Edited by Me |
“Keadaan dunia sekarang begitu terpecah-belah. Dan kebanyakan murid di sini adalah minoritas. Mereka merasa tersingkirkan. Mereka melihat benci di mana-mana. Jika mereka bisa belajar dari seseorang yang selamat dari kejadian semacam Holocaust, itu membuat mereka sedikit-banyak kekuatan,” ujar Amy Jeffereis kepada The Hour, manajer perkembangan pemuda sebuah program sepulang-sekolah untuk murid sekolah menengah pertama dan atas di Norwalk, negara bagian Connecticut. Oleh karena keprihatinan itu, organisasi tersebut mengundang Werner Reich, pria 91 tahun yang bertahan dan keluar dari kejinya kamp konsentrasi Auschwitz, untuk bercerita tentang masa lalunya kepada murid-murid. Reich dan ratusan ribu penganut Yahudi lainnya dikurung di dalam kamp itu ketika rezim Nazi Jerman berjaya di hampir seluruh Eropa.
Awal 1940-an, Reich yang baru berusia 15 tahun harus tinggal bersama sepasang asing di Yugoslavia. Ia harus tinggal di sana karena sang ibu merasa ia akan aman bersama pasangan itu. Sayangnya, tentara Jerman menemukan bahwa pasangan itu termasuk kelompok pemberontak dan Reich sendiri adalah seorang Yahudi. Mereka diseret dan disiksa. “Saya berdarah-darah sembari terus menangis. Mereka menghabisi saya sampai mampus,” ujar Reich. Penyiksaan itu belum usai saat ia dibawa ke kamp konsentrasi dan dipaksa kerja memotong semak willow dan membasmi kutu di bangunan-bangunan dengan gas.Sepuluh bulan berlalu, ia dipindahkan ke kamp lain yang mengharuskannya mengenakan seragam dan tubuhnya dinomori dengan tato. Ia bersama puluhan ribu penganut Yahudi lainnya tinggal di barak. Sarapan mereka “roti” terbuat dari tepung dan serbuk gergaji, makan siang mereka air bergaram dengan kentang kotor yang disebut “sup”, dan makan malam mereka “sup” dan “roti” lagi. Tiada asupan gizi dan tiada tisu toilet membuat mereka mudah terserang penyakit—kebanyakan kehilangan gigi dan diare.
Kisah Reich berakhir harapan ketika pada hari kelima “mars mematikan”, ia diselamatkan oleh pasukan Amerika Serikat. Kala itu ia berusia 17 tahun dan hanya berbobot 29 kilogram. Saat seorang murid bertanya bagaimana Reich selamat, ia menjawab itu adalah “keberuntungan murni”.
Awal 1940-an, Reich yang baru berusia 15 tahun harus tinggal bersama sepasang asing di Yugoslavia. Ia harus tinggal di sana karena sang ibu merasa ia akan aman bersama pasangan itu. Sayangnya, tentara Jerman menemukan bahwa pasangan itu termasuk kelompok pemberontak dan Reich sendiri adalah seorang Yahudi. Mereka diseret dan disiksa. “Saya berdarah-darah sembari terus menangis. Mereka menghabisi saya sampai mampus,” ujar Reich. Penyiksaan itu belum usai saat ia dibawa ke kamp konsentrasi dan dipaksa kerja memotong semak willow dan membasmi kutu di bangunan-bangunan dengan gas.Sepuluh bulan berlalu, ia dipindahkan ke kamp lain yang mengharuskannya mengenakan seragam dan tubuhnya dinomori dengan tato. Ia bersama puluhan ribu penganut Yahudi lainnya tinggal di barak. Sarapan mereka “roti” terbuat dari tepung dan serbuk gergaji, makan siang mereka air bergaram dengan kentang kotor yang disebut “sup”, dan makan malam mereka “sup” dan “roti” lagi. Tiada asupan gizi dan tiada tisu toilet membuat mereka mudah terserang penyakit—kebanyakan kehilangan gigi dan diare.
Kisah Reich berakhir harapan ketika pada hari kelima “mars mematikan”, ia diselamatkan oleh pasukan Amerika Serikat. Kala itu ia berusia 17 tahun dan hanya berbobot 29 kilogram. Saat seorang murid bertanya bagaimana Reich selamat, ia menjawab itu adalah “keberuntungan murni”.
Tahun : 2003
Dibaca : 4 Januari 2019
Rating : ★★★★
Perkenalan dengan "The Complete Maus" bermula dari sebuah pertanyaan dari seorang mantan rekan kerja. “Gimana bukunya?” tanya ia saat aku mengembalikan "The Complete Persepolis" karya Marjane Satrapi miliknya. “Bagus. Gue suka kisah tentang pertahanan hidup selalu memberikan api semangat,” jawabku. “Kalau lo suka buku itu, lo harus baca 'The Complete Maus'. Sayangnya, gue nggak punya kopinya.” Setelah percakapan itu, aku iseng mencari tahu di mana aku bisa mendapatkan bukunya. Aku coba mencari di toko buku daring yang ternyata harganya begitu mahal untuk anak baru masuk kerja saat itu. Sempat beberapa kali bertanya pada teman yang mungkin punya kopinya. Sayangnya, nihil. Aku tidak kepikiran sama sekali untuk mencari di perpustakaan. Lagi pula, aku tidak tahu perpustakaan apa saja yang ada di Jakarta saat itu.
Tahun demi tahun berganti, aku berkutat pada buku-buku yang lebih mudah diakses dan melupakan ambisi menemukan "The Complete Maus". Sampai pada beberapa bulan lalu saat seorang teman menyebut-nyebut "The Complete Persepolis" di Twitter—yang kemudian membuat memoriku kembali pada keinginan untuk membaca "The Complete Maus". Bagai belahan hati, kalau sudah berjodoh, buku incaran pun tak akan ke mana. Pencarianku berakhir kala aku menemukan "The Complete Maus" di perpustakaan daerah Scottsdale.
"The Complete Maus" adalah memoar grafis karya Art Spiegelman. Disebut komplit karena buku ini menggabungkan "Maus I: A Survivor’s Tale: My Father Bleeds History" yang diterbitkan pada 1985 dan "Maus II: A Survivor’s Tale: And Here My Troubles Began" yang diterbitkan pada 1991. "Maus I" menceritakan seorang ayah yang berkisah tentang masa lalunya sebagai penyintas rezim Nazi Jerman kepada anaknya. Cerita bermula dari perkenalan keluarga dan damainya kehidupan di Polandia sampai tentara Jerman datang dan merusak ketenteraman hidup. Sang ayah yang seorang Yahudi dipaksa berpisah dengan keluarganya dan jabatannya, lalu mendekam di kamp konsentrasi Auschwitz. "Maus II" adalah lanjutan kisah memilukan sang ayah ketika berada di kamp Auschwitz sampai bagaimana ia kabur ke Amerika Serikat.
Bentuk cerita dibagi menjadi dua lini masa: (1) masa si anak dan sang ayah berinteraksi satu sama lain dan (2) masa sang ayah yang menceritakan pengalamannya di bawah kekejian rezim Nazi Jerman. Setiap bab dalam "The Complete Maus" berformula: lini masa satu dilanjutkan lini masa dua. Dari formula tersebut, pembaca bisa menduga bahwa si anak itu adalah Art Spiegelman itu sendiri. Dan sang ayah adalah ayah kandungnya yang berinteraksi dengannya dan menggulirkan cerita, Vladek Spiegelman. Dari bentuk ini pula pembaca dapat merasakan bagaimana hubungan ayah-anak Spiegelman yang—sayangnya—semakin lama semakin destruktif. Sang ayah selalu menuntut anaknya untuk berlaku seperti dirinya dan berakhir dengan merajuk si anak untuk tinggal bersamanya.
Hal paling krusial dalam "The Complete Maus" adalah penggambaran karakter yang dimunculkan Spiegelman dengan hewan. Setiap hewan merepresentasikan perbedaan ras dan kebangsaan. Pengarang menggunakan tikus untuk menunjukkan kaum Yahudi yang ditindas oleh rezim Nazi Jerman, memakai kucing untuk bangsa Jerman dan tentara Nazi. Ada juga anjing yang digambarkan Spiegelman pada bagian awal Maus II sebagai teman dirinya dan sang pacar. Penyimbolan ini bisa dijelaskan lebih lanjut dengan bagaimana hewan-hewan itu berinteraksi. Kucing adalah penindas tikus dan anjing kadang menyelamatkan tikus dari penindasan kucing.
“I wanted to do something in that melodramatic pulp illustration mode, complete with venetian blind shadows, but with animal faces in which the denouement would have the protagonist getting crushed to death by a giant mousetrap that snaps shut on his body,” begitu ujar Spiegelman saat ditanya tentang idenya menggambar tikus kepada The New York Review. Singkat kata, karakter hewan dipilihnya agar lebih melodramatis dan berbeda.
Aku sudah menduga bahwa buku ini akan amat memilukan. Dengan grafis tanpa sensor, aku melihat gambar-gambar Spiegelman menyajikan penyiksaan-penyiksaan yang dialami sang ayah secara gamblang. Tidak lupa gambar-gambar tentang peristiwa Holocaust. Bila tidak sanggup untuk melihat gambar-gambar asli kekejian yang dilakukan oleh rezim Nasi Jerman, buku ini bisa menjadi alternatif untuk menilik dengan sedikit lebih “nyaman”. Di sisi lain, latar belakang Vladek sebagai pengusaha membuatnya punya banyak cara agar ia tetap hidup walaupun itu di dalam kamp yang mengerikan. Untuk tetap bertahan, Vladek melakukan pekerjaan apa saja yang menyenangkan hati tentara Jerman. Sampai akhirnya ada peluang untuk berkompromi dan kabur, ia menggunakan kesempatan itu dengan hati-hati. Harapan, optimisme, dan kegigihan menjadi nilai-nilai yang dapat disarikan dari sosok Vladek. Nilai-nilai yang sama kuatnya dengan kisah yang disampaikan Werner Reich kepada murid-murid minoritas di Norwalk.
Campuran otobiografi Art Spiegelman bersama sang ayah dan biografi Vladek yang digambarkan si anak menjadikan kisah dalam buku ini kompleks. Pengarang tidak hanya memberikan konteks masa lalu dari sudut pandang sang ayah, tetapi juga memberikan gambaran bagaimana interaksi dirinya dan sang ayah yang tidak mulus. Tak pelak, Art Spiegelman mendapat penghargaan Special Citations and Awards Pulitzer Prize pada 1992 atas Maus, sebagaimana E.B. White pada 1978 atas surat-surat, esai dan seluruh karyanya atau Bob Dylan pada 2008 atas dampak mendalamnya pada musik populer dan budaya Amerika. "The Complete Maus" patut menjadi karya klasik penting masa depan.
Rating : ★★★★
“And now I thought: ‘How amazing it is that a human being reacts the same like this neighbor’s dog.’” (hlm. 242)
Perkenalan dengan "The Complete Maus" bermula dari sebuah pertanyaan dari seorang mantan rekan kerja. “Gimana bukunya?” tanya ia saat aku mengembalikan "The Complete Persepolis" karya Marjane Satrapi miliknya. “Bagus. Gue suka kisah tentang pertahanan hidup selalu memberikan api semangat,” jawabku. “Kalau lo suka buku itu, lo harus baca 'The Complete Maus'. Sayangnya, gue nggak punya kopinya.” Setelah percakapan itu, aku iseng mencari tahu di mana aku bisa mendapatkan bukunya. Aku coba mencari di toko buku daring yang ternyata harganya begitu mahal untuk anak baru masuk kerja saat itu. Sempat beberapa kali bertanya pada teman yang mungkin punya kopinya. Sayangnya, nihil. Aku tidak kepikiran sama sekali untuk mencari di perpustakaan. Lagi pula, aku tidak tahu perpustakaan apa saja yang ada di Jakarta saat itu.
Tahun demi tahun berganti, aku berkutat pada buku-buku yang lebih mudah diakses dan melupakan ambisi menemukan "The Complete Maus". Sampai pada beberapa bulan lalu saat seorang teman menyebut-nyebut "The Complete Persepolis" di Twitter—yang kemudian membuat memoriku kembali pada keinginan untuk membaca "The Complete Maus". Bagai belahan hati, kalau sudah berjodoh, buku incaran pun tak akan ke mana. Pencarianku berakhir kala aku menemukan "The Complete Maus" di perpustakaan daerah Scottsdale.
"The Complete Maus" adalah memoar grafis karya Art Spiegelman. Disebut komplit karena buku ini menggabungkan "Maus I: A Survivor’s Tale: My Father Bleeds History" yang diterbitkan pada 1985 dan "Maus II: A Survivor’s Tale: And Here My Troubles Began" yang diterbitkan pada 1991. "Maus I" menceritakan seorang ayah yang berkisah tentang masa lalunya sebagai penyintas rezim Nazi Jerman kepada anaknya. Cerita bermula dari perkenalan keluarga dan damainya kehidupan di Polandia sampai tentara Jerman datang dan merusak ketenteraman hidup. Sang ayah yang seorang Yahudi dipaksa berpisah dengan keluarganya dan jabatannya, lalu mendekam di kamp konsentrasi Auschwitz. "Maus II" adalah lanjutan kisah memilukan sang ayah ketika berada di kamp Auschwitz sampai bagaimana ia kabur ke Amerika Serikat.
Bentuk cerita dibagi menjadi dua lini masa: (1) masa si anak dan sang ayah berinteraksi satu sama lain dan (2) masa sang ayah yang menceritakan pengalamannya di bawah kekejian rezim Nazi Jerman. Setiap bab dalam "The Complete Maus" berformula: lini masa satu dilanjutkan lini masa dua. Dari formula tersebut, pembaca bisa menduga bahwa si anak itu adalah Art Spiegelman itu sendiri. Dan sang ayah adalah ayah kandungnya yang berinteraksi dengannya dan menggulirkan cerita, Vladek Spiegelman. Dari bentuk ini pula pembaca dapat merasakan bagaimana hubungan ayah-anak Spiegelman yang—sayangnya—semakin lama semakin destruktif. Sang ayah selalu menuntut anaknya untuk berlaku seperti dirinya dan berakhir dengan merajuk si anak untuk tinggal bersamanya.
Salah satu panel dalam "The Complete Maus" |
Hal paling krusial dalam "The Complete Maus" adalah penggambaran karakter yang dimunculkan Spiegelman dengan hewan. Setiap hewan merepresentasikan perbedaan ras dan kebangsaan. Pengarang menggunakan tikus untuk menunjukkan kaum Yahudi yang ditindas oleh rezim Nazi Jerman, memakai kucing untuk bangsa Jerman dan tentara Nazi. Ada juga anjing yang digambarkan Spiegelman pada bagian awal Maus II sebagai teman dirinya dan sang pacar. Penyimbolan ini bisa dijelaskan lebih lanjut dengan bagaimana hewan-hewan itu berinteraksi. Kucing adalah penindas tikus dan anjing kadang menyelamatkan tikus dari penindasan kucing.
“I wanted to do something in that melodramatic pulp illustration mode, complete with venetian blind shadows, but with animal faces in which the denouement would have the protagonist getting crushed to death by a giant mousetrap that snaps shut on his body,” begitu ujar Spiegelman saat ditanya tentang idenya menggambar tikus kepada The New York Review. Singkat kata, karakter hewan dipilihnya agar lebih melodramatis dan berbeda.
Aku sudah menduga bahwa buku ini akan amat memilukan. Dengan grafis tanpa sensor, aku melihat gambar-gambar Spiegelman menyajikan penyiksaan-penyiksaan yang dialami sang ayah secara gamblang. Tidak lupa gambar-gambar tentang peristiwa Holocaust. Bila tidak sanggup untuk melihat gambar-gambar asli kekejian yang dilakukan oleh rezim Nasi Jerman, buku ini bisa menjadi alternatif untuk menilik dengan sedikit lebih “nyaman”. Di sisi lain, latar belakang Vladek sebagai pengusaha membuatnya punya banyak cara agar ia tetap hidup walaupun itu di dalam kamp yang mengerikan. Untuk tetap bertahan, Vladek melakukan pekerjaan apa saja yang menyenangkan hati tentara Jerman. Sampai akhirnya ada peluang untuk berkompromi dan kabur, ia menggunakan kesempatan itu dengan hati-hati. Harapan, optimisme, dan kegigihan menjadi nilai-nilai yang dapat disarikan dari sosok Vladek. Nilai-nilai yang sama kuatnya dengan kisah yang disampaikan Werner Reich kepada murid-murid minoritas di Norwalk.
Campuran otobiografi Art Spiegelman bersama sang ayah dan biografi Vladek yang digambarkan si anak menjadikan kisah dalam buku ini kompleks. Pengarang tidak hanya memberikan konteks masa lalu dari sudut pandang sang ayah, tetapi juga memberikan gambaran bagaimana interaksi dirinya dan sang ayah yang tidak mulus. Tak pelak, Art Spiegelman mendapat penghargaan Special Citations and Awards Pulitzer Prize pada 1992 atas Maus, sebagaimana E.B. White pada 1978 atas surat-surat, esai dan seluruh karyanya atau Bob Dylan pada 2008 atas dampak mendalamnya pada musik populer dan budaya Amerika. "The Complete Maus" patut menjadi karya klasik penting masa depan.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar