02 Oktober 2016

Ulasan Buku: Oliver Twist

Judul : Oliver Twist
Pengarang : Charles Dickens
Penerbit : Narasi
Tahun : 2015
Dibaca : 18 Agustus 2016
Rating : ★★★

Membaca karya penulis klasik seperti sebuah pencapaian, apalagi karya tersebut adalah karya ikonis sang penulis. Setiap mendengar nama Charles Dickens, yang terlintas di benak orang-orang adalah Oliver Twist yang pertama kali terbit pada 1837, walaupun setahun sebelumnya sang maestro telah menerbitkan kumpulan tulisan "Sketches by Boz" dan angsuran novel "The Paperwicks Paper" yang pertama hingga dijadikan novel pada 1837 juga; dua karyanya yang mungkin asing di telinga para pembaca literatur. Setelah itu, pria kelahiran 1812 ini menelurkan sejumlah buku yang tak kalah mendunia, antara lain "Great Expectations" dan "A Christmas Carol".

***

Oliver Twist kecil tak akan menyangka bahwa hidupnya akan seberat ini. Setelah ditinggal mati sang ibu, ia hidup terlunta-lunta, dari hidup bersama 20-an anak di rumah Bu Mann, lalu berpindah ke rumah penampungan milik Pak Bumble, lalu dijual ke Pak Sowerberry si tukang peti mati. Oliver harus tidur di salah satu peti mati di rumah Pak Sowerberry, sampai ia tidak tahan dengan anak lain yang bernama Noah karena mengejek ibunya yang katanya "bukan wanita baik-baik".

Oliver Twist akhirnya memberanikan diri untuk kabur dari tempat tinggal Pak Sowerberry, ia bertekad menuju London. Setelah berhari-hari, ia sampai tujuan dan bertemu dengan anak laki-laki bernama Jack Dawkins. Jack Dawkins membawanya ke sebuah tempat dan diperkenalkan dengan seorang pria bernama Fagin yang mengambil semua barang-barang Oliver untuk dicuci. Ternyata di balik kebaikannya, Fagin ada maksud tertentu pada Oliver dan semua anak-anak yang tidur di tempatnya. Sepertinya, hal-hal buruk selalu menimpa Oliver Twist sampai ia bertemu dengan seorang lelaki tua yang biasa dipanggil Pak Brownlow.

***

Buku yang diterjemahkan oleh Penerbit Narasi ini hanya setebal 216 halaman, beda dengan buku terbitan Bentang Pustaka yang mencapai lebih dari 500 halaman. Walaupun sama-sama berjudul Oliver Twist dan sama-sama karya Oliver Twist, ternyata karya klasik memiliki perbedaan dari segi keutuhan ceritanya. Seperti yang dijelaskan oleh Mbak Bzee dalam rangkumannya seputar buku klasik, ia menjelaskan bahwa karya klasik dibagi menjadi dua jenis yaitu unabridge dan abridge. Unabridge dapat diartikan bahwa karya tersebut diterbitkan secara utuh, sesuai dengan aslinya, sama dengan yang dituliskan oleh penulisnya. Berbeda dengan karya klasik abridge yang kisahnya disederhanakan dan biasanya ada nama penulis lain yang menceritakannya ulang dengan kalimat yang sudah jauh berbeda walaupun kisahnya masih milik sang penulis asli. Itu berarti buku yang kubaca dan diterbitkan oleh Penerbit Narasi ini termasuk kategori abridge.

"Jangan kurang ajar, Anak Gembel! Kami semua kasihan kepadamu, Anak Gembel. Tapi ibumu bukan wanita baik-baik, Kamu tahu kan, bahwa dia bukan wanita baik-baik?" (hal. 31)

Kisah pilu Oliver Twist mungkin sudah milik khalayak umum di seluruh dunia. Kesakitan-kesakitan yang ia alami sedari kecil membuatnya tidak merasakan kesenangan masa kanak-kanaknya. Penulis lihai membuat pembaca berempati dengan sang tokoh utama. Hingga sekitar seperempat buku, Oliver Twist masih belum mendapatkan kebahagiaan hidup. Lalu hadirlah Pak Brownlow yang pertama kali membuat Oliver merasa dibutuhkan dan memberikannya tempat tinggal. Sebagai timbal balik, Oliver melakukan segala pekerjaan yang bisa ia lakukan di rumah Pak Brownlow.

Sebenarnya, cerita Oliver Twist itu biasa saja. Layaknya kisah-kisah penuh kekejaman yang berakhir bahagia, terutama bagi sang tokoh utama. Atau mungkin karena aku membaca buku-buku yang lain terlebih dahulu jadi aku mengira buku ini "biasa saja". Bisa jadi Oliver Twist-lah yang mengilhami karya-karya berikutnya dengan tokoh utama sebagai pesakitan yang kemudian menemukan bahagianya.

Seperti yang kubilang di atas, buku ini termasuk kategori abridge. Aku bisa merasakannya: terlalu cepat dan tanpa pendalaman pada setiap babnya dan tidak mulus dalam penyampaian kisahnya. Seperti ada kalimat dan detail yang terlewat walaupun memang memberikan inti cerita yang sama. Setidaknya aku bisa menjabarkan dua paragraf sebelum ini tentang bagaimana penulis membuat tokoh utama begitu empatif (entah kata itu ada atau tidak dalam kamus). Aku berharap bisa membacanya dalam versi yang lebih lengkap yang bisa jadi aku akan mengeluarkan air mata karena begitu empati terhadap Oliver Twist.

Oh, satu lagi yang belum kuceritakan. Tentang balasan bagi mereka yang jahat juga terceritakan pada buku ini. Hal-hal tragis yang mereka dapatkan sepertinya melengkapi kekompleksan kisah Oliver Twist. Melalui balasan tragis ini, penulis seperti memberi tahu kalau hal-hal buruk akan dibalas dengan hal buruk, begitupun dengan hal-hal baik yang akan dibalas dengan kebaikan. Begitu klasik.

"Merupakan kebahagiaan besar bagi Oliver; karena memiliki teman-teman baik yang tinggal di dekatnya. Mereka semua benar-benar bahagia, mengasihi satu sama lain, dan bersyukur kepada Tuhanm yang telah mencintai, melindungi, serta memberkati mereka semua." (hal. 211)

2 komentar :

  1. Wah hana baru tahu soal karya sastra ada dua jenis :) makasih infonya :)

    BalasHapus
  2. Informatif sekali pembahasannya, saya menyukainya. Dan untuk novel ini, rasanya saya juga harus mulai membaca bacaan klasik. Biar kaya cara pandang menikmati buku.

    Recent Post: Rekapan Buku September 2016

    BalasHapus