23 Februari 2021

Belajar Melawan dari Si Beruang Kutub

Kenang-kenangan Mengejutkan Si Beruang Kutub

Pertemuan seseorang dan buku yang dibacanya selalu menarik untuk diceritakan. Begitupun dengan pertemuanku dan “Kenang-kenangan Mengejutkan Si Beruang Kutub” karya Claudio Orrego Vicuña. Sejak awal Februari, aku dan Danang sepakat untuk mengontrak sebuah rumah di Jogja. Selama proses adaptasi kondisi di kontrakan baru, aku yang tetap ingin membaca buku memutuskan untuk menikmati bacaan yang tipis-tipis saja. Salah dua buku yang kubaca yaitu “Sengkarut” dan “Cerita, Bualan, Kebenaran”. Saat beres-beres, aku mendapati buku karya Vicuña ini di tumpukan buku koleksi Danang. Tidak ada harapan apa pun waktu itu. Namun, semakin menyimak kisahnya, semakin aku tenggelam dalam kondisi terkungkung yang dinarasikan oleh si beruang kutub. Saking tenggelamnya, perasaanku dibuat menggebu-gebu untuk menuliskan sebuah ulasan.

“Kenang-kenangan Mengejutkan Si Beruang Kutub” menghadirkan seekor beruang kutub sebagai tokoh utama. Ia dibawa dari habitatnya di kutub untuk ‘dirumahkan’ di sebuah kebun binatang. Beruang kutub yang dinamakan Baltazar oleh manusia-manusia di sekitarnya itu menceritakan kisah hidupnya selama berada di dalam jeruji kandang: pertemuannya dengan seorang gadis yang tidak punya tempat tinggal lalu diselamatkan seorang nyonya tua, nostalgianya seputar kisah asmara perdananya yang membuatnya mabuk kepayang tanpa pujaan hatinya tahu, dan—yang paling utama—penemuannya atas kedamaian di dalam kendang untuk sisa hidupnya. Bagian terakhir inilah yang membuatku merasa perlu untuk menuangkan pemikiranku sebagai respons atas pembacaan buku ini.

ulasan buku Kenang-kenangan Mengejutkan Si Beruang Kutub karya Claudio Orrego Vicuña
Pengarang : Claudio Orrego Vicuña
Penerjemah : Ronny Agustinus
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun : 2018
Dibaca : 19 Februari 2021

“Berlalunya tahun menunjukkan kepadaku bahwa sebagian besar beruang—dan menurut dugaanku, sebagian besar manusia—baru akan bersyukur kepada Tuhan mereka atas hidup ini manakala es retak dan terlihatlah lautan gelap nan dalam di bawahnya.” (hlm. 4)

“Demi Tuhan, buku tipis ini luar biasa bagus!” Begitu batinku menyebut seusai menutup halaman terakhir buku ini yang langsung kutuliskan singkat di Goodreads. “Kenang-kenangan Mengejutkan Si Beruang Kutub” karya Claudio Orrego Vicuña terbit pertama kali pada 1974 dengan judul asli “Las sorprendentes memorias de Baltazar: cuento”. 44 tahun kemudian tepatnya pada November, satu-satunya karya fiksi Vicuña ini diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Marjin Kiri dengan Ronny Agustinus sebagai penerjemahnya. Bukunya tipis, tidak sampai 100 halaman. Gambar sampulnya berfokus pada siluet kepala seekor beruang yang terbagi dua imaji: bagian kiri jeruji besi, bagian kanan sosok perempuan dewasa yang memeluk sambil berjalan gadis cilik.

Sebagaimana sampul yang terbagi jadi dua imaji, buku ini pun secara sederhana memberikan dua bentuk gambaran. Lebih lanjut, aku menyebutkannya sebagai gambaran secara luar dan gambaran secara dalam. Secara luar (dan ini singkat saja), buku ini menceritakan tentang kekejian manusia yang betul-betul terlihat dari narasi yang disampaikan si beruang kutub. Bagian ketika ia ditangkap lalu dikurung di dalam kandangnya, bagian ketika ia menyaksikan orang-orang berlalu-lalang dan menyaksikan dirinya dari luar kandang—penggambaran ini secara eksplisit hadir dari luar diri si beruang. Bagi sebagian pembaca, mungkin gambaran yang ini dapat disimak secara langsung dan mudah, yang berakibat hadirnya rasa simpati kepada si beruang kutub.

Sementara itu, sepanjang buku, si beruang kutub mengalami pengembangan karakter luar biasa. Dari keterkungkungan yang membatasinya hingga rasa damai yang timbul di jeruji kandangnya. Inilah yang kumaksud dengan gambaran secara dalam: perubahan pandangan si beruang kutub. Bahwa perasaan terkungkung dan terisolasi ternyata bisa membebaskan. Ini tentu butuh pemikiran, waktu, dan elemen paling utama: kesunyian. Beruang mendeskripsikan proses pemikiran ini secara runut tanpa bertele-tele pada bab-bab akhir buku. Secara garis besar, aku bisa menyimpulkannya dengan rumus yang kurang-lebih seperti di bawah ini.

kesunyian -> pemahaman/pendalaman -> rasa damai

Si beruang kutub mengajarkan perlunya kondisi sunyi sehingga kita dapat menyingkir sebentar dari hiruk-pikuk keseharian. Itu membuat kita bisa berpikir secara jernih lalu menemukan pemahaman yang dalam tentang hal ihwal. Butuh waktu dan perulangan yang rutin mengingat si beruang kutub pun menceritakannya pada akhir-akhir ceritanya. Semakin sering waktu dan kesunyian yang disisihkan, semakin dalam pemahaman tentang hal ihwal bisa dicapai. Hasilnya yaitu perasaan damai hingga—seperti yang diraih oleh si beruang kutub—“kebahagiaan yang orisinil”. Dan asal tahu saja, kedamaian yang hadir dalam keterkungkungan merupakan senjata mematikan.

“Bebas bergerak hanyalah sarana untuk menemukan makna yang lebih dalam dari hal ihwal. Tapi itu sendiri belum berarti apa-apa.” (hlm. 62)

Rezim otoriter di Cile dan weapons of the weak


Buku ini sebetulnya menceritakan perihal otoritatianisme, penindasan, dan bagaimana di dalamnya muncul daya (power) sebagai bentuk resistansi atau perlawanan. Bila ditilik saat Claudio Orrego Vicuña menerbitkan pertama kali buku ini yaitu pada 1974, Cile sedang dalam rezim pemerintahan militer yang bersifat otoriter. Dengan misi “membangun kembali negara”, pemerintahan yang dipimpin oleh junta militer Jenderal Augusto Pinochet itu menggulingkan pemerintahan sosialis Salvador Allende pada 1973. Selama periode rezim tersebut yang berakhir pada 1990, setidaknya 3.000 orang tewas atau hilang, puluhan ribu tahanan disiksa, dan sekitar 200.000 orang Cile diasingkan. Dalam sebuah survei dengan responden penduduk Cile, 55% dari mereka menilai buruk atau sangat buruk atas rezim tersebut.

Gambaran sejarah itu penting untuk memberikan konteks pada “Kenang-kenangan Mengejutkan Si Beruang Kutub”. Vicuña menyampaikan dalam catatan pendahuluan pada awal buku, “Pembaca mungkin akan terkejut oleh keganjilan-keganjilan tertentu dalam persepsinya atas realitas. Namun buat saya hal itu tak terelakkan, karena inilah pikiran seekor beruang yang sejak meninggalkan negerinya di kutub tidak pernah melihat apa pun di luar batas-batas kandangnya di kebun binatang.” Pembaca tidak bisa tidak membuat anggapan bahwa si beruang merupakan penduduk Cile bahkan mungkin diri Vicuña sendiri, lalu masa sebelum dan selama berada di kebun binatang merupakan keadaan sebelum dan selama rezim otoriter di Cile.

Hasil diskusi bareng Danang mengingatkan kami pada satu term yang mungkin berhubungan dengan kisah si beruang kutub. Juga merupakan sebuah judul buku, term itu adalah weapons of the weak. Pencipta term yang sekaligus pengarang buku itu, James C. Scott, menghabiskan dua tahu di Malaysia untuk mengumpulkan bukti empiris dari ‘bentuk perlawanan petani sehari-hari’. Hasilnya, ia memperkenalkan gagasan pada bentuk perlawanan budaya dan non-kooperatif yang digunakan dari waktu ke waktu melalui perbudakan yang berjalan lama. Perlawanan tersebut bersifat setiap hari (terus-menerus) dan halus tapi kuat. Menariknya, karya tulis Scott ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Yayasan Pustaka Obor Indonesia dengan judul “Senjatanya Orang-Orang yang Kalah”.

Bila disandingkan, bentuk perlawanan yang digagas Scott sebelas-dua belas dengan apa yang dilakukan si beruang kutub. Mungkin tidak bisa kujabarkan secara menyeluruh, tapi terdapat bagian di akhir ketika si beruang membuat penjaga kandangnya merasa direndahkan. Di situ tertulis, “Satu-satunya alasan yang diutarakan oleh [spoiler], yang juga seorang pegawai pengganti, adalah karena ia merasa binatang itu mengolok-oloknya setiap kali ia memasuki kendang untuk menjalankan tugas hariannya.” Padahal, logikanya, apakah mungkin seekor binatang merendahkan seorang manusia? Bagaimana caranya? Inikah yang disebut senjata yang ‘halus tapi kuat’ dalam gagasan weapons of the weak?

Tak dinyana “Kenang-kenangan Mengejutkan Si Beruang Kutub” karya Claudio Orrego Vicuña setebal 68 halaman ini berhasil mengusikku untuk menulis ulasan cukup panjang. Sekali lagi, buku tipis ini luar biasa bagus! Oh, dan kita bisa belajar perihal rasa damai dan perlawanan dari seekor beruang kutub! Aku amat merekomendasikan buku ini.

“Teman-teman mungkin bertanya, ‘Apa gunanya penghiburan sekelumit ini ketika kuasa riil berada di tangan mereka dan mereka takkan bisa tahu perasaan kita?’ Tapi aku juga punya jawaban untuk itu: ‘Adakah yang lebih superior dibanding mengetahui kesalahan-kesalahan seseorang tanpa si orang itu menyadarinya?’” (hlm. 64)

Referensi:

Tidak ada komentar :

Posting Komentar