Edited by Me |
Halo! Wah, kita sudah berada pada pengujung tahun 2017.
Seperti penggila film yang akan menuliskan film-film terbaik yang ditontonnya, penyuka musik yang akan menuliskan lagu-lagu atau album-album yang bikin mereka terpukau dengan lirik yang kuat, juga seperti para petualang yang akan membuat daftar tempat-tempat terindah yang sudah dikunjungi selama setahun ini, aku si kutu buku tidak akan melewatkan pengujung tahun ini dengan hanya berdiam diri. Seperti tahun lalu, aku membuat daftar bacaan yang membuatku berkesan pada tahun 2017 ini. Buku-buku yang kusebutkan masuk kriteria tak bisa dilupakan—baik itu dari ceritanya maupun karakternya. Tidak perlu berlama-lama lagi, berikut daftarnya yang kuurutkan dari buku yang paling awal kubaca pada tahun ini.
Aku mulai gandrung komik. Mungkin itu perubahan paling drastis yang akan kuingat sepanjang tahun ini. Diawali dengan Solanin, aku mulai berlama-lama di rak komik kala berada di toko buku. Aku mulai melihat-lihat dan mencari tahu apakah komik itu memiliki berjubel volume. Tentu saja aku tidak mau membaca komik yang memiliki berjubel volume. Bisa-bisa timbunan novelku berjaring laba-laba. Aku coba membaca komik satuan atau yang memiliki kurang dari sepuluh volume. Aku juga tertarik pada komik buatan anak negeri karena aku memang mencintai produk-produk Indonesia. Hingga aku bertemu dengan seri "H2O: Reborn" yang waktu itu baru terbit dua volume dan infonya volume ketiga sekaligus yang terakhirnya akan terbit dalam waktu dekat. Lagi pula, aku sedikit tahu kreatornya, Sweta Kartika. (Aku juga pernah berfoto bersamanya sekitar dua tahun lalu.)
Aku tidak bisa mengomentari banyak gambar bikinannya karena siapalah aku anak bau kencur dalam dunia perkomikan. Yang kurasakan, aku sedikit falimier dengan gambarnya—khas dan tandas. Karakter yang disajikan pun kuat-kuat. Aku suka hubungan Sita si manusia dan Hans si robot. Aku pun suka dengan isu yang diangkat; tentang kehidupan manusia yang berdampingan dengan robot yang mereka ciptakan sendiri. Dan ternyata, Februari 2018 mendatang akan ada pertunjukan teaternya. Aku khawatir bagaimana rupa para karakternya nanti—terutama Hans. Temukan info lengkap "H2O Reborn: Rupaka" di sini dan siapa tahu kita bisa bertemu saat acara nanti. Cari tahu melalui ulasanku dari masing-masing volume berikut.
Oh ya, tahu "cadas", kan? Bukan. Bukan lapisan tanah keras seperti yang dijelaskan dalam KBBI V. "Cadas" yang kumaksudkan di sini merupakan kata gaul yang didefinisikan sebagai sesuatu yang keren. Masa, sih? Temukan jawabannya di sini. Aku menggunakan kata itu supaya seirama dengan frasa awalnya.
Aku seperti disihir untuk buka halaman awal lagi dan membacanya ulang sesaat setelah menyelesaikan "One of Us Is Lying". Aku begitu terhanyut dengan kehidupan dan masalah keempat remaja di dalam buku ini. (Baru sadar ternyata aku sama seperti masyarakat Indonesia kebanyakan yang suka dengan masalah orang lain. Tapi "orang lain" di sini adalah tokoh fiksional sih. Hahaha. Mati bae kowe, Raaf.) Nah, ternyata salah satu tokoh di dalam buku ini juga mati alias meninggal karena keracunan kacang. Yang menarik adalah akibat kematiannya disengaja dan empat remaja tadi dicurigai karena berada dalam satu ruangan bersama si tokoh yang tewas ini. Masalahnya lagi, mereka adalah murid sekolah menengah atas yang tidak begitu dekat satu sama lain selain ketika berada di ruangan detensi saat peristiwa itu terjadi.
Semoga penjabaran tersebut membuatmu ingin segera membacanya karena aku bahkan sudah ingin segera membacanya hanya karena membaca blurb pada sampul belakangnya. Untungnya, ekspektasiku tetap terjaga sampai kisah ini berakhir. Aku suka bagaimana McManus menuliskan kisahnya melalui sudut pandang para murid yang dicuragai—keempat remaja itu. Aku suka digandrungi rasa ingin tahu yang amat sangat tentang siapa yang sengaja membunuh. Aku suka bagaimana setiap murid memiliki masalah dan rahasia kecilnya masing-masing. Aku suka kebohongan-kebohongan yang dibuat oleh masing-masing murid itu. Aku juga suka dengan jabaran control freak dan aggrieved entitlement yang baru kudengar istilahnya namun ternyata kerap terjadi pada kehidupan remaja. Wah, sepertinya aku memang harus membuat ulasan utuhnya karena aku hanya menuliskan sekelebat di Goodreads. Tapi yang pasti, buku ini menjadi salah satu bacaan paling berkesan tahun ini.
Apa sih yang kamu harapkan dari karya penulis favoritmu? Pernahkah kamu merasa bosan dengan formulasi cerita itu-itu saja yang dibuatnya? Bagaimana jika kamu tidak menyukai karya terbaru penulis favoritmu? Apakah kamu tidak akan menjadikannya favorit lagi? (Sungguh Aku benci sisi diriku yang penyinyir ulung ini.) Aku tentu saja mengabaikan pertanyaan-pertanyaan tersebut karena tidak pernah dibuat kecewa oleh penulis favoritku yang ini. Hampir semua karyanya telah kubaca. Walaupun ada karyanya yang sedikit membosankan (sedikit lho), namun secara keseluruhan aku tidak dikecewakan. Yang aku maksud dari kalimat terakhir tentu saja seri "Magnus Chase and the Gods of Asgard". "The Hammer of Thor" (seri kedua) hanya kuberi rating tiga dan merupakan karya Rick Riordan yang paling tidak kuhargai secara semestinya. Aku sampai menggerutu di sini. Namun, entah karena karma atau kutukan atas gerutuanku pada penulis favoritku, buku ketiga alias pemungkas alias yang judulnya "The Ship of the Dead" malah membuatku tercengang.
Hal kentara utama yang disajikan dari seri ini adalah unsur diversitas yang kental. Penjabaran tentang Islam, ateis, hingga gender fluid amat terang-benderang disampaikan. Isu diversitas ini memang sedang digalakkan di Amerika Serikat sehingga menjadi perhatian khusus para penulis novel remaja dan anak-anak di sana. Formula kisahnya tipikal Rick Riordan, tentang sekumpulan remaja yang merupakan anak hasil pembuahan dewa-dewi mitologi dengan manusia. Bedanya, seri "Magnus Chase and the Gods of Asgard" ini bertema mitologi Nordik. "The Ship of the Dead" membawa pembaca mengikuti Magnus Chase dan kawan-kawannya menyongsong maut untuk menangguhkan Ragnarok—alias pertemuan akhir dunia mitologi Nordik. Anehnya, aku tidak bosan. Aku bahkan menitikkan air mata berkali-kali sampai lengan kaosku basah (ini serius lho). Jadi, yah, bagaimana aku bisa melupakan kisah pemungkas epik nan realistis ini? Baca ucapan perpisahanku kepada Magnus Chase di sini.
Oh ya, aku bahkan jadi lebih kreatif seusai membaca "The Ship of the Dead". Buktinya, aku membuat poster tentang satu kutipan paling epik dari buku ini. Dan aku berencana untuk mencetaknya dan menempelkannya di dinding kamar.
Sudah? Hanya tiga?
Mau berapa banyak? Baiklah, bila memaksa. Beberapa judul berikut kusebut atas dasar kehormatanku pada penulis dan karyanya dan tentu saja ceritanya. Tiga berikut adalah buku-buku dengan rating sempurna: "The Storied Life of A.J. Fikry" karya Gabrielle Zevin (buku fiksi romansa bertema buku yang kisahnya akan jadi angan-angan dan #RelationshipGoal bagi para kutu buku—termasuk diriku sendiri), "The Dark Prophecy" (buku kedua seri "The Trials of Apollo" karya Rick Riordan), dan "Solanin" volume 2 karya Inio Asano (serial komik pertama yang kubeli dan seri kedua ini lebih menampol daripada seri pertamanya). Ketiganya bisa dikatakan memukauku tapi masih kalah "berkesan" dengan yang kusebutkan di atas.
Beberapa buku ber-rating empat juga kuikutsertakan karena mungkin memiliki kans untuk kubaca ulang juga suatu saat nanti: "Of Mice and Men" karya John Steinbeck, "The Hate U Give" karya Angie Thomas, "Nimona" karya Noelle Stevenson, "Ways to Live Forever" karya Sally Nicholls, dan "Dark Matter" karya Blake Crouch. Jangan salahkan aku bila aku menyebutkan banyak buku. Karena aku memang membaca banyak buku tahun ini.
2017 adalah tahun keteteran. Aku yang membaca banyak buku adalah satu hal. Menuliskan ulasan atas setiap buku yang kubaca adalah hal lain. Pada ulasan "Five People You Meet in Heaven", aku bahkan bertekad untuk mengejar ketertinggalan dalam mengulas buku-buku yang sudah kubaca dua bulan sebelumnya. Berhasilkah? Aku berusaha. Dua buku kukejar dengan mengulasnya. Namun, aku tetap terus membaca—yang membuat utang ulasanku semakin menumpuk—dan keinginan untuk menuliskan ulasan hanya sekadar keinginan. Yah, akhirnya aku menyerah pada idealismeku sendiri. Bahwa aku sudah tidak bisa lagi menuliskan ulasan dari setiap buku yang kubaca. Paling banter, aku membuatnya singkat di Goodreads. Itu saja aku merasa bersyukur karena masih bisa menuangkan apa yang ada di dalam kepala seusai membaca sebuah buku. Goodreads, junjunganku!
Aku menilik kembali apa musabab dari kehancuran idealismeku sendiri—yang huft banget. Aku bilang (pada pos ini) bahwa bulan April dan Mei masih baik-baik saja. Tiba-tiba bulan Juni hanya ada satu tayangan artikel dan itu pun atas permintaan penerbit. Lalu, aku ingat bahwa bulan-bulan itu adalah masa transisi dan adaptasi perpindahan pekerjaanku dari content writer di SCOOP menjadi editor di Jurnal Ruang. Perpindahan yang amat berarti sekaligus menantang bagiku. Pada saat itu mungkin aku sedang stres-stres gembira melakukan pekerjaan baruku. Dan, yah, karena mengurusi sebuah web berbasis tulisan di sana, aku tidak ada waktu untuk mengurusi tulisan di sini. Jadi, beginikah cara hidup dewasa? Berterima dengan keadaan yang tidak bisa dikendalikan? Oh, aku benci menjadi dewasa. (Ckck. Benar-benar meracau ya.)
Terlepas dari itu, aku membaca lebih banyak buku tahun ini (eh, ini sudah kusebutkan berapa kali ya?). Itu pun berkat pekerjaanku sekarang yang mengharuskanku membaca lebih banyak bentuk karya fiksi dan literatur. Betapa menantangnya! Bagaimana jika aku tidak menyukainya? Bekerja memang sesuatu yang harus kamu lakukan tidak peduli alasannya—setidak suka apa pun kamu. Aku berharap tahun depan aku lebih bisa menikmati pekerjaanku bagaimanapun caranya. Anu, aku sudah menyukainya sedari awal kok. Jadi, sampai jumpa pada 2018!
Baca Juga:
Buku Paling Berkesan 2016 dan Sedikit Gunjingan
Year End Recap 2015
Seperti penggila film yang akan menuliskan film-film terbaik yang ditontonnya, penyuka musik yang akan menuliskan lagu-lagu atau album-album yang bikin mereka terpukau dengan lirik yang kuat, juga seperti para petualang yang akan membuat daftar tempat-tempat terindah yang sudah dikunjungi selama setahun ini, aku si kutu buku tidak akan melewatkan pengujung tahun ini dengan hanya berdiam diri. Seperti tahun lalu, aku membuat daftar bacaan yang membuatku berkesan pada tahun 2017 ini. Buku-buku yang kusebutkan masuk kriteria tak bisa dilupakan—baik itu dari ceritanya maupun karakternya. Tidak perlu berlama-lama lagi, berikut daftarnya yang kuurutkan dari buku yang paling awal kubaca pada tahun ini.
Gambar Khas dan Karakter Cadas dalam Seri "H2O: Reborn"
Aku mulai gandrung komik. Mungkin itu perubahan paling drastis yang akan kuingat sepanjang tahun ini. Diawali dengan Solanin, aku mulai berlama-lama di rak komik kala berada di toko buku. Aku mulai melihat-lihat dan mencari tahu apakah komik itu memiliki berjubel volume. Tentu saja aku tidak mau membaca komik yang memiliki berjubel volume. Bisa-bisa timbunan novelku berjaring laba-laba. Aku coba membaca komik satuan atau yang memiliki kurang dari sepuluh volume. Aku juga tertarik pada komik buatan anak negeri karena aku memang mencintai produk-produk Indonesia. Hingga aku bertemu dengan seri "H2O: Reborn" yang waktu itu baru terbit dua volume dan infonya volume ketiga sekaligus yang terakhirnya akan terbit dalam waktu dekat. Lagi pula, aku sedikit tahu kreatornya, Sweta Kartika. (Aku juga pernah berfoto bersamanya sekitar dua tahun lalu.)
Seri H2O Reborn |
Aku tidak bisa mengomentari banyak gambar bikinannya karena siapalah aku anak bau kencur dalam dunia perkomikan. Yang kurasakan, aku sedikit falimier dengan gambarnya—khas dan tandas. Karakter yang disajikan pun kuat-kuat. Aku suka hubungan Sita si manusia dan Hans si robot. Aku pun suka dengan isu yang diangkat; tentang kehidupan manusia yang berdampingan dengan robot yang mereka ciptakan sendiri. Dan ternyata, Februari 2018 mendatang akan ada pertunjukan teaternya. Aku khawatir bagaimana rupa para karakternya nanti—terutama Hans. Temukan info lengkap "H2O Reborn: Rupaka" di sini dan siapa tahu kita bisa bertemu saat acara nanti. Cari tahu melalui ulasanku dari masing-masing volume berikut.
Siapa yang Jadi Pembohong dalam "One of Us Is Lying"?
Aku seperti disihir untuk buka halaman awal lagi dan membacanya ulang sesaat setelah menyelesaikan "One of Us Is Lying". Aku begitu terhanyut dengan kehidupan dan masalah keempat remaja di dalam buku ini. (Baru sadar ternyata aku sama seperti masyarakat Indonesia kebanyakan yang suka dengan masalah orang lain. Tapi "orang lain" di sini adalah tokoh fiksional sih. Hahaha. Mati bae kowe, Raaf.) Nah, ternyata salah satu tokoh di dalam buku ini juga mati alias meninggal karena keracunan kacang. Yang menarik adalah akibat kematiannya disengaja dan empat remaja tadi dicurigai karena berada dalam satu ruangan bersama si tokoh yang tewas ini. Masalahnya lagi, mereka adalah murid sekolah menengah atas yang tidak begitu dekat satu sama lain selain ketika berada di ruangan detensi saat peristiwa itu terjadi.
Semoga penjabaran tersebut membuatmu ingin segera membacanya karena aku bahkan sudah ingin segera membacanya hanya karena membaca blurb pada sampul belakangnya. Untungnya, ekspektasiku tetap terjaga sampai kisah ini berakhir. Aku suka bagaimana McManus menuliskan kisahnya melalui sudut pandang para murid yang dicuragai—keempat remaja itu. Aku suka digandrungi rasa ingin tahu yang amat sangat tentang siapa yang sengaja membunuh. Aku suka bagaimana setiap murid memiliki masalah dan rahasia kecilnya masing-masing. Aku suka kebohongan-kebohongan yang dibuat oleh masing-masing murid itu. Aku juga suka dengan jabaran control freak dan aggrieved entitlement yang baru kudengar istilahnya namun ternyata kerap terjadi pada kehidupan remaja. Wah, sepertinya aku memang harus membuat ulasan utuhnya karena aku hanya menuliskan sekelebat di Goodreads. Tapi yang pasti, buku ini menjadi salah satu bacaan paling berkesan tahun ini.
Kutukan Rick Riordan dalam Seri Pemungkas Magnus Chase
Hal kentara utama yang disajikan dari seri ini adalah unsur diversitas yang kental. Penjabaran tentang Islam, ateis, hingga gender fluid amat terang-benderang disampaikan. Isu diversitas ini memang sedang digalakkan di Amerika Serikat sehingga menjadi perhatian khusus para penulis novel remaja dan anak-anak di sana. Formula kisahnya tipikal Rick Riordan, tentang sekumpulan remaja yang merupakan anak hasil pembuahan dewa-dewi mitologi dengan manusia. Bedanya, seri "Magnus Chase and the Gods of Asgard" ini bertema mitologi Nordik. "The Ship of the Dead" membawa pembaca mengikuti Magnus Chase dan kawan-kawannya menyongsong maut untuk menangguhkan Ragnarok—alias pertemuan akhir dunia mitologi Nordik. Anehnya, aku tidak bosan. Aku bahkan menitikkan air mata berkali-kali sampai lengan kaosku basah (ini serius lho). Jadi, yah, bagaimana aku bisa melupakan kisah pemungkas epik nan realistis ini? Baca ucapan perpisahanku kepada Magnus Chase di sini.
Edited by Me |
Oh ya, aku bahkan jadi lebih kreatif seusai membaca "The Ship of the Dead". Buktinya, aku membuat poster tentang satu kutipan paling epik dari buku ini. Dan aku berencana untuk mencetaknya dan menempelkannya di dinding kamar.
***
Sudah? Hanya tiga?
Mau berapa banyak? Baiklah, bila memaksa. Beberapa judul berikut kusebut atas dasar kehormatanku pada penulis dan karyanya dan tentu saja ceritanya. Tiga berikut adalah buku-buku dengan rating sempurna: "The Storied Life of A.J. Fikry" karya Gabrielle Zevin (buku fiksi romansa bertema buku yang kisahnya akan jadi angan-angan dan #RelationshipGoal bagi para kutu buku—termasuk diriku sendiri), "The Dark Prophecy" (buku kedua seri "The Trials of Apollo" karya Rick Riordan), dan "Solanin" volume 2 karya Inio Asano (serial komik pertama yang kubeli dan seri kedua ini lebih menampol daripada seri pertamanya). Ketiganya bisa dikatakan memukauku tapi masih kalah "berkesan" dengan yang kusebutkan di atas.
Beberapa buku ber-rating empat juga kuikutsertakan karena mungkin memiliki kans untuk kubaca ulang juga suatu saat nanti: "Of Mice and Men" karya John Steinbeck, "The Hate U Give" karya Angie Thomas, "Nimona" karya Noelle Stevenson, "Ways to Live Forever" karya Sally Nicholls, dan "Dark Matter" karya Blake Crouch. Jangan salahkan aku bila aku menyebutkan banyak buku. Karena aku memang membaca banyak buku tahun ini.
2017 adalah tahun keteteran. Aku yang membaca banyak buku adalah satu hal. Menuliskan ulasan atas setiap buku yang kubaca adalah hal lain. Pada ulasan "Five People You Meet in Heaven", aku bahkan bertekad untuk mengejar ketertinggalan dalam mengulas buku-buku yang sudah kubaca dua bulan sebelumnya. Berhasilkah? Aku berusaha. Dua buku kukejar dengan mengulasnya. Namun, aku tetap terus membaca—yang membuat utang ulasanku semakin menumpuk—dan keinginan untuk menuliskan ulasan hanya sekadar keinginan. Yah, akhirnya aku menyerah pada idealismeku sendiri. Bahwa aku sudah tidak bisa lagi menuliskan ulasan dari setiap buku yang kubaca. Paling banter, aku membuatnya singkat di Goodreads. Itu saja aku merasa bersyukur karena masih bisa menuangkan apa yang ada di dalam kepala seusai membaca sebuah buku. Goodreads, junjunganku!
Aku menilik kembali apa musabab dari kehancuran idealismeku sendiri—yang huft banget. Aku bilang (pada pos ini) bahwa bulan April dan Mei masih baik-baik saja. Tiba-tiba bulan Juni hanya ada satu tayangan artikel dan itu pun atas permintaan penerbit. Lalu, aku ingat bahwa bulan-bulan itu adalah masa transisi dan adaptasi perpindahan pekerjaanku dari content writer di SCOOP menjadi editor di Jurnal Ruang. Perpindahan yang amat berarti sekaligus menantang bagiku. Pada saat itu mungkin aku sedang stres-stres gembira melakukan pekerjaan baruku. Dan, yah, karena mengurusi sebuah web berbasis tulisan di sana, aku tidak ada waktu untuk mengurusi tulisan di sini. Jadi, beginikah cara hidup dewasa? Berterima dengan keadaan yang tidak bisa dikendalikan? Oh, aku benci menjadi dewasa. (Ckck. Benar-benar meracau ya.)
Terlepas dari itu, aku membaca lebih banyak buku tahun ini (eh, ini sudah kusebutkan berapa kali ya?). Itu pun berkat pekerjaanku sekarang yang mengharuskanku membaca lebih banyak bentuk karya fiksi dan literatur. Betapa menantangnya! Bagaimana jika aku tidak menyukainya? Bekerja memang sesuatu yang harus kamu lakukan tidak peduli alasannya—setidak suka apa pun kamu. Aku berharap tahun depan aku lebih bisa menikmati pekerjaanku bagaimanapun caranya. Anu, aku sudah menyukainya sedari awal kok. Jadi, sampai jumpa pada 2018!
Baca Juga:
Buku Paling Berkesan 2016 dan Sedikit Gunjingan
Year End Recap 2015
suka sampul H2O-nyaaa.. xD
BalasHapus#salfokkesampul
Penasaran sama One of Us is Lying 😔
BalasHapusyeay :D welcome to komik world Raafi :D
BalasHapussamaaa.. hana juga keteteran di tahun 2017, jarang ngeblog, beban kerja di kantor baru berat XD hahaha
Good luck buat tahun 2018
Pingin ngicip one of us is lying nyaa
BalasHapusThe Storied Life of A.J. Fikry masih ditimbun ����
BalasHapus