01 Desember 2016

Pantai, Tempat Paling Liarku di Muka Bumi

Judul : Tempat Paling Liar di Muka Bumi
Pengarang : Theoresia Rumthe & Weslly Johannes
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2016
Dibaca : 30 November 2016
Rating : ★★★★

Biar kuceritakan sedikit tentang masa kecilku. Aku sempat tinggal di salah satu kota pesisir selatan Pulau Jawa. Kota yang bisa dibilang kota buntu karena mereka yang berniat ke sana sajalah yang akan sampai ke kota tersebut. Cilacap. Bila dilihat dari peta, Cilacap memang berada di ujung. Yang datang ke sana paling-paling para eksekutif dari perusahaan semen Holcim, perusahaan minyak Pertamina, atau mereka yang harus mendekam di bui Nusakambangan karena ulah nakalnya. Dilihat dari segi perkembangannya, Cilacap jauh dari kota sedulurnya, Purwokerto. Masa bodoh dengan perkembangan, kota tersebut sudah memberiku banyak kenangan. Dan kenangan yang paling banyak bersarang di memori tentu saja pantainya.

Mungkin sudah kutukan bahwa mereka yang tinggal di pesisir akan banyak menghabiskan waktu di pantai. Anehnya, mereka akan selalu kembali tanpa tebersit rasa bosan. Rumahku dulu tidak dekat-dekat amat dengan Pantai Teluk Penyu. Sebisa mungkin aku minta kepada orang tuaku untuk pergi ke sana setidaknya dua kali sebulan, aku akan lebih bungah kalau seminggu sekali. Pokoknya semakin sering, semakin baik. Walaupun sedikit pilu melihat ombak tak bebas karena cerocok yang merecok, aroma air laut selalu membuatku ingin kembali ke sana bahkan sesaat setelah berpaling menuju pulang. Belum lagi keagungan Tuhan pada perahu-perahu dan kapal-kapal tanker berbobot ribuan ton yang tak tenggelam, melihatnya nun jauh di ufuk sana bagai ujian visual. Seberapa mampu kau melihatnya.

Pantai Teluk Penyu saat terakhir kali berkunjung awal tahun ini (Dok. Pribadi)

Kisah yang tak pernah kulupakan adalah saat aku di pantai bersama bapak. Aku diminta untuk melihat kapal yang ditunjuk olehnya. Aku bersikukuh bilang tidak ada. "Coba lagi. Bapak bisa lihat dengan jelas kok," ujar beliau yang membuatku ragu. Aku tetap bergeming karena benar-benar tidak melihatnya. Sepulang dari pantai, aku langsung dibawa ke optik di pusat kota untuk periksa mata. Dan benar saja, ada yang salah dengan mataku. Sejak saat itu, aku tak lepas dengan kacamata. Aku ingat kala itu, aku masih kelas 3 SD. Kini aku rindu, akan bapak, juga akan pantai dan laut. Kampret!

Aku menyalahkan "Tempat Paling Liar di Muka Bumi" atas rinduku itu, Seusai membaca, aku sadar bahwa tempat paling liarku di muka bumi adalah pantai. Aku akan ganas kala menghirup aroma asin nan khas. Aku akan ganas ketika angin laut menyisir tubuh. Aku akan ganas kala suara ombak yang bergulung-gulung malu jika bertemu daratan terdengar di telinga. Penyair seakan menumpahkan rasa laut yang menggebu-gebu sampai aku ingin kembali ke pantai untuk melepas rinduku. Setidaknya rindu yang masih bisa dijangkau. Tapi dunia lagi-lagi mengadang. Kurang ajar! Rinduku lagi-lagi menang.

***

"Tempat Paling Liar di Muka Bumi" adalah satu dari beberapa kumpulan puisi yang kubaca. Setelah kutilik lagi, aku sudah baca setidaknya lima kumpulan puisi tahun ini dan itu merupakan pencapaian yang besar. Sebelumnya, aku bahkan tidak bisa menikmati puisi. Betapa tidak? Membaca satu bait saja harus berulang-ulang untuk memahami maknanya. Tapi lambat-laun, karena tergerus usia, aku membutuhkan kata-kata indah agar hidup terasa indah walaupun maknanya tak indah. Dan itu menjadi semacam suplemen—sebenarnya membaca apa pun adalah suplemenku. Tapi membaca kumpulan puisi ini bisa dibilang suplemen adiwarna. Lagi-lagi untuk melawan hidup, yang terasa monokrom.

Dan dari kelima karya puisi yang kubaca, aku menjagokan "Tempat Paling Liar di Muka Bumi". Selain tema lautnya yang mengingatkan memori masa kecil, aku juga menyukai betapa penyair berduet dan menjadikan setiap puisinya berpadu satu sama lain. Bagai dua sejoli yang sedang bersahut-sahutan mengekpresikan rasa. Aku terlampau heran akan hal ini. Kok bisa mereka membuatnya seperti itu? Mungkin bila seseorang diminta untuk menikmatinya tanpa diberi tahu siapa penyairnya, ia akan menyebutkan satu nama saja. Tentulah ia tidak keliru karena belum ada buku puisi yang dibuat oleh dua penyair. Sejauh yang kuketahui, buku kumpulan puisi inilah yang pertama. Mohon koreksi bilamana aku luput.

Ada lagi hal lain yang membuatku menyukai buku ini. Buku ini begitu romantis dengan caranya sendiri. Tanpa kata-kata metaforis yang kelebihan manis. Tanpa kata-kata rayu yang mendayu-dayu. Tanpa kata-kata sifat yang bikin tepok jidat. Pengandaian yang diberikan disampaikan melalui laut dan perkakas-perkakasnya, walaupun semakin ke belakang rasa laut dalam puisi-puisinya semakin memudar.

Akhir kata, aku merasa puas dan bebas, rinduku seakan sedikit terangkat namun kembali merapat seusai membaca kumpulan puisi ini. Bisa dibilang buku kumpulan puisi ini juga menjadi terobosan baru dan—aku yakin—akan menjadi pionir dari buku kumpulan puisi keroyokan lain nantinya. Oh ya, walaupun tidak berpengaruh secara signifikan, buku ini juga disisipi ilustrasi khas Lala Bohang, penulis sekaligus ilustrator "The Book of Forbidden Feelings". Ilustrasi Lala semacam memberikan jeda untuk petualangan yang disuguhkan "Tempat Paling Liar di Muka Bumi". Bacalah, nikmati keindahan pesisir melalui kata-kata nan mengimaji, dan temukan tempat paling liarmu di muka bumi. Pertanyaan bodoh dan sedikit ofensif yang kemudian muncul adalah: Apakah kedua penyair buku kumpulan puisi ini adalah sepasang kekasih?

aku tak pernah punya cukup kekuatan untuk membayangkan kau pergi,
bukan karena apa-apa, aku hanya tak pahami bagaimana mencintai
sambil berpikir tentang suatu waktu engkau akan meninggalkanku
—membayangkan kau pergi (hal. 74)

Baca juga ulasan kumpulan puisi lainnya yang kubaca tahun ini:
"Love & Misadventure" karya Lang Leav
"Tidak Ada New York Hari Ini" karya M. Aan Mansyur
"The Book of Forbidden Feelings" karya Lala Bohang
"Kota Ini Kembang Api" karya Gratiagusti Chananya Rompas

2 komentar :