12 Desember 2017

Pertunjukan The Little Prince oleh Rumah Karya Sjuman

Edited by Me

"The Little Prince" kubaca sekitar dua tahun lalu. Kala itu, aku menyatakan dalam ulasanku bahwa aku tidak memahami arti cerita yang dikandungnya. Bahwa bahasanya terlalu metafora dan langsung. Tak lama berselang, "The Little Prince" versi filmnya tayang. Aku yang berusaha untuk memahami apa yang terjadi pada Pangeran Cilik ini nekat menonton filmnya. Tidak buruk, aku jadi mengerti apa yang dimaksud dari ceritanya. Versi film sedikit berbeda. Ada seorang anak perempuan sebagai tokoh utama dan ibunya yang keduanya tidak terceritakan di dalam buku. Menurutku, itu beralasan. Kisah dalam bukunya sedikit sulit untuk diterangkan secara visual sehingga penambahan tokoh anak perempuan dan ibunya bisa memudahkan penjelasan ceritanya. Seperti yang temanku bilang, "Kisah aslinya tidak dimaksudkan untuk ditafsirkan dengan mudah."

Melalui filmnya, aku mulai mengerti tentang apa yang ingin disampaikan oleh pengarang. Singkatnya, "The Little Prince" memperlihatkan dunia orang dewasa dari kacamata seorang anak-anak. Bahwa menjadi dewasa itu begitu rumit dan egois, mereka hanya fokus pada hal-hal yang mereka gemari. Mereka sombong. Mereka suka dengan kekuasaan, teori-teori, dan angka-angka. Hal ini membuat penikmat "The Little Prince" dihadang oleh masa kecil mereka. Mereka yang dewasa akan diingatkan tentang bagaimana menjadi anak-anak yang bebas dan tak dikekang apa pun. Beberapa di antaranya mungkin berkeinginan untuk kembali jadi anak-anak. Memunculkan sindrom Peter Pan dan sugestinya bahwa menjadi anak-anak akan selalu menyenangkan.

***

Minggu, 10 Desember 2017 lalu, aku menghadiri "Pertunjukan The Little Prince" yang digelar oleh Rumah Karya Sjuman. Acara yang juga berkolaborasi dengan para penari dari Sumber Cipta Ballet dan Fantasia Ensemble itu mementaskan sebuah cerita "The Little Prince" karya Antoine de Saint-Exupéry. Pertunjukan tersebut disutradarai oleh Aksan Sjuman yang sekaligus sebagai penata musik bersama Mery Kasiman. Ide membuat pertunjukan panggung datang dari Aksan setelah menonton film animasinya. Ia lalu membaca bukunya dan merumuskan sebuah pementasan dengan kolaborasi musik, tari, dan teatrikal. Ada sekitar 150 orang yang terlibat dalam proyek ini dan 90 persennya adalah penari yang masih muda. Aksan sendiri menciptakan 21 aransemen musik asli yang terinspirasi dari buku. Sebelum acara, aku sungguh berharap pertunjukan ini mengukuhkan pemahamanku atas kisah "The Little Prince".

Sejak tahu informasi "Pertunjukan The Little Prince", aku tidak berminat untuk menontonnya. Alasan utamanya jelas karena acara ini berbayar. Juga ketika Rifda, rekan sesama penggemar baca, menawarkan tiket di grup WhatsApp kami, aku masih belum ada keinginan untuk menontonnya. Hingga tibalah hari pertama pertunjukan dan beberapa netizen memberikan ulasannya melalui media sosial. Setelah membacanya, aku secara impulsif menghubungi Rifda dan bertanya apakah ada tiket yang tersisa. Tak lama, satu tiket kudapatkan. Saat itu aku tidak tahu pertunjukan seperti apa yang akan kutonton. Yang kutahu, pertunjukan itu berdasarkan kisah "The Little Prince" karya Antoine de Saint-Exupéry. Sampai tibalah hari Minggu sore itu, dan aku sedikit tertegun bahwa aku menonton pertunjukan balet. Aku sedikit ragu akan menikmatinya.

Buklet dan Buku "The Little Prince" (dok. pribadi)

Pertunjukan dimulai pukul empat sore lebih sedikit. Aku, Rifda, dan beberapa rekan lain sudah menempati bangku masing-masing. Lampu meredup hingga gelap menyelimuti ruangan teater. Acara dibuka oleh tiga bentuk tarian balet solo yang tidak bersangkutan dengan "The Little Prince". Ketika itu, aku berpikir bahwa aku mungkin akan merasa bosan. Sungguh aku tidak tahu-menahu tentang balet. Tapi teringat bahwa aku sudah mengais-ngais IDR 200K untuk pertunjukan itu, aku tetap bergeming di tempat duduk. Pembawa acara membuka acara dengan dwibahasa: bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, memperkenalkan sang konduktor dan ansambel, lalu mengalunlah musik pembuka acara inti. Aku masih bergeming, menajamkan indra pendengaran, memejamkan mata, dan mulai terhanyut. Alunan syahdu menguar. Tiba-tiba, kepalaku ikut bergerak ke kanan dan kiri mengikuti irama. Saat itu aku meninggalkan rasa ragu dan bergerak menikmati pertunjukan.

Pertunjukan terdiri atas dua babak. Babak pertama diawali dengan sebuah gambar yang terkenal dari kisah ini. Seorang anak memperlihatkan gambar itu kepada para orang dewasa. Sang anak menjelaskannya sebagai seekor ular yang memakan mangsanya. Namun para orang tua menganggapnya gambar topi biasa. Pertunjukan berlanjut dengan adegan-adegan yang merepresentasikan bukunya. Dari adegan gambar tiga domba, Pangeran Cilik yang bertemu dengan Sang Aviator, berlanjut ke adegan Pangeran Cilik yang bertemu dengan pohon-pohon baobab dan mawar, hingga adegan-adegan Pangeran Cilik berkunjung ke asteroid-asteroid yang dihuni para dewasa. Babak pertama usai dan dilanjutkan istirahat selama 15 menit.

Babak kedua terlihat lebih meriah. Berbeda dengan babak pertama yang hampir setiap adegannya berisi grup-grup kecil penari balet, adegan-adegan pada babak kedua berisi grup-grup yang lebih banyak penari baletnya. Dan aku menyukai dua adegan pada babak kedua ini: adegan "Ayam & Rubah" dan adegan "Aviator & Ular". Saking menikmatinya, aku tidak bisa lagi membandingkan apakah satu adegan dalam babak kedua ini terdapat dalam cerita aslinya. Dan sungguh adegan "Aviator & Ular" yang berisi pertarungan antara keduanya bisa dibilang yang paling memukau. Bayangkan seseorang melawan seekor ular yang diperankan oleh seseorang yang berlekak-lekuk bagaikan ular. Belum lagi keduanya harus mengikuti irama musik.

***

Untuk seseorang yang baru pertama kali menonton pertunjukan balet, aku menikmatinya. Namun, aku merasa seperti ada yang kurang. Beberapa adegan memang memukau, namun sebagian yang lain terlihat tidak padu satu sama lain. Apalagi pada adegan-adegan bergrup yang sepertinya akan lebih memesona jika lebih sinkron dan simetris. Terlepas dari balet, teknis acaranya pun tidak total. Pembawa acara memang menggunakan dwibahasa. Tapi selama pertunjukan berlangsung, ketika teks layar dan para pemain berdialog menggunakan bahasa Indonesia, tidak ada bentuk terjemahan bahasa Inggris-nya. Sayang saja mengingat banyak penonton dari luar negeri. Aku juga sedikit menyayangkan buklet acara yang ternyata harus bayar terpisah, walaupun pada akhirnya aku merogoh kocek IDR 30K untuk mendapatkannya.

Terlepas dari itu, secara keseluruhan, aku menikmati "Pertunjukan The Little Prince" ini. Aku amat menyukai alunan ansambelnya. Masih terngiang bagaimana musik pembuka dapat membuatku hanyut dan menggeleng-gelengkan kepala seirama musiknya. Aku harap aransemen musik pertunjukan ini dapat dinikmati di luar acara. Satu lagi, aku yakin mereka yang belum baca buku atau tonton film "The Little Prince" tidak bisa mengikuti alur pertunjukan ini. Tapi, setidaknya, pertunjukannya menghibur.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar