Pengarang : Yozar Firdaus Amrullah
Penerbit : Buah Hati (imprint Lentera Hati)
Tahun : 2016
Dibaca : 12 Desember 2016
Rating : ★★★★
Rating : ★★★★
Usai gelaran Festival Pembaca Indonesia yang menobatkan stan PNFI sebagai "Booth Terheboh", seseorang mendatangi kami dan menawarkan buku karyanya untuk diulas. Seketika itu juga memoriku menyelusup ke beberapa buku karya teman-teman lain yang sudah kudapatkan namun belum kubaca dan kuulas. Aku langsung berkata jujur padanya bahwa aku tidak bisa dengan segera membaca dan mengulas karyanya. Katanya bukan masalah dan tetap memberikannya padaku. Keesokan harinya, aku yang penasaran dengan gambar sampul depan dan sinopsis sampul belakangnya, memberanikan diri untuk membuka segel dan mulai membaca. Tak berapa lama, aku sudah terhanyut dalam cerita dan merasa yakin untuk menyelesaikannya pada hari itu juga.
Selestia sedang mencari jawaban dari rubrik teka-teki di majalah "Pelangi" ketika ibunya pulang membawa buku rapor kelas VII miliknya. Selestia tidak masuk sekolah karena hari itu adalah hari pengambilan rapor dan orang tua yang harus mengambilnya. Setelah memberi tahu bahwa Selestia naik kelas dengan nilai memuaskan, ibunya memberikan berita yang tidak mengenakkan. Janji kedua orang tuanya untuk jalan-jalan sekeluarga ke Singapura saat liburan kenaikan kelas harus batal karena kesibukan yang mendera kedua orang tuanya. Sebagai gantinya, Selestia ditawari untuk berlibur di rumah Tante Suryani di desa. Dan menurut Selestia itu bukan ide yang buruk.
Berlibur di desa tempat tinggal Tante Suryani tidak mengecewakan Selestia. Ia bisa bermain bersama Raka, anak Tante Suryani yang sekaligus sepupunya. Raka juga ternyata memiliki beberapa teman yang seru-seru juga. Ada Herman yang bertubuh tambun, Mutun yang berkacamata, dan Nori yang selalu berdandan menor. Suatu hari mereka bermain layang-layang. kelelahan serta kelaparan setelah bermain mendera mereka. Untungnya datanglah Pak Lik Sarlito yang menjajakan jajanan pasar khas desa, seperti nagasari, onde-onde, gemblong, dan semar mendem.
Jajanan pasar yang enak itu dibuat oleh seorang nenek yang tinggal di dalam hutan bernama Nenek Gayatri. Usut punya usut, sang nenek tinggal sendirian dan tidak ada yang membantu pembuatan jajanan pasar tersebut. Sebuah hal yang mustahil dan perlu diselidiki. Dengan penuh rasa ingin tahu, Selestia dan teman-temannya mengunjungi rumah Nenek Gayatri di dalam hutan. Sayangnya, sang nenek sedang tidak ada di rumah. Lalu apa yang akan dilakukan Selestia, Raka, Herman, Mutun, dan Nori?
Aku benar-benar menyelesaikan buku setebal 250 halaman ini hanya beberapa jam dalam satu hari tersebut. Tidak perlu heran karena ukuran huruf yang digunakan lumayan besar dengan jarak spasi antar baris yang juga renggang. Setiap babnya juga diberikan setidaknya satu gambar yang memakan tempat satu halaman utuh sehingga mempercepat waktu membaca. Pertimbangan susunan buku seperti inilah yang cocok untuk sebuah bacaan anak-anak dan remaja di Indonesia. Coba bayangkan bila ukuran huruf yang kecil dengan spasi dan margin yang rapat. Bahkan orang dewasa saja mungkin akan malas membacanya.
Masuk dalam cerita aku diajak untuk berkenalan dengan sang tokoh utama, Selestia. Ia gadis cerdas yang suka dengan teka-teki dan hal-hal yang berbau detektif. Dengan memilih sudut pandang orang ketiga serbatahu, sepertinya penulis ingin menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tentang tokoh utama dan tokoh-tokoh lainnya dengan lebih bebas. Dalam buku ini, pemilihan sudut pandang orang ketiga serbatahu juga mendukung beberapa bagian cerita, seperti saat pemerian teka-teki dan petunjuk pada rintangan-rintangan yang ada di dalam Gua Perjanjian yang selanjutnya disebut Penjara Teka-Teki. Akan sulit bila menggunakan sudut pandang lain.
Yang seru pada cerita kali ini adalah entitas fantasi yang dimunculkan oleh penulis. Penulis sepertinya membuat entitas baru bernama Ningrat Biru. Mereka tidak berwarna biru seperti avatar. Mereka seperti manusia, bertangan dua, berkaki dua, berkepala dengan dua mata, satu hidung, dan satu mulut. Hanya saja, mata mereka berwarna biru dan kedua kuping mereka lancip. Mereka mengaku ningrat karena cerdas dan ulet, masa hidup mereka juga lebih panjang dari manusia. Ada yang mengaku berumur 276 tahun! Mereka hidup di bawah tanah dan menyebut tempat yang ditinggali mereka Tanah Harapan. Aku coba mengetikkan kata kunci "ningrat biru" dalam mesin pencarian, namun tidak menemukan legenda atau hal-hal berbau fantasi bahkan frasa itu saja tidak ditemukan. Itu berarti penulis membuat entitas fantasi baru sesuai keinginannya dan hal ini merupakan hal lumrah bagi para penulis fantasi. Setiap orang memiliki imajinasi berbeda dan hak mereka untuk membentuknya. Hanya saja, ingatlah bahwa membentuk satu entitas fantasi baru harus mudah diperikan dan dicerna oleh pembaca. Dan untungnya, Ningrat Biru seperti itu.
Poin penting lainnya pada novel ini adalah kearifan lokal yang sungguh ditonjolkan. Hal-hal tentang tata krama dan etika diselipkan dengan cukup baik sehingga pembaca tidak seperti digurui oleh ceritanya. Karakter setiap anak juga seperti memberikan pilihan mana yang harus dicontoh mana yang tidak; mau pilih Raka yang memiliki jiwa kepemimpinan, Selestia yang cerdas, atau Mutun yang penakut. Hal-hal seperti ini yang sebenarnya kurang dari buku cerita dan novel remaja kebanyakan saat ini. Aku pikir buku ini harus dimiliki setiap perpustakaan di sekolah dan guru mengharuskan setiap siswa membacanya.
Akhir kata, sebagai penggemar novel fantasi, aku menyukai buku ini. Dan bilamana penulis menyatakan bahwa "Selestia dan Penjara Teka-Teki" merupakan novel fantasi remaja, aku tidak memungkirinya. Mungkin aku harus melengkapinya menjadi novel fantasi remaja dengan kearifan lokal. Ilustrasi karya Endan Ramdan juga membantu pemerian setiap adegan buku ini. Aku malah berharap kisah Selestia dan teman-temannya ini dibuatkan film kartun animasi dengan terget penonton semua umur. Walaupun tidak ada plot twist yang bikin gigit jari, setidaknya ceritanya sudah menjanjikan!
***
Selestia sedang mencari jawaban dari rubrik teka-teki di majalah "Pelangi" ketika ibunya pulang membawa buku rapor kelas VII miliknya. Selestia tidak masuk sekolah karena hari itu adalah hari pengambilan rapor dan orang tua yang harus mengambilnya. Setelah memberi tahu bahwa Selestia naik kelas dengan nilai memuaskan, ibunya memberikan berita yang tidak mengenakkan. Janji kedua orang tuanya untuk jalan-jalan sekeluarga ke Singapura saat liburan kenaikan kelas harus batal karena kesibukan yang mendera kedua orang tuanya. Sebagai gantinya, Selestia ditawari untuk berlibur di rumah Tante Suryani di desa. Dan menurut Selestia itu bukan ide yang buruk.
Berlibur di desa tempat tinggal Tante Suryani tidak mengecewakan Selestia. Ia bisa bermain bersama Raka, anak Tante Suryani yang sekaligus sepupunya. Raka juga ternyata memiliki beberapa teman yang seru-seru juga. Ada Herman yang bertubuh tambun, Mutun yang berkacamata, dan Nori yang selalu berdandan menor. Suatu hari mereka bermain layang-layang. kelelahan serta kelaparan setelah bermain mendera mereka. Untungnya datanglah Pak Lik Sarlito yang menjajakan jajanan pasar khas desa, seperti nagasari, onde-onde, gemblong, dan semar mendem.
Jajanan pasar yang enak itu dibuat oleh seorang nenek yang tinggal di dalam hutan bernama Nenek Gayatri. Usut punya usut, sang nenek tinggal sendirian dan tidak ada yang membantu pembuatan jajanan pasar tersebut. Sebuah hal yang mustahil dan perlu diselidiki. Dengan penuh rasa ingin tahu, Selestia dan teman-temannya mengunjungi rumah Nenek Gayatri di dalam hutan. Sayangnya, sang nenek sedang tidak ada di rumah. Lalu apa yang akan dilakukan Selestia, Raka, Herman, Mutun, dan Nori?
***
Aku benar-benar menyelesaikan buku setebal 250 halaman ini hanya beberapa jam dalam satu hari tersebut. Tidak perlu heran karena ukuran huruf yang digunakan lumayan besar dengan jarak spasi antar baris yang juga renggang. Setiap babnya juga diberikan setidaknya satu gambar yang memakan tempat satu halaman utuh sehingga mempercepat waktu membaca. Pertimbangan susunan buku seperti inilah yang cocok untuk sebuah bacaan anak-anak dan remaja di Indonesia. Coba bayangkan bila ukuran huruf yang kecil dengan spasi dan margin yang rapat. Bahkan orang dewasa saja mungkin akan malas membacanya.
Masuk dalam cerita aku diajak untuk berkenalan dengan sang tokoh utama, Selestia. Ia gadis cerdas yang suka dengan teka-teki dan hal-hal yang berbau detektif. Dengan memilih sudut pandang orang ketiga serbatahu, sepertinya penulis ingin menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tentang tokoh utama dan tokoh-tokoh lainnya dengan lebih bebas. Dalam buku ini, pemilihan sudut pandang orang ketiga serbatahu juga mendukung beberapa bagian cerita, seperti saat pemerian teka-teki dan petunjuk pada rintangan-rintangan yang ada di dalam Gua Perjanjian yang selanjutnya disebut Penjara Teka-Teki. Akan sulit bila menggunakan sudut pandang lain.
Di dalam Hutan |
Yang seru pada cerita kali ini adalah entitas fantasi yang dimunculkan oleh penulis. Penulis sepertinya membuat entitas baru bernama Ningrat Biru. Mereka tidak berwarna biru seperti avatar. Mereka seperti manusia, bertangan dua, berkaki dua, berkepala dengan dua mata, satu hidung, dan satu mulut. Hanya saja, mata mereka berwarna biru dan kedua kuping mereka lancip. Mereka mengaku ningrat karena cerdas dan ulet, masa hidup mereka juga lebih panjang dari manusia. Ada yang mengaku berumur 276 tahun! Mereka hidup di bawah tanah dan menyebut tempat yang ditinggali mereka Tanah Harapan. Aku coba mengetikkan kata kunci "ningrat biru" dalam mesin pencarian, namun tidak menemukan legenda atau hal-hal berbau fantasi bahkan frasa itu saja tidak ditemukan. Itu berarti penulis membuat entitas fantasi baru sesuai keinginannya dan hal ini merupakan hal lumrah bagi para penulis fantasi. Setiap orang memiliki imajinasi berbeda dan hak mereka untuk membentuknya. Hanya saja, ingatlah bahwa membentuk satu entitas fantasi baru harus mudah diperikan dan dicerna oleh pembaca. Dan untungnya, Ningrat Biru seperti itu.
Poin penting lainnya pada novel ini adalah kearifan lokal yang sungguh ditonjolkan. Hal-hal tentang tata krama dan etika diselipkan dengan cukup baik sehingga pembaca tidak seperti digurui oleh ceritanya. Karakter setiap anak juga seperti memberikan pilihan mana yang harus dicontoh mana yang tidak; mau pilih Raka yang memiliki jiwa kepemimpinan, Selestia yang cerdas, atau Mutun yang penakut. Hal-hal seperti ini yang sebenarnya kurang dari buku cerita dan novel remaja kebanyakan saat ini. Aku pikir buku ini harus dimiliki setiap perpustakaan di sekolah dan guru mengharuskan setiap siswa membacanya.
Akhir kata, sebagai penggemar novel fantasi, aku menyukai buku ini. Dan bilamana penulis menyatakan bahwa "Selestia dan Penjara Teka-Teki" merupakan novel fantasi remaja, aku tidak memungkirinya. Mungkin aku harus melengkapinya menjadi novel fantasi remaja dengan kearifan lokal. Ilustrasi karya Endan Ramdan juga membantu pemerian setiap adegan buku ini. Aku malah berharap kisah Selestia dan teman-temannya ini dibuatkan film kartun animasi dengan terget penonton semua umur. Walaupun tidak ada plot twist yang bikin gigit jari, setidaknya ceritanya sudah menjanjikan!
"Hadiah untukmu adalah sebuah gelar kehormatan. Gelar yang hanya dimiliki oleh ksatria-ksatria pilihan kaum Ningrat Biru. Atas kecerdikan dan rasa kesetiakawananmu, gelar itu kuperkenankan untuk disandang manusia. Mulai hari ini, di Tanah Harapan, dunia kaum Ningrat Biru, maupun di tempat lain, kau akan menyandang gelar... Askaria." (hal. 235-236)
Ulasan ini untuk tantangan:
1. FSFD Reading Challenge 2016 kategori [3] After 2010.
Novelnya buat aku aja ya Fii, ya Fiii ... Fiiiiiiii
BalasHapus(Dion)
Kenapa Anonim, Mas? Kamu mau menganonimkan diri dariku? 😢
HapusWah middle aged ya, udah lama gak baca novel fantasi untuk middle aged :D. Terakhir Narnia kayaknya. Pengen cepat cepat baca juga.
BalasHapusAyo baca! Btw, middle grade mungkin ya maksudnya. Kalo middle aged itu para paruh baya (range umur 40-60 tahun). 😅
HapusTokoh utamanya suka detektif dan fantasinya memuat unsur lokal? Wow sepertinya menarik ya :) makasih sharingnya :)
BalasHapusBetul, Hana. Boleh lho dicoba untuk baca! :D
Hapus