“2019 was rough and tough.”
Begitu yang kutulis di pos Instagram saat menyambut 2020 sembari berharap segalanya akan lebih mulus dan ringan. Pada hari terakhir tahun 2019, The Jakarta Post membuat tajuk utama di halaman pertama korannya dengan judul “After hectic year, calm 2020 expected.” Artikel tersebut berisi harapan untuk meninggalkan 2019 yang berisi beragam konflik yang menggelisahkan. Dua belas bulan berselang setelah itu, sepertinya butuh kata-kata harapan pergantian tahun yang lebih meyakinkan. Atau malah tak perlu sama sekali? Tiada yang menyangka pandemi akan mengisi hampir sepanjang 2020. Penyesuaian yang drastis perlu dilakukan agar tetap bertahan, bagaimanapun caranya. Setiap orang dipaksa berubah: tidak saling bertemu langsung dan tetap di rumah. Perubahan pun terjadi pada berbagai aspek. Buatku sendiri, salah satu aspek yang berubah yaitu kegiatan membaca.
Kegandrunganku akan membaca membuatku ciptakan dua mode dalam kegiatan ini: senyap dan ramai. Mode senyap berarti aku berada di kamar dengan suasana tanpa alunan lagu atau ingar-bingar lain yang mengganggu. Mode ramai berarti aku melakukannya saat berada di transportasi umum—terutama saat berkomuter pulang-pergi kantor. Penciptaan mode ini bermanfaat untukku agar tetap berapi-api dalam membaca. Sayangnya, pandemi menggilas dan meluruhkan kesinambungan mode bacaanku. Kehadirannya mengeblokku untuk menyetel mode ramai dan itu membuatku waswas.
Kekhawatiranku beralasan. Aku sempat merasa terkungkung karena harus tetap di rumah pada beberapa bulan awal pandemi. Namun, sebagaimana yang lainnya, aku berusaha untuk bertahan dan menyesuaikan. Itu berdampak pada fluktuasi jumlah bulanan buku yang dibaca selama 2020. Januari 8 buku. 5 buku pada Maret alias saat pandemi mulai menyerang negeri tercinta. April 7 buku, Juni kembali ke 5 buku. Setelah beberapa bulan, aku memutuskan pulang ke rumah dan menghabiskan 11 buku pada Oktober. Aku lalu berhijrah ke Jogja pada November dan lagi-lagi hanya membabat 5 buku. Pada Desember, aku meyakinkan diri untuk ikutan reading challenge #BeresinTBR dan berhasil membaca 8 buku. Total, aku membaca 82 buku sepanjang 2020. itu 5 buku lebih banyak ketimbang jumlah bacaan 2019 yang 77 buku. Sebuah keajaiban? Aku tak akan membantahnya.
82 cukup banyak, tapi juga masih kurang banyak. Secara naluriah, manusia tidak akan pernah puas. Yang lain bisa membaca lebih dari 100 bahkan 300 buku selama pandemi. Itu membuatku cemburu. Terlepas dari itu, berikut 5 buku paling berkesan 2020 (diurutkan berdasarkan waktu selesai baca).
1. Man's Search of Meaning
Singkatnya, karya Viktor E. Frankl ini menyarankan pembaca untuk tahu arti kehidupan masing-masing. Pembaca diminta untuk merumuskan kembali apa yang ia cari, lalu fokuskan pada hal itu sepanjang hidupnya. Satu teori yang terkenal dari buku ini yaitu logoterapi, sebuah konsep yang berfokus pada pertanyaan makna hidup apa yang kamu cari dan harus dilakukan di masa depannya. Membacanya pada masa awal-awal pandemi membuatku sedikit bisa meredam kekhawatiranku pada dunia yang tak bisa kukontrol sendiri. Penjelasan logoterapi selengkapnya ada di ulasan buku nonfiksi “Man's Search for Meaning”.
2. Patron Saints of Nothing
Randy Ribay adalah seorang Filipina yang pindah ke AS untuk menjalani kehidupannya sebagai seorang guru bahasa Inggris SMA. Pada 2019, ia menerbitkan karya ini yang membuatku tak bisa berpaling karena gambar sampul bukunya yang menarik. Ceritanya tak kalah menarik dan padat informasi. Latar cerita berkutat pada rezim Presiden Filipina Rodrigo Duterte dengan drug war-nya yang dikenal tidak manusiawi dan melanggar HAM. Ribay mengusung isu ini pada kisah remaja laki-laki keturunan Filipina yang tinggal di AS. Sebuah karya diverse yang amat perlu dibaca. Aku menulis ulasan novel remaja “Patron Saints of Nothing” secara singkat di Goodreads.
3. Bagaimana Cara Mengatakan Tidak?
Meski tidak banyak, aku membaca beberapa kumpulan cerpen pada 2020 dan karya Raisa Kamila satu ini memikatku. Awalnya, aku tertipu oleh judul buku. Alih-alih berisi ringkasan pengembangan diri yang menyajikan petuah dalam menolak ajakan dalam segala situasi, buku ini ternyata kumpulan cerpen. Cerita-cerita di sini banyak menghadirkan tokoh utama perempuan dengan isu-isu yang melingkupinya dan terkesan kritis. Dan sebagai orang Aceh, Raisa pun memberi rasa tanah leluhurnya pada beberapa cerita di dalam buku ini. Tiga cerita favorit: "Cerita dari Sebelah Masjid Raya", “Cerita dari Belakang Wihara”, dan “Bagaimana Cara Mengatakan Tidak?”. Secara singkat, ulasan kumpulan cerpen “Bagaimana Cara Mengatakan Tidak?” ditulis di Goodreads.
4. Minoel
Novel remaja lainnya yang menjadi kesukaan ada pada karya Ken Terate yang terbit pada 2015 ini. Pembaca mungkin akan terkecoh dengan sampul buku berlabel Teenlit ini—atau malah tidak tertarik sama sekali. Tapi, isinya betul-betul perlu dibaca oleh semua orang. Minoel perempuan remaja dan si tokoh utama. Minoel tinggal di sebuah desa di Yogyakarta. Minoel tidak sempurna—terutama karena fisiknya yang pincang. Minoel ingin merasakan apa yang perempuan remaja seusianya rasakan. Minoel ingin punya pacar. Sayangnya, Minoel mendapat musibah. Musibah yang akan mengubah kehidupannya untuk selamanya. Ada apa? Ulasan novel Teenlit “Minoel” lengkap di blog.
5. Cerita-Cerita Bahagia, Hampir Seluruhnya
Menjelang penutup 2020, senang sekali mendapati karya lain yang jadi favorit. Norman Erikson Pasaribu awalnya menerbitkan ini secara mandiri dan membuka prapesan melalui media sosialnya. Mungkin karena banyak peminatnya (yang tentu saja banyak!), Norman memutuskan untuk menerbitkannya secara massal di penerbitnya. Buku ini begitu personal dengan tutur cerita nan magis. Kebanyakan ceritanya memberi kesan sedih dan membuatku bertanya-tanya di mana kebahagiaan yang disebutkan pada judul itu. Butuh beberapa waktu sampai aku menyadari mereka ada di mana. Ulasan kumpulan cerpen “Cerita-Cerita Bahagia, Hampir Seluruhnya” termaktub di Goodreads.
5 buku sepertinya kurang. Rasionya masih 1:16 dari total buku yang dibaca selama 2020. Jadi, dengan senang hati aku sebutkan 5 favorit selanjutnya. Berikut daftarnya.
1. “Ganjil Genap” karya Almira Bastari yang rasanya sudah bertahun-tahun lalu kubaca. Padahal, aku baru membacanya pada Januari 2020 bertepatan dengan rilisnya novel Metropop ini. Sungguhpun, pandemi membuat disorientasi waktu. Selengkapnya: ulasan novel Metropop “Ganjil Genap”.
2. Lanjut ke fiksi karya pengarang perempuan lainnya yaitu Sally Rooney dengan karya barunya yang jadi masyhur berkat serial TV-nya: “Normal People”. Hubungan dua sejoli Marianne dan Connell mungkin akan jadi kisah cinta klasik puluhan tahun yang akan datang. Selengkapnya: ulasan novel romance “Normal People”.
3. Bagaimana dengan buku puisi? Penerbit Anagram menerbitkan terbatas buku puisi karya Charles Bukowski berjudul “Puisi Cinta Paling Mantap”. Puisi-puisinya diterjemahkan oleh Hamzah Muhammad, seorang Betawi yang berani-beraninya membuat puisi Bukowski terasa amat Jakarta. Ulasan buku “Puisi Cinta Paling Mantap” secara singkat ada di Goodreads.
4. Tidak ketinggalan aku akan memfavoritkan novel fantasi. Ada tiga karya dari seri The Trials of Apollo karya Rick Riordan yang kubabat habis selama 2020. Ada buku ketiga “The Burning Maze”, buku keempat “The Tyrant’s Tomb”, dan buku kelima “The Tower of Nero” yang sepertinya sudah terlalu lawas untuk kubuat ulasan lengkapnya. Too bad, really.
5. Yang terakhir alias yang kelima yaitu “Dawuk” karya Mahfud Ikhwan. Ia memang jago menulis fiksi berlatar desa dan menggelontorkan masalah-masalah di dalamnya. Ini adalah buku kedua karya Mahfud yang kubaca setelah “Kambing & Hujan”. Di Goodreads, aku menuliskan ulasan novel “Dawuk”.
***
Dari kesepuluh judul di atas, terlihat sekali bahwa bacaanku semakin beragam—tidak terbatas karya fiksi atau genre fantasi. Dan, memang itu yang kulakukan pada 2020: menantang diri untuk membaca buku yang bukan lingkup kesenangan saja. Aku mulai membaca buku-buku bertema perempuan dan isu feminisme termasuk “Sister Fillah, You'll Never Be Alone” karya Kalis Mardiasih, “Feminis untuk Semua Orang” karya Bell Hooks, dan “Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith?” karya Katrine Marçal.
Aku juga bahagia bisa kembali membaca novel fantasi lokal yaitu “Palagan Nusantara” karya Nellaneva dan “Anak Rembulan” karya Djokolelono. Karya pengarang lokal pun menjadi sorotan utamaku mengingat pada 2019 aku tidak banyak membaca mereka. Beberapa yang perlu kusebutkan yaitu “Represi” karya Fakhrisina Amalia, “CADL” karya Triskaidekaman, “Orang-Orang Oetimu” karya Felix K. Nesi. Belum lagi, aku pun membaca lebih banyak karya luar negeri berunsur diverse seperti “Dear Martin” karya Nic Stone, “Solo” karya Kwame Alexander, dan tiga volume komik “Heartstopper” karya Alice Oseman.
Nah, sampai sini sudah lebih banyak judul buku yang kusebutkan. Beberapa judul di atas mungkin menarik perhatian teman-teman sehingga bisa ditelusuri dan dicari sebagai calon bahan bacaan selanjutnya terutama pada 2021 yang sudah memasuki bulan kedua ini. Sepertinya, tak perlu harapan yang luhur untuk 2021. Bisa bertahan hidup dan konsisten membaca seperti tahun lalu saja sudah cukup. Jadi, selamat tahun 2021!
“2020 was rougher and tougher. Would 2021 be the roughest and the toughest?”
Tidak ada komentar :
Posting Komentar