang ditentukan sendiri. Ketiga, dairy-style entry yang biasanya ditandai dengan tanggal postingan kronologis seperti buku harian. Sebagian blog masih menampilkan fitur arsip (archive) sebagai penunjuk tanggal terbit postingan. Tiga elemen tersebut cukup membuat blog dinamakan sebagai media informasi alternatif. Apa maksudnya?
Ada banyak, banyak, banyak sekali informasi yang tersedia di internet. Dari yang dasar dan simpel, sampai yang rumit dan sukar dipahami. Dari yang jujur, sampai yang dibuat untuk menjual atau alasan tertentu lainnya. Dari yang benar, sampai yang hoaks. Media penyebaran informasi tersebut terbagi menjadi dua: jejaring sosial (seperti Facebook dan Twitter) dan situs web (seperti portal berita). Blog adalah media yang berada di persimpangan jejaring sosial dan situs web. Blog dikurasi secara pribadi sebagaimana jejaring sosial tetapi memiliki ciri konten seperti situs web (berbasis teks dan bersifat memberi informasi atau wawasan). Ketika mencari rekomendasi atau tips atau pengalaman akan suatu hal, tidak sedikit peselancar internet memilih blog sebagai referensi. Informasi yang terkandung dalam blog pun kebanyakan bersifat unik, personal, dan tidak sedikit juga yang jujur. Itulah mengapa platform blog merupakan media informasi yang alternatif.
Tren kegiatan blogging ternyata tidak glowing
Blog pertama kali muncul pada 1994 yang istilah “blog” sendiri belum tercipta. Kala itu, media jenis ini masih disebut sebagai beranda pribadi (personal homepage). Kepopuleran blog memuncak sekitar tahun 2000-an saat penyedia layanan blog seperti Blogger dan Wordpress bermunculan. Di Indonesia dan di lingkup perbukuan yang kuketahui, blogger mulai nge-tren setelah tahun 2010. Ini ditandai dengan bentukan komunitas Blogger Buku Indonesia (BBI) pada 2011. Berkat keinginan untuk bergabung dengan BBI itu jugalah, aku putuskan untuk merancang blog ini pada 2013. Itu ditambah dengan kegemaranku pada buku dan keinginkanku membagikan pengalaman membaca. Selain BBI, sepertinya banyak komunitas blogger lain yang juga menjamur dan aktif pada dasawarsa ini. Namun, bagaimana dengan 2021? Apakah blogging masih nge-tren beberapa tahun belakangan?
Setelah membaca beberapa artikel, aku menemukan satu opini tren kegiatan blogging dari seorang content writer Olivia Brown. Brown menganggap blog pada masa sekarang tidak bisa lepas dari mesin pencarian (seperti Google) untuk bisa dijangkau pembaca. Oleh karenanya, blogger perlu membuat rencana editorial sebagai dukungan. Ini juga berkaitan erat dengan mekanisme search engine optimization (SEO) yang sepertinya sekarang kudu menjadi keterampilan tambahan blogger selain menulis. Aku tidak memungkirinya. Mau tidak mau, konten-konten blog harus bersaing dengan situs web lain agar tulisannya mendapat peluang pembaca lebih banyak. Hal tersebut jugalah yang membuatku berpindah haluan dengan membidangi pekerjaan sebagai SEO editor (baca di sini). Aku menerka-nerka apakah hal teknis semacam itu yang membuat platform blog ditinggalkan.
Beberapa hari sebelum acara, aku sempat menginterviu beberapa teman blogger yang kupantau masih aktif nge-blog. Pertanyaan yang kuajukan yaitu seputar alasan mereka menciptakan blog, usaha yang mereka lakukan untuk tetap nge-blog, dan tren kegiatan blogging. Respons mereka untuk bahasan yang terakhir kurang-lebih menjurus pada satu kesimpulan: tren kegiatan blogging menurun. Tiga penjelasan pada gambar di atas merupakan tanggapan seputar tren kegiatan blogging dari para blogger yang kutanyai. Walaupun masih ada, sepertinya memang sudah tidak glowing lagi—sudah bukan masanya.
Setelah mengumpulkan informasi dan tanggapan dari sana-sini, kusimpulkan terdapat lima alasan pengguna blog (blogger) meninggalkan blog mereka sebagai berikut.
1. Too much effort/too much to think about, seperti ide, proses menulis dan edit, cari/rancang visual untuk header, otak-atik blog, dll.
2. Text-only; doesn’t engage. Pengguna internet lebih tertarik dengan konten visual seperti gambar atau video.
3. Low feedback. Merasa tidak mendapatkan yang setimpal dengan usaha yang dikerahkan bila dilihat dari pageviews (pengunjung blog) dan engagement (seperti komentar di blog).
4. Simply have no time. Menulis butuh niat, keteguhan, dan alokasi waktu yang ternyata tidak mudah untuk dicari/dilakukan.
5. People just left. Ini ditambah efek domino: yang satu pergi, yang lain ikut pergi. Tidak dipungkiri juga berhubungan dengan tren; ada Instagram jadi bookstagrammer, ada YouTube jadi booktuber (dalam konteks perbukuan).
Alasan bertahan
Kalimat yang sepertinya lumayan memotivasi di atas aku sampaikan setelah menjelaskan tren kegiatan blogging yang menurun dan alasan orang meninggalkan blognya. Bersamaan dengan kalimat motivasi itu, aku meminta siapa pun yang mengamini alasan-alasan meninggalkan blog untuk berpikir ulang dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Benarkah kelimanya menjadi penghalang kegiatan blogging? Jika pilih salah satu alasan, misalnya poin pertama, benarkah blogging membutuhkan banyak usaha? Bagaimana dengan YouTuber yang mungkin harus bikin skrip video dan mengedit video sebelum menayangkannya? Atau bagaimana dengan podcaster yang mungkin kudu punya performa suara dan peralatan mumpuni agar menghasilkan audio yang enak didengar? Manakah yang lebih banyak mencurahkan upaya?
Masih pada Februari, akun Twitter-ku menerima direct message dari seorang tak dikenal. Ia bilang baru saja membaca postingan di blog tentang perbedaan genre fantasi dan fiksi ilmiah. Ia mengonfirmasi opiniku sembari memberi tahu bahwa ia sedang menulis sebuah karya novel yang genrenya merupakan gabungan fantasi dan fiksi ilmiah. Kejadian ini semakin mengingatkanku pada kalimat motivasi di atas. Dan aku cukup lega bahwa tulisanku bisa mencapai pembaca yang mencari informasi yang dibutuhkannya—apalagi sampai mengontakku via media sosial.
Selain itu, bila kamu suka menulis dan tertarik punya blog tapi merasa kerepotan dengan harus merancangnya di Blogger atau Wordpress, dua bentuk blogging lain bisa dipilih. Pertama yaitu open platform seperti Medium atau Kompasiana yang menyediakan platform sehingga kamu bisa langsung buat akun dan pos tulisanmu di sana. Ini juga dilakukan oleh komunitas Kumpulbaca dengan akun Medium-nya. (Fyi, aku punya akun Kompasiana di sini.) Kedua yaitu microblog, sebuah kegiatan blogging alternatif dengan format tulisan yang lebih sedikit seperti konten karosel di Instagram atau utas di Twitter. Jika kamu punya media sosial, pakai saja itu untuk memulai microblogging. Microblog buku yang amat kurekomendasikan untuk disimak yaitu @ruangtitikkoma.
Untuk memberikan dukungan kepada pejuang blog lain, lima alasan personal kenapa aku tetap bertahan dengan kegiatan blogging di bawah ini mungkin bisa jadi penyemangat.
1. It’s personal. Menyampaikan opini, pemikiran, dan pengalaman pribadi yang kemudian dihubungkan dengan buku yang dibaca atau topik yang sedang diangkat merupakan sebuah kebebasan hakiki.
2. Sticking to what I’ve been started. Sejak awal self-proclaimed sebagai seorang blogger buku. Syukurlah, sekarang (sepertinya) sudah diakui dengan diajak menjadi pembicara sebuah acara. Semoga seterusnya.
3. Celebrating the liberty. Setiap platform media punya aturan dan standar yang harus dipatuhi. Dengan nge-blog, kamu bisa menulis topik bahasan semaumu dengan gaya penyampaian sesukamu.
4. Giving value. Kegiatan membaca buku memantik untuk berpikir. Blog merupakan sarana untuk menumpahkan pemikiran tersebut sekaligus memberikan rekomendasi buku-buku.
5. Practicing skills. Berlatih menulis (bagian ini akan terus dilakukan selama masih hidup) sekaligus mengimplementasi keterampilan SEO yang masih sedang dipelajari secara profesional.
Mengesampingkan tren yang meredup, kegiatan blogging adalah cara menyenangkan untuk membagikan informasi alternatif. Rekomendasi skincare routine, ada. Tips awal menjadi vegetarian, ada. Rekomendasi tempat melamun di Jogja, ada. Tips memilih bacaan nonfiksi, ada. Rekomendasi blogger buku, pun ada (hehehe). Yang juga perlu diingat, sebagaimana aku “jalan-jalan” ke blog Medium Kumpulbaca, aku juga amat menyarankan kepada teman-teman untuk blogwalking ke blog-blog lain. Akan menyenangkan bila para blogger saling memberi dukungan dengan mengunjungi bermacam-macam blog bahkan berkomentar di postingan-postingan mereka. Setidaknya, itu menjadikan blog sebagai tempat berkumpul yang inklusif.
Jadi, apa alamat blogmu? Biar ku-blogwalk ke sana!
Hola Kak Rafi, aku ingin berbagi opiniku ya perihal tren blogging ini.
BalasHapusNgomong-omong, aku biasanya komen di sini itu tuh riwayatnya kalau ada giveaway buku, dulu rame bener, ya! XD
Waktu 2019 akhir sebenernya aku juga sudah merasa kalau, blog mulai ketinggalan sama aneka konten di platform lain yang lebih unggul karena visualnya, misal IG atau YouTube. Aku juga pernah pasang polling kecil2an di story IG, pilih mana kalau cari info, blog atau YT? Dan jawabannya tentu saja bisa ditebak, banyakan YTnya. Di 2019 juga aku mulai nyeriusin blog personal aku dan menerima tawaran seperti content placement atau job review, sampai sekarang.
Di 2019 juga, berdasarkan komunitas online yang aku ikuti, memang sih udah jadi lebih banyak berbagi tulisan tentang sponsored post baik event atau job review. Mulai sedikit yang menulis opini personal saja, dan juga aku merasa kalau feelnya juga sudah berbeda dari masa 2014-2016an. Mengisi komentar atau blogwalking rasanya hanya untuk menunaikan kewajiban saja, rasa joy dan excitement mulai pudar.
Terus karena pandemi di 2020, blogging ini justru ramai dan naik lagi menurut aku. Karena jadi serba online, dan beberapa ada yang menjadikan blog sebagai penghasilan utama. Tapi, ada tapinya tentunya. Aku pribadi juga salah satu yg mengandalkan blog untuk mencari uang saat ini sembari menunggu kelulusan kuliah. Bagiku, minusnya begini:
- Persaingan jadi semakin ketat, meskipun blog personal tapi kalau mau ambil job setidaknya blog punya PV yang stabil dan jumlah tertentu tiap bulannya. Ada penilaian juga seperti dari domain authority, page authority, Alexa, domain rating, dll. Yang biasa mencari blog untuk kerja sama juga mulai condong mencari blog di platform WP daripada BP. Jujur sebagai orang newbie, tentu saja melelahkan sekali karena jadi mempertanyakan lagi "dulu padahal ini passion aku, tapi sekarang seperti terlalu melawan dan menyesuaikan banyak hal"
- Karena banyak ahli dan mastah-mastah (gitu ya bahasanya kan? wkwk) jadi minder juga sih. Sekarang kalau mau ikut lomba blog rata-rata effort banget, dan biasanya yang menang karena ada infografisnya yang bagus. Untuk orang yang sukanya benar nulis mengalir dan menikmati, memilih mundur duluan haha.
- Mulai jarang ikut blogwalking. Ya karena tulisannya kurang bervariasi atau isinya review menuju promo semua.
Tapi, ada plusnya:
- Perfoma blog jadi bagus, PV nambah, sedikit-sedikit belajar SEO, memperbaiki isian dan struktur blog yang belum rapi.
- Tambahan penghasilan lancar asalkan rajin. Ya tentu saja ya, meskipun lelah sekali kadang sering begadang.
- Mulai banyak kelas blogging gratis juga dari pemilik komunitas, setidaknya belajar bersama jadi lebih cepat.
Tentu saja ya bagiku, aku yang perlu menyesuaikan dan memilih sendiri keputusan-keputusan. Misalnya harus sejauh mana aku mengikuti standar blogging saat ini, dan harus pintar-pintar membagi waktu untuk menulis blog yang enjoy sebagai hobi dan kapan menulis blog ketika serius.
Seperti Kak Rafi, aku masih enjoy blogging apalagi sebagai hobi karena: seru sekali menulis dan kadang sembari berharap ada yang kesasar ke blog di tulisan personal. Enak sih, kalau ngeblog nggak naruh ekspetasi dan karena blog sudah lumayan lama berdiri, kaya sudah jadi rutinitas dalam hidup saja untuk ngeblog apalagi kalau sedang senggang.
Btw, aku tahu salah satu blog yang isinya personal dan ramaaaai sekali komentarnya, namanya Creameno. Uniknya memang penulisnya nggak ngasih tahu identitas, tapi rame bener di sana kaya jaman awal orang ngeblog tanpa harus ini itu, barangkali mau berkunjung.
Eh, komentarku udah panjang banget ini btw hahaha. Ya sudah, itu saja
Wah, senang ada yang merespons. Terima kasih atas itu dan atas perspektifnya, Marfa. Mungkin memang karena pandemi, orang-orang jadi serba digital sehingga memantik buat nge-blog lagi. Oh ya, blognya pasti akan kukunjungi!
HapusSuka banget sama postingan ini karena aku pun merasakan hal yg sama. Aku juga mulai gabung BBI tahun 2013-an dan banyaaakk banget follow blogger buku dari situ. Dulu blogging tuh seru, banyak reading challenge dan segala macem. Kebetulan juga pas itu aku masih kuliah, masih banyak waktu & lagi semangat2nya baca dan meresensi buku. Lama-kelamaan blog buku makin sepi. Banyak blogger buku nggak update lagi, BBI juga :( ada yg pindah ke instagram/youtube. Ada yg ngilang sama sekali. Aku pun sekarang udah jarang ngeblog dan resensi buku karena punya prioritas yg berbeda. Cuma, untuk cari info sebuah buku yg mau aku beli/baca, aku tetap searching resensinya dan kebanyakan web blogger bukulah yg muncul. (Selain cek di Goodreads juga). Jadi, buat yg tetap rajin dan setia ngeblog, terutama menulis resensi buku, aku salut banget dan berharap bisa konsisten juga ngeblog. Karena bagaimanapun, masih banyak tipikal orang yg lebih senang membaca banyak teks dgn penjelasan yg lebih mendalam seperti tulisan di blog:)
BalasHapusMemang kentara banget kalo tren blogging semakin menyusut. Seenggaknya, opsi-opsi yang dilakukan Ratih (termasuk cari resensi buku dari blog) bisa bantu teman blogger yang masih eksis (bertahan) buat terus nge-blog. Terima kasih sudah membaca tulisan ini dan mengeluarkan "unek-unek"-mu ya, Ratih!
Hapus