14 Oktober 2017

Hanyutnya Ikan-Ikan Mati

Edited by Me

Melalui media sosial Twitter, aku tahu seorang teman menunggu-nunggu pergantian hari untuk mendengarkan salah satu lagu teranyar penyanyi favoritnya. Dari situlah aku tahu bahwa Louis Tomlison merilis lagu berjudul "Just Like You", tepatnya pada tanggal 12 lalu. Melalui media sosial Facebook, seorang teman yang lain membeberkan pendapatnya tentang lagu "Just Like You". Ia mengatakan bahwa lagu salah satu member One Direction itu amat berhubungan dengan dirinya yang hidup di tengah bombardir dunia maya. Sebuah tempat yang seolah-olah mengharuskan kita untuk "melakukan sesuatu" setiap hari. "Kita sebenarnya menjalani tekanan yang sama, kesepian yang sama, dan hasrat yang sama untuk dirayakan. Setidaknya melalui dunia maya. Karena di dunia nyata, kita bukan siapa-siapa. Sebegitu kesepiankah manusia di dunia digital?" pungkasnya mengakhiri statusnya.

Betapa media sosial menjadi medium penghubung. Kita bisa tahu opini orang lain, apa yang mereka lakukan, apa yang mereka inginkan, apa atau siapa yang mereka elu-elukan. Selanjutnya, aku coba mendengarkan "Just Like You". Dari liriknya, aku melihat Louis sedang menceritakan dirinya sendiri yang sudah mendapatkan segalanya. Namun, namanya juga manusia, ia juga merasakan apa yang semua orang rasanya. Parahnya, sebagai figur publik, tidak ada yang peduli ketika Louis merasa bosan, stres, dan jatuh. Ia pun mengatakan bahwa lagu ini benar-benar melekat padanya. "Anggapan tentang selebritas itu tidak bisa ditembus dan tidak manusiawi, tapi pada dasarnya, kita semua memiliki masalah yang sama. Patah hati terasa sama, kehilangan terasa sama, semua perasaan ini sama untuk kita semua," ujar Louis.

Kemajuan teknologi melalui media sosial membuat orang merasa penting. Penting untuk berswafoto lalu menyebarkannya. Penting untuk membagikan asal berita sebelum mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu. Penting untuk membeli barang-barang baru, menu makanan dan minuman baru, menonton film baru rilis, demi menjadi pionir tren. Juga dalam membeli buku baru terbit untuk difoto dan dibagikan walaupun ujung-ujungnya ditaruh di tumpukan timbunan paling atas. Hal-hal yang sebenarnya pada beberapa tahun sebelum ini tidak terlalu penting. Kepentingan yang membuat setiap orang mengorbankan beberapa hal agar tercapainya kepopuleran di media sosial. Tak dipungkiri, aku juga melakukan hal yang sama. Walaupun dengan jenis dan level yang berbeda. Lalu, apa hubungannya dengan "Ikan-Ikan Mati" karya Roy Saputra? Simak ulasan berikut sembari mendengarkan "Just Like You".


Judul : Ikan-Ikan Mati
Pengarang : Roy Saputra
Penerbit: MediaKita
Tahun : 2017
Dibaca : 11 Oktober 2017
Rating : ★★★★

"The real question is, why do we have to be the same?" (hlm. 132)

Gilang bekerja sebagai Corporate Relationship Manager di salah satu bank milik pemerintah di Jakarta. Dari berbagai jenis industri yang fokus utama bank tersebut adalah pada penyaluran kredit level korporasi, Gilang menangani klien industri healthcare dan hospitality. Pekerjaannya tersebut menuntut Gilang tampil rapi. Meski berwajah rata-rata, untungnya Gilang memiliki postur tubuh tinggi dan atletis.

Seperti kaum menengah metropolis lain, Gilang tidak mau ketinggalan tren. Ia akan memperbarui gadgetnya tiap ada seri terbaru dan termutakhir. Ia selalu menonton film terbaru pada hari pertama pemutarannya di bioskop. Ia selalu ke kafe atau restoran yang baru dibuka. Ditambah lagi, dengan hadirnya IKA, Indonesia Kindness App, sebagai aplikasi yang memberikan ketenteraman dan keadaan kondusif di negeri tercinta ini. Pemerintah sudah taruh kepercayaan dan harapan aplikasi bikinan JS Corp itu. "Ide matang. Penjaga harmoni. Penyaring suara negatif di ranah digital. Penghapus kisruh di dunia maya." Lebih-lebih, IKA punya fitur poin yang bila dikumpulkan—dengan cara menyebarkan berita kebaikan—poin tersebut bisa ditukar dengan diskon-diskon menarik di berbagai tempat, dari restoran, bioskop, sampai kelab.

Gilang terus menggunakan gadgetnya untuk mengumpulkan poin. Gilang terus menggunakannya bahkan untuk mencari di mana tempat makan yang sedang ada diskon besar. Gilang terus menggunakannya sampai tidak mengira bahwa ia teradiksi. Hingga Citra datang, dan menyebutnya "ikan mati".

***

Seberapa besar pengaruh teknologi terhadapmu? Seberapa besar kamu punya kans untuk lepas dari gadgetmu? Seberapa gigih kamu bisa melepas media sosial dengan tidak memperbarui status barang sehari? Pertanyaan yang sepertinya amat sulit untuk dihiraukan dan lebih baik dienyahkan. Pertanyaan yang bahkan ketika aku mengetiknya, aku merasa bagai seorang hipokrit. Aku tidak bisa melakukannya. Aku bahkan akan mencari-cari gadgetku sesaat setelah tersadar saat bangun tidur. Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana aku begitu tunduk dengan teknologi? Apakah ada faedah dari semuanya? Pertanyaan-pertanyaan yang kadang muncul di bawah alam sadarku.

Buku ini semakin memperjelas pertanyaan-pertanyaan di atas melalui sosok Gilang yang teradiksi akan teknologi lebih-lebih media sosial. Pada awal cerita, Gilang bahkan diceritakan baru saja membeli minuman bernama starfruit marshmallow smores frapuchino setelah mengorbankan waktunya untuk mengantre penjang. Sesaat setelah keluar dari kedai itu, Gilang berswafoto dengan minuman rasa baru itu dan memposnya di Facebook dengan caption "New day, new flavour". Gilang menyesapnya. Rasa minuman itu terlalu aneh. Ia jalan ke tempat sampah terdekat dan membuangnya. Aku tidak heran dengan perangai seperti ini. Aku yakin banyak yang melakukannya. Sebuah kegiatan tidak ingin kalah tren. Bagai reaksi tidak sadar yang membawa mereka ke sebuah tempat yang memiliki magnet. Mereka tertarik kuat-kuat dalam magnet itu. Dan setelah daya magnetiknya mengendor, mereka akan mencari tempat lain yang berarus magnet tinggi.

Citra, teman satu sekolah Gilang, menjadi karakter pendobrak. Gilang menyukainya dan belum selesai akan perasaan kepadanya. Cowok itu mencari tahu lebih jauh tentang gadis yang suka menyanyi itu setelah lepas kontak selama sepuluh tahun. Facebook Citra tidak aktif lagi. Dan setelah mereka bertemu, Citra ternyata hanya menggunakan gadget keluaran lama. "Yang penting masih bisa berkirim pesan dan telepon," ujar Citra. Perbedaan itu pulalah yang membuat sedikit adu cekcok ketika mereka mencari kafe kopi. Gilang mencarinya melalui IKA dan disortir berdasarkan diskon sedangkan Citra sudah punya kedai kopi langganan. Pertengkaran singkat itu berakhir dengan teguran Citra, "Kita mau minum kopi yang enak, kan, bukan yang diskon?" Citra jugalah yang menyadarkan Gilang. Citra menyebut Gilang sebagai "ikan mati" karena begitu teradiksinya akan gadget dan aplikasi bernama IKA itu.

"Memang setiap harinya, manusia selalu dihadapkan dengan belasan pilihan yang bisa berbuah pengalaman dan pembelajaran. Namun di zaman semaju ini, biarlah beberapa proses pengambilan keputusan itu diambil alih oleh sebuah aplikasi." (hlm. 224)

Kehadiran Citra membuat keajegan Gilang yang terlenakan seperti pada kutipan di atas diuji. Apakah ia akan tetap jadi "ikan mati" dan mengikuti arus atau menyudahinya? Menariknya, Gilang selalu mencurahkan hatinya kepada sahabatnya, Jaelani. Ia berkonsultasi dan meminta pendapat. Hal sederhana namun sering luput dilakukan oleh kebanyakan orang. Hingga ia pun meminta Jaelani untuk membantunya menuntaskan misi. Misi yang akan menjawab kebimbangannya terhadap julukan "ikan mati" yang dilekatkan oleh Citra ke dirinya. Misi yang, setelah ditelusuri, membuat Gilang benar-benar harus bertindak karena itu adalah kekeliruan—kebohongan besar. Di sinilah sikap Gilang dimunculkan, perubahan karakter yang akan membawanya ke kehidupan berikutnya. Perubahan karakter yang menginspirasi pembacanya.

Betapa ide cerita buku ini begitu orisinil. Bagaimana brilian penggambaran IKA. Latar masa depan dengan IKA-nya terasa begitu maju namun tetap masuk akal. Kita bisa saja menghidupi kehidupan yang seperti pada gambaran buku ini. Dengan manusia-manusia yang begitu teradiksi dengan gadget dan hanya mementingkan dunia maya mereka sembari lamat-lamat melepaskan kehidupan nyatanya. Louis Tomlison sedikit mendahului. Mungkinkah dia manusia masa depan yang sedang bertualang ke masa kini? Ia sudah tahu betapa manusia hanya peduli dengan gadget mereka dan acuh tak acuh terhadap yang lainnya.

Terakhir, buku ini memberikan gambaran secara jelas bahwa tidak masalah untuk menjadi orang yang melawan arus. Ketika orang lain menonton film pada hari pertama penayangan, kamu bisa menontonnya pada waktu selanjutnya. Ketika orang lain mengacaubalaukan sebuah toko sepatu berdiskon besar di pusat perbelanjaan elite, kamu tidak perlu ikut-ikutan. Berhentilah jadi ikan-ikan mati. Apalagi hanyut bersamanya. Hidupmu akan baik-baik saja kok. Pada akhir ulasan ini, mari bersama tonton video berdurasi pendek berikut.



Ulasan ini diikutsertakan dalam "Read and Review Challenge 2017" kategori Asian Literature.

1 komentar :